Bab 3: Pelatihan Memasak
Hari Sabtu di minggu diadakannya festival olahraga.
Akhir pekan biasanya menjadi waktu untuk bermalas-malasan di tempat tidur jika tak ada kegiatan khusus, tapi hari ini aku bangun lebih awal.
Ada urusan penting yang harus kuurus.
Urusan yang membuatku bersemangat sekaligus sedikit takut.
Kira-kira 80% semangat dan 20% rasa takut.
“Hoahm… Selamat pagi, Rie.”
Saat turun ke ruang keluarga, Rie sudah bangun dan sedang memasak.
Dia mengenakan model rambut ekor samping seperti biasa, dengan ikat rambut yang agak sederhana tapi imut.
“Pagi, Nii-chan. Tumben, hari ini bangun pagi?”
“Hari ini ada urusan. Aku tidak perlu makan siang ya.”
Meski sudah kuberitahu semalam, aku mengonfirmasinya sekali lagi.
“Hmm, aku tahu. Kalau begitu aku juga akan makan di luar hari ini.”
“Rie, hari ini kamu tidak ada acara?”
“Eh? Iya. Aku tidak ada janji main dengan teman, dan PR juga sudah selesai.”
“Begitu, ya… Hmm, Rie, bagaimana kalau kamu ikut denganku hari ini?”
“Eh? Kenapa? Bukannya Nii-chan hari ini kencan dengan Sei-san?”
“Bukan, memang Sei-chan ikut, sih, tapi bukan kencan.”
“Oh, jalan-jalan dengan teman dekat? Kalau begitu aku malah akan mengganggu, ‘kan?”
“Bukan jalan-jalan juga, sih.”
“…Sebenarnya mau ngapain, sih?”
“…Latihan memasak, mungkin?”
“Eh, Sei-san tidak bisa masak? Kukira dia bisa.”
“Bukan, Sei-chan jago masak, kok. Masalahnya ada di teman Sei-chan. Kami akan mengajari temannya itu memasak. Bagaimana, Rie mau ikut?”
Setelah kujelaskan, Rie tampak bimbang.
“Apa benar tidak apa-apa kalau aku ikut? Aku tidak akan mengganggu?”
“Tentu saja tidak mengganggu. Lagipula Rie ‘kan jago masak, kurasa kamu malah akan disambut baik.”
“A-aku tidak sejago itu, kok…”
“Ah ayolah, kamu selalu memasak makanan enak, ‘kan?”
“I-itu, sih, siapa saja bisa.”
“Kalau semua orang bisa, tidak akan ada anak seperti Fujise…”
Bahkan Sei-chan yang sangat peduli pada temannya saja sampai angkat tangan menghadapi anak itu.
“Jadi, bagaimana? Tentu saja aku tidak memaksa.”
“Hmm, kalau Sei-san dan temannya mengizinkan, mungkin aku akan ikut.”
“Oh, baiklah. Akan kuhubungi mereka. Oh ya, selain Sei-chan dan temannya yang tidak bisa masak itu, ada satu orang lagi yang ikut.”
“Siapa? Shigameto-san yang pernah datang ke rumah?”
“Bukan… seorang nona muda.”
“Nona muda?”
Kata ‘nona muda’ memang sangat cocok untuk mendeskripsikan orang itu.
Setelah itu, aku mengirim pesan lewat RINE untuk menanyakan apakah adikku Rie boleh ikut.
Kujelaskan juga bahwa Rie pintar memasak, jadi pasti akan membantu.
Sei-chan langsung menyetujui karena dia sudah kenal Rie. Fujise juga bilang “Senang kalau ada yang mau mengajari!”
Sang nona muda, Toujoin-san, juga sepertinya setuju.
Ketika kuberitahu Rie bahwa semuanya setuju, dia terlihat senang sekaligus khawatir.
“Aku senang, tapi apa tidak apa-apa, ya? Apa aku tidak akan mengganggu?”
“Tenang saja, Rie ‘kan pintar masak dan anak yang baik.”
Aku menepuk kepalanya untuk menenangkannya.
“K-kenapa mengelus kepalaku, Nii-chan!”
“Habis, Rie yang sedang khawatir terlihat imut, sih.”
“I-itu bukan alasan!”
Rie menjauh untuk menghindar dari tanganku.
“J-jadi, jam berapa kita berangkat?”
“Sekitar jam 11 kurasa. Katanya mereka akan menjemput kita.”
“Menjemput? Maksudnya?”
“Yah, itu kejutan nanti.”
Meski tidak terlalu paham, Rie tetap bersiap-siap sebelum jam 11.
Tentu saja dia tidak memakai seragam atau baju rumah, melainkan baju kasual.
Kemeja merah yang pas badan, dengan kardigan putih yang indah, dan rok hitam di atas lutut.
Sangat sederhana tapi imut, cocok sekali untuk Rie.
Sepatunya juga high heels merah yang agak tinggi, serasi dengan warna kemejanya.
“Rie, kamu cantik sekali. Cocok banget.”
“Ah… t-terima kasih…”
Rie yang pipinya sedikit memerah menyisir rambutnya ke belakang telinga untuk menutupi rasa malunya.
Meski model rambutnya sama seperti biasa, penampilannya jadi sangat berbeda karena pakaiannya.
Aku juga tentu saja memakai baju kasual—celana jeans berwarna gelap, kemeja putih, dan jas yang agak formal.
Mungkin agak terlalu formal, tapi mengingat tempat yang akan kami datangi, kurasa tidak apa-apa.
Tepat pukul 11, aku dan Rie keluar rumah dan…
“Maaf membuat kalian menunggu, Hisamura-kun. Dan juga adikmu.”
“Ah, kami tidak menunggu, kok.”
“Begitu? Baguslah kalau begitu. Ayo naik.”
Di depan rumah berdiri sang nona muda Kaori Toujoin, dengan limusin sebagai latar belakangnya.
Kontras dengan limusin hitam, Toujoin-san mengenakan gaun putih bersih.
Dia mengenakan ikat pinggang hitam besar di pinggang, yang mempertegas lekuk tubuhnya yang ramping.
Rambut emasnya mengalir dengan anggun, sungguh penampilan yang sangat cocok dengan sebutan ‘nona muda’.
“E-eh? I-ini… limusin?”
Yah, wajar saja kalau baru pertama kali melihatnya akan bereaksi seperti itu.
Aku juga kaget saat pertama kali melihatnya dulu, tiba-tiba ada di depan mata saat Yuuichi datang ke rumah.
Tapi karena aku sudah tahu Toujoin-san adalah nona muda seperti itu, dan dari pengetahuan cerita aslinya aku tahu dia naik limusin, jadi keterkejutanku tidak sebesar Rie.
“Adik perempuan Hisamura-kun, namamu Rie, ‘kan? Senang bertemu denganmu, aku Kaori Toujoin.”
“T-Toujoin-san…!”
Rie melirik ke arahku dengan takut-takut.
Meski adik kelas, tapi karena satu SMA pasti dia pernah mendengar nama Kaori Toujoin.
Dengan wajah tegang, Rie membalas salamnya.
“S-salam kenal, saya Rie Hisamura. Kakak saya selalu merepotkan Anda.”
“Ah tidak, justru aku yang sangat terbantu olehnya. Sampai-sampai aku merasa berhutang budi yang tak terbalas padanya.”
“Eh…!”
Rie terkejut mendengar perkataan Toujoin-san.
Dia pasti tidak menyangka kakaknya bisa berbuat sesuatu sampai Kaori Toujoin yang terkenal itu berhutang budi.
Yah, aku sendiri juga kaget, sih.
Hutang budi apa? Apa aku pernah berbuat sesuatu?
“Hisamura-kun, wajahmu itu seperti tidak ingat, ya.”
“Ah, maaf. Memangnya aku pernah berbuat apa sampai Toujoin-san merasa berhutang budi?”
“Soal di taman hiburan waktu itu. Kau memberi dorongan padaku, ‘kan?”
“…Oh! Yang itu!”
Saat kencan di taman hiburan tempo hari, Toujoin-san memutuskan untuk tidak mengganggu Yuuichi dan Fujise, tapi aku menyuruhnya untuk ‘mengganggu saja’.
Memang kalau aku tidak ada, Toujoin-san mungkin tidak akan berbuat apa-apa dan Yuuichi akan direbut.
Tapi itu ‘kan karena aku terlalu ikut campur, atau lebih tepatnya karena aku masuk ke dunia manga ini, jadi rasanya tidak pantas disebut hutang budi…
“Tidak usah merasa berhutang budi segala. Itu cuma tindakan egoisku saja, kok.”
“Berkat keegoisanmu itu, aku masih punya kesempatan menikah dengan Yuuichi, dan hubunganku dengan Ayah juga membaik.”
Oh iya, aku juga ikut campur soal hubungan Toujoin-san dengan ayahnya.
…Kalau dipikir-pikir, aku ngomong hal yang cukup gawat, ya?
“Fufufu, banyak hal yang membuatku penasaran, tapi nanti saja. Untuk sekarang, ayo naik ke mobil, kalian berdua.”
“A-ah, terima kasih.”
“P-permisi…”
Aku dan Rie naik ke limusin yang sangat mewah dan luar biasa itu, tapi kami duduk dengan perasaan tidak nyaman.
Kursi limusin memang lebih empuk dan nyaman dari sofa manapun, tapi tetap saja kami merasa canggung.
Sepertinya Rie juga merasa begitu, dia duduk tegak tanpa bersandar meski ada sandaran kursi.
Melihat itu, Toujoin-san tertawa kecil dan berbicara pada Rie.
“Santai saja. Kita akan mampir ke tempat Fujise-san dan Shimada-san juga, jadi perjalanannya akan agak lama. Kalau kaku begitu nanti capek, lo.”
“A-ah, terima kasih, Toujoin-senpai.”
“Fufufu, kamu lucu sekali. Aku senang dipanggil ‘senpai’, karena selama ini tidak punya adik kelas yang bisa kupanggil begitu. Panggil saja aku Kaori.”
“B-boleh?”
“Tentu, aku juga boleh memanggilmu Rie?”
“Tentu saja, Kaori-senpai. Suatu kehormatan.”
“Senang berkenalan denganmu, Rie-san.”
Wah, tak kusangka Toujoin-san langsung menyukai Rie.
Aku sedikit khawatir mempertemukan mereka berdua.
Karena di cerita asli, mereka berdua bermusuhan.
Di cerita asli, Rie ‘menyukai Yuuichi’ saat bertemu Toujoin-san, jadi kesan pertama mereka sama-sama buruk.
Cara memanggil nama sekarang juga berbeda, di cerita asli mereka memanggil dengan nama keluarga.
Saling memanggil dengan nama depan begini terasa agak aneh bagiku yang tahu cerita aslinya.
Yah, di dunia ini Rie tidak menyukai Yuuichi, sih, setidaknya untuk sekarang.
Entah bagaimana ke depannya…
“Wah, Rie-san memasak setiap hari? Hebat sekali.”
“A-ah, saya sudah terbiasa, kok…”
“Meski sudah terbiasa, pasti butuh usaha keras untuk sampai ke tahap itu. Tetap saja itu hal yang luar biasa, lo.”
“T-terima kasih…”
Sekarang mereka mengobrol dengan akrab.
Pemandangan yang sama sekali tidak ada di cerita asli.
Entah bagaimana ke depannya, tapi berteman baik bukanlah hal buruk.
Sebagai kakak Rie, aku senang dia bisa berteman baik dengan banyak orang.
Ah, tapi jangan sampai terlalu akrab dengan laki-laki, ya, terutama Yuuichi.
Kalau sampai jatuh cinta pada Yuuichi, Rie pasti akan jadi heroine yang kalah, jadi lebih baik dihindari.
“Rie-san manis sekali, ya. Sayang sekali jadi adik Hisamura-kun. Mau jadi adikku saja?”
“Tunggu dulu. Kenapa tiba-tiba merayu adikku?”
Tiba-tiba sekali, Toujoin-san.
Apa kamu suka sekali pada Rie?
Aku kaget, lo, padahal belum 10 menit kalian bertemu.
“Aku anak tunggal. Jadi aku sering berpikir ingin punya saudara perempuan.”
“Oh begitu.”
Yah, aku tahu itu karena sudah membaca cerita aslinya.
“Jadi kalau Rie-san jadi adikku, masalah selesai, ‘kan?”
“Itu tidak masuk akal.”
Memang benar Rie adalah adik yang sangat imut dan anak yang baik, tapi Rie tetaplah adikku.
“Bagaimana menurutmu, Rie-san?”
“Eh? Kamu serius? Benaran?”
Begitu aku bertanya, Toujoin-san tersenyum padaku.
Aduh, mana yang benar, aku tidak tahu.
Kalau dia serius, meski itu Toujoin-san sekalipun, aku tidak bisa membiarkan adikku diambil.
Saat aku berpikir untuk menyela…
“Maaf, Kaori-senpai. Saya adalah anggota keluarga Hisamura… adik dari Nii-chan.”
“Rie…!”
Rie menunduk, menghindari tatapan dariku dan Toujoin-san saat berbicara.
Tapi aku bisa melihat pipinya memerah.
Rie, betapa manisnya kamu…!
“Nii-chan tidak bisa hidup sendiri, kalau tidak ada aku, dia pasti akan langsung mati!”
“Tidak, tidak begitu, kok. Eh, jangan-jangan itu alasanmu?”
“T-tentu saja.”
Aku sempat berpikir dia mengatakan hal yang menyedihkan… tapi mengingat sifat Rie, mungkin ini caranya menyembunyikan rasa malu?
Ah, dia benar-benar imut.
Aku sungguh beruntung memiliki adik seperti ini.
“A-apa, sih, Nii-chan, kenapa senyum-senyum begitu?”
“Ah, bukan apa-apa. Aku cuma berpikir Rie imut sekali.”
“K-kamu pasti mengejekku!”
“Tidak, tidak mungkin begitu. Mana mungkin Onii-chan mengejek Rie?”
“Kamu senyum-senyum, tuh! Nii-chan bodoh!”
Mau bagaimana lagi kalau bibirku tersenyum sendiri, salah Rie sih yang terlalu imut.
“Ara ara, Rie-san cukup berani, ya, menolakku lalu bermesraan di depanku.”
“K-kami tidak bermesraan! Siapa juga yang mau bermesraan dengan Nii-chan bodoh ini!”
“Fufufu, kalian akrab sekali, ya, manis sekali. Aku juga ingin punya adik seperti Rie-san. Aku iri padamu, Hisamura-kun.”
“Heh, aku tidak akan menyerahkan Rie pada siapapun, termasuk Toujoin-san.”
Begitu aku berkata demikian, Toujoin-san menyeringai.
Hm? Ada apa? Dia seperti merencanakan sesuatu.
“Sepertinya kita akan segera sampai di rumah Shimada-san. Fujise-san juga ada di sana, jadi semua anggota sudah lengkap, ya.”
“I-iya, benar.”
Entah kenapa aku sedikit takut… apa dia berencana melakukan sesuatu?
Aku tidak tahu, tapi karena tidak tahu apa yang akan dia lakukan, aku juga tidak bisa mencegahnya.
Setelah itu, limusin berhenti… berhenti dengan sangat mulus, memang sopir kelas atas.
Toujoin-san keluar dari limusin untuk menjemput Fujise dan Sei-chan.
Tak lama kemudian, pintu limusin terbuka lagi dan tiga orang masuk.
“Wah, limusin… ini pertama kalinya aku naik.”
“Tentu saja aku juga, tapi memang hebat, ya, Toujoin.”
Sepertinya Fujise dan Sei-chan juga terkejut melihat limusin.
“Ah, kamu Rie-chan, ‘kan?”
“Iya, saya Rie Hisamura. Senang bertemu dengan Anda.”
“Aku Fujise Shiho, salam kenal, ya! Panggil saja Shiho, Rie-chan.”
“Baik, Shiho-senpai.”
Rie dan Fujise baru pertama kali bertemu, jadi mereka saling memperkenalkan diri.
Fujise mengenakan blus biru dengan celana pendek putih, penampilannya sangat segar dan imut, sangat cocok untuk musim semi.
Fujise orangnya ramah, jadi pasti mereka akan cepat akrab.
“Selamat pagi, Sei-cha… Shimada.”
“…Selamat pagi, Hisamura. Kalau dengan anggota ini, sih, panggilan itu tidak apa-apa. Tapi hati-hati, ya.”
“Ahaha, maaf Sei-chan, aku akan berhati-hati.”
Sei-chan menatapku dengan sedikit kesal karena aku salah memanggilnya.
Dia sangat imut, tapi aku juga harus berhati-hati.
Penampilan Sei-chan hari ini… imut sekali sampai menyakitkan.
Tidak seperti kencan di taman hiburan waktu itu, perutnya tidak kelihatan, tapi tanpa itu pun Sei-chan tetap imut.
Dia mengenakan jeans berwarna gelap seperti yang kupakai. Sei-chan memang memiliki kaki yang panjang dan ramping, jadi jeans sangat cocok untuknya.
…Apa dia juga memakai celana pendek atau rok, ya?
Aku sangat ingin melihatnya, tapi kalau sampai lihat mungkin aku bisa mati.
Aku harus berhati-hati soal itu.
Atasannya adalah sweater abu-abu muda yang sederhana, agak kebesaran dan terlihat lembut, sangat imut.
Dan karena bagian lehernya agak longgar, aku jadi sedikit berdebar-debar, khawatir kalau-kalau ada yang terlihat saat mengintip ke dalam.
Yah, meski kurasa tidak mungkin, sih.
“Sei-chan, hari ini juga kamu cantik sekali, cocok banget.”
Aku berbisik di dekat telinga Sei-chan agar yang lain tidak mendengar.
“Ah! T-terima kasih…”
Sei-chan berkata dengan pipi memerah, sambil menutupi mulutnya dengan tangan.
Bahkan gestur itu pun imut sekali.
Setelah semua orang masuk, limusin kembali berangkat.
Rie tampak tegang lagi saat bertemu Fujise, tapi setelah berbicara sebentar, mereka langsung akrab.
Fujise memang punya kepribadian yang mudah akrab dengan siapa saja, hebat sekali.
“Omong-omong Hisamura-kun, aku tidak tahu kamu punya adik secantik ini.”
“C-cantik? Ah, aku tidak…”
“Aku belum memberitahu Fujise. Dia adikku yang kubanggakan, aku tidak akan menyerahkannya padamu, Fujise.”
“Aku tidak bilang aku menginginkannya, sih, tapi kalau punya adik secantik ini, mungkin aku mau~”
Sambil berkata begitu, Fujise memeluk Rie.
“A-ah, itu…”
Rie yang kebingungan harus bereaksi seperti apa jadi membeku.
“Shiho, Rie kelihatan tidak nyaman, tuh.”
“Ah, maaf, ya, Rie-chan.”
“T-tidak apa-apa, kok.”
“Rie, Shiho bukan orang jahat. Dia hanya suka pada gadis-gadis imut dan kadang-kadang jadi agak menyedihkan, jadi maafkan dia, ya.”
“Aduh Sei-chan, jangan mengenalkanku seperti itu, dong~”
“Fufu…”
Melihat interaksi antara Sei-chan dan Fujise, Rie tertawa kecil.
“Tapi Rie-san benar-benar anak yang baik, aku juga ingin dia jadi adikku.”
“Benar, ya, Toujoin-san.”
“Tapi tadi saat kutanya apa dia mau jadi adikku, aku malah ditolak, lo.”
“Apa yang kau lakukan, Toujoin… Jangan terlalu menggoda Rie.”
Sei-chan berkata dengan nada heran mendengar ucapan Toujoin-san.
Lalu… Toujoin-san menyeringai.
Sama seperti tadi, wajahnya seperti sedang merencanakan sesuatu.
“Makanya aku berpikir, aku iri pada Hisamura-kun. Iya, ‘kan, Fujise-san?”
“Benar, Toujoin-san. Aku juga anak tunggal, sih. Kalau Sei-chan punya kakak laki-laki, ‘kan?”
“Ya, benar. Tapi aku juga ingin punya adik perempuan seperti Rie.”
“A-aduh, Sei-san juga…”
Sepertinya tiba-tiba terbentuk harem Rie.
Rie terlihat malu dengan wajah merah padam, imut sekali.
Sepertinya semua menyukai Rie, tapi ingat, ya, Rie itu adikku.
“Ara, aku juga iri pada Shimada-san, lo.”
“Hm? Maksudmu soal kakakku?”
“Bukan, bukan itu. Karena… pada akhirnya, Rie-san akan menjadi adikmu, ‘kan?”
“Hm? Apa maksud… Eh!?”
Saat Sei-chan hendak bertanya lagi, dia seperti menyadari sesuatu dan wajahnya langsung memerah.
Bersamaan dengan itu, aku juga menutupi wajahku yang memerah dengan sebelah tangan.
Sial… jadi ini yang direncanakan Toujoin-san…!
“Entah berapa tahun lagi, tapi paling cepat sekitar setahun dari sekarang mungkin?”
Kami masih kelas 2 SMA, baru 17 tahun.
Sei-chan bisa menjadikan Rie sebagai adiknya paling cepat saat 18 tahun… Gawat, aku juga terkena damage yang besar.
“Enak, ya, punya adik secantik Rie-san.”
“Kuh, k-kau…!”
Sei-chan dengan wajah merah padam mencuri-curi pandang ke arah Rie dan aku.
Hentikan, Sei-chan, aku jadi semakin sadar.
Ini strategi macam apa, Toujoin-san.
Memberi damage pada aku dan Sei-chan, dan membuat Sei-chan sulit untuk menolak karena ada Rie.
Kalau sampai menolak, nanti kesannya jadi tidak mau menjadikan Rie sebagai adik.
“Hei, Fujise-san. Kau juga iri, ‘kan?”
“Fufu, iya ya! Enak ya, Sei-chan.”
“S-Shiho juga, apa-apaan, sih…!”
Yah, memang Fujise biasanya akan berpihak ke sana, sih.
Sei-chan menatapku seperti meminta pertolongan, tapi aku merasa kalau aku bicara sekarang, situasinya akan semakin memburuk.
“Rie-chan juga, senang tidak kalau Sei-chan jadi kakak perempuanmu?”
“S-Shiho, apa yang kau tanyakan…!”
“…Fufu, iya, aku akan sangat senang.”
Rie, kau juga?
Sepertinya Rie juga paham situasinya, tapi dia malah ikut-ikutan.
Padahal tadi masih malu-malu, sekarang malah berusaha mempermalukan aku dan Sei-chan.
“Soalnya Sei-san sangat baik, cantik, imut, dan keren, sih.”
“I-itu, aku senang mendengarnya tapi…”
“Fufu, Rie-chan, mungkin sebaiknya kamu latihan dulu? Misalnya cara memanggilnya, gitu.”
“S-Shiho, sudah cukup…!”
“…Sei-oneechan.”
“Ugh…!”
“Fufu, aku juga sedikit malu.”
Rie berkata begitu dengan pipi sedikit memerah, tapi yang wajahnya benar-benar merah padam adalah Sei-chan.
Tak kusangka Rie akan memberikan pukulan terakhir.
Dan cara Rie memanggilnya juga imut, ‘Onee-chan’ memang bagus, ya.
“Ara, Hisamura-kun. Pacarmu sedang dipermalukan, apa kau tidak akan mengatakan apa-apa?”
Sekarang giliran aku yang kena.
Sepertinya Toujoin-san tidak akan melepaskanku.
Apa yang harus kulakukan, aku benar-benar tidak tahu.
Sudah tidak mungkin menyelamatkan situasi ini, atau lebih tepatnya, kami sudah dipermalukan sampai akhir.
“…Tolong ampuni aku.”
“Ara, apanya? Hisamura-kun, sepertinya Rie-san juga menginginkan kakak perempuan. Mungkin kau bisa memberitahu kami berapa tahun lagi hal itu akan terjadi?”
“Fufu, aku juga ingin tahu, nih, Hisamura-kun~”
“Nii-chan, bagaimana?”
“S-sudah hentikan…!”
…Setelah itu, sampai tiba di rumah Toujoin-san, aku dan Sei-chan terus digoda.
Untungnya, sekitar 10 menit setelah Fujise dan Sei-chan naik ke mobil, kami tiba di kediaman Toujoin.
Toujoin-san dan Fujise masih terlihat belum puas menggoda kami, tapi…
Begitu sampai di kediaman Toujoin, setidaknya Fujise kehilangan niat untuk menggoda.
“L-luar biasa…!”
Fujise tanpa sadar bergumam melihat rumah mewah yang terlihat dari dalam limusin.
Bukan hanya Fujise, Rie dan Sei-chan juga terbelalak.
Di luar jendela terpampang sebuah mansion yang begitu megah, seperti yang belum pernah mereka lihat sebelumnya.
Yah, mungkin mereka pernah melihat mansion semegah ini di manga, tapi tidak dalam kenyataan.
…Ah iya, ini ‘kan memang dunia manga.
Aku sudah tahu rumah Toujoin sebesar ini karena sudah membaca cerita aslinya, tapi melihatnya langsung tetap membuatku takjub sampai ingin tertawa.
“Tunggu sebentar ya, gerbangnya sedang dibukakan.”
“Ge-gerbang…”
Limusin sedang berhenti, menunggu gerbang dibuka agar bisa masuk ke mansion ini.
Berarti di dalam area mansion ini ada taman yang cukup luas untuk dimasuki limusin, ya.
…Benar-benar luar biasa.
Kemudian gerbang yang bahkan lebih besar dari gerbang sekolah terbuka, dan limusin pun masuk ke dalam area tersebut.
Kami mendekat ke mansion megah itu, dan akhirnya limusin berhenti. Kami pun keluar.
Mansion yang begitu besar sampai harus mendongak untuk melihatnya, pintu masuknya bahkan lebih pantas disebut gerbang saking megahnya.
“Ternyata Toujoin-san benar-benar seorang nona muda, ya…”
Fujise bergumam dengan tatapan kosong.
“Ara, memangnya kau pikir aku apa selain itu?”
“Bukan, aku tahu kau nona muda, tapi ini benar-benar luar biasa…”
“Bagiku rumah ini tidak terlalu besar, sih… tapi bagi orang biasa, mungkin memang besar, ya.”
“Eh, ada rumah yang lebih besar dari ini?”
“Di luar negeri ada vila yang ukurannya beberapa kali lipat rumah ini.”
“…Aku tidak bisa membayangkannya.”
Beberapa kali lipat dari ini… seperti kata Fujise, ini dunia yang tak terbayangkan bagi orang biasa.
“Sudah cukup melihat-lihat luarnya? Ayo masuk.”
Toujoin-san berkata begitu dan berjalan menuju pintu, kami pun mengikutinya dari belakang.
Saat itu, pandanganku bertemu dengan Sei-chan yang ada di sampingku…
“Ugh…!”
Sei-chan memalingkan wajahnya dariku dengan wajah merah padam.
Yah, wajar saja dia bereaksi begitu setelah tadi digoda habis-habisan soal menikah denganku atau tidak.
Aku sendiri juga merasa malu sampai ingin memalingkan wajah.
Tapi wajah Sei-chan yang malu-malu juga manis.
Begitu masuk ke dalam mansion, ternyata bagian dalamnya juga sangat luas dan mewah.
Kami terpana melihat sekeliling, mulai dari pintu masuk yang terlalu luas, langit-langit yang terlalu tinggi, hingga chandelier.
Hanya Toujoin-san yang tampak terbiasa dan langsung masuk ke dalam.
“Jadi, bagaimana? Kalau ingin langsung latihan memasak di dapur, aku akan mengantar kalian ke sana.”
“I-iya… tolong, ya.”
Tujuan hari ini adalah latihan memasak Fujise.
Fujise benar-benar tidak bisa memasak, ketidakmampuannya luar biasa.
Sampai-sampai Sei-chan pun angkat tangan menghadapinya.
Dulu Sei-chan pernah memintaku “Hisamura, tolong bantu juga”, tapi jujur saja aku pikir “Ini hukuman apa?”
Soalnya pencicip makanan bisa jadi korban keracunan dan kemungkinan besar akan pingsan.
Makanya saat kudengar Toujoin-san dan Sei-chan akan memberi hukuman pada yang kalah di festival olahraga, aku langsung ingat soal membantu Fujise memasak.
Membantu Fujise memasak saja sudah jadi hukuman, apalagi bagi Toujoin-san yang harus membantu rivalnya.
Terlebih lagi dalam hal memasak yang merupakan keunggulan besar Toujoin-san.
Saat kuusulkan ide itu pada Sei-chan, dia langsung setuju.
Begitu kuceritakan hukuman itu pada Toujoin-san, dia bilang itu sangat memalukan tapi dia akan melakukannya.
Jadi hari ini kami akan melatih Fujise memasak di rumah Toujoin-san.
Kami diantar oleh Toujoin-san menyusuri mansion yang terlalu luas ini.
Selama perjalanan, kami yang diundang terus-menerus melirik sekeliling.
Habisnya di sekeliling kami ada butler dan maid yang menundukkan kepala setiap kali kami lewat.
Toujoin-san tampak biasa saja, tapi wajar kalau kami jadi gugup.
Saat kami berjalan di lorong… seorang pria berjalan dari arah depan.
Lo, orang itu…!?
“Ayah!?”
Toujoin-san yang berjalan paling depan berhenti dan berseru keras.
“Eh, ayahnya Toujoin-san…”
Fujise tanpa sadar bergumam… ya, seperti yang terlintas di pikiran semua orang.
Presiden direktur perusahaan besar dengan total aset lebih dari 1000 triliun… Kouki Toujoin.
Penampilannya masih muda, tidak terlihat seperti orang berusia lebih dari 40 tahun, dengan rambut hitam yang dipotong pendek sehingga telinganya terlihat jelas.
Wajahnya juga sangat rupawan, matanya mirip dengan Toujoin-san.
Ah tidak, mungkin lebih tepatnya Toujoin-san yang mirip ayahnya.
Kami, termasuk Toujoin-san, semakin tegang melihat ayahnya yang mendekat dengan ekspresi datar mengenakan setelan jas.
“Kaori, selamat pagi. Kau baik-baik saja?”
“Se-selamat pagi, Ayah. Ya, baik-baik saja.”
Toujoin-san tersenyum kaku dengan wajah tegang.
Kami yang ada di belakangnya pun jadi berdiri lebih tegak dari sebelumnya.
Ayahnya sempat mengerutkan dahi sejenak entah kenapa, tapi segera mengalihkan pandangannya ke arah kami.
“Mereka teman-teman Kaori?”
“I-iya, mereka temanku. Hari ini aku mengundang mereka ke rumah.”
“Begitu. Salam kenal, saya ayah Kaori, Kouki Toujoin.”
“Sa-salam kenal, saya Fujise Shiho.”
Fujise yang pertama berbicara, lalu kami pun menyusul memberi salam.
Rie dan Sei-chan juga memberi salam dengan sedikit gugup, dan terakhir aku yang berbicara.
“Saya Tsukasa Hisamura.”
“…Jadi kau Hisamura-kun.”
“Eh?”
Dia tahu namaku? Kok bisa?
“Kau sudah sangat membantu kami, terima kasih.”
“E-eh, tidak, apa maksud Anda…?”
“Aku dengar Kaori meneleponku tempo hari karena kata-katamu.”
“Oh, soal itu…”
Ternyata Toujoin-san menceritakan soal telepon itu, bahkan tentang aku, pada ayahnya.
Toujoin-san bilang dia berhutang budi padaku, tapi menurutku itu tidak sebesar itu.
“Aku ingin berterima kasih padamu, terima kasih banyak.”
“T-tidak, saya tidak melakukan hal yang besar…”
“Bagi kami itu hal yang sangat besar. Untuk sementara, terimalah ini sebagai ucapan terima kasih.”
Aku menerima kertas yang dikeluarkan ayahnya dari sakunya dengan kedua tangan.
Apa ini?
…Eh, cek?
“Aku ingin mengatakan ‘tulis jumlah sesukamu’… tapi maaf, batas maksimalnya 10 miliar yen.”
“Eh? Eh? Ah, hah?”
Aku sama sekali tidak mengerti apa yang dia katakan.
10 miliar… 10 miliar yen…?
…Tidak, tidak, tidak, tidak!?
“S-saya tidak bisa menerima ini!? Lagipula saya tidak mungkin bisa menulis jumlah sebesar itu!”
“Begitukah? Kalau begitu, aku punya vila kecil sebesar rumah ini di Karuizawa, apa kau mau itu?”
“Tidak perlu!”
Apa maksudnya vila kecil sebesar rumah ini?
Ini terlalu mewah!
“Begitu, ya. Saat ini aku tidak tahu apa yang kau inginkan, tapi suatu saat nanti aku ingin mengirimkan hadiah terima kasih.”
“Niat baiknya saja sudah cukup…”
“Tidak bisa begitu. Kau sudah mencairkan es di antara keluarga kami.”
Sambil berkata begitu, ayahnya menatap Toujoin-san dan tersenyum lembut.
Toujoin-san mengalihkan pandangannya dengan canggung, tapi telinganya sangat merah.
“A-ayah, kenapa hari ini ada di rumah?”
“Aku dengar Kaori mengundang teman-teman ke rumah untuk pertama kalinya selain Yuuichi-kun.”
“T-tolong jangan katakan hal memalukan seperti itu…”
“Maaf. Tapi aku terlalu penasaran sampai meninggalkan pekerjaanku.”
“Apa itu tidak apa-apa!?”
Oh, pantas saja dari tadi terdengar suara getar dari saku dalam ayahnya.
Mungkin itu panggilan terkait pekerjaan… apa benaran tidak apa-apa?
“Aku harus pergi sekarang. Kaori, soal jamuan makan minggu depan… benarkah Kaori yang akan memasak?”
“I-iya, meski masih belajar, tapi aku akan berusaha sebaik mungkin.”
“Bagiku, masakan Kaori lebih berharga daripada masakan mewah manapun.”
“Ah… terima kasih…”
Kami melihat pemandangan yang sangat langka.
Kaori Toujoin yang itu, dengan malu-malu mengecilkan tubuhnya dan berbicara dengan suara yang hampir tak terdengar.
Toujoin-san yang tadi begitu anggun di dalam limusin sekarang berubah menjadi gadis yang manis.
“Dan Kaori… apakah kau tidak akan memanggilku dengan sebutan itu lagi?”
“Ugh!? I-itu…”
“…Begitu, ya.”
Ayahnya menundukkan pandangan, terlihat sedikit sedih dan kecewa.
Melihat itu, Toujoin-san dengan wajah merah padam, akhirnya memberanikan diri…
“…Papa, semoga sukses dengan pekerjaannya.”
“Ah… ya, terima kasih, Kaori.”
Mendengar kata-kata Toujoin-san, ayahnya… Papa tersenyum sangat lembut.
“Kalian juga, nikmati waktu kalian di sini.”
“Ah, iya, terima kasih banyak.”
Papa mengucapkan itu sebelum pergi.
Setelah Papa pergi, keheningan mengisi ruangan selama beberapa detik.
“…Sepertinya kau sangat akrab dengan Papa, ya, Toujoin.”
“Ugh!?”
Yang pertama mengucapkan kata-kata itu, mengejutkan, adalah Sei-chan.
Yah, mungkin tidak terlalu mengejutkan, mengingat betapa dia digoda di dalam limusin tadi.
“Shi-Shimada-san…?”
“Tidak, itu hal yang bagus, hubungan orangtua-anak yang baik. Teruslah akrab dengan Papa, ya.”
Sei-chan mencoba tersenyum lembut, tapi dia tidak bisa menyembunyikan seringainya.
Tapi aku juga… tidak bisa menahan senyumku.
“Benar, Sei-chan. Akrab dengan Papa itu hal yang bagus, ya.”
“Ah, benar sekali. Itu hal yang sangat bagus.”
“Aku sangat senang bisa membantu Toujoin-san menjadi akrab dengan Papa.”
“Kerja bagus, Hisamura. Berkat kamu, Toujoin dan Papa jadi semakin akrab.”
“Ugh…”
Setelah itu, sampai kami tiba di dapur, aku dan Sei-chan terus menggoda Toujoin-san yang wajahnya merah padam.
Akhirnya, kami tiba di dapur.
Dapurnya sangat indah dan besar, seperti dapur restoran mewah.
“Semua peralatan masak di sini adalah yang terbaru dan sangat bagus. Tapi kami juga menyediakan peralatan masak sederhana seperti yang ada di rumah Fujise-san, jadi mungkin lebih baik latihan dengan itu hari ini.”
“I-iya, terima kasih.”
“Meski ini hukuman, kalau sudah mulai, aku akan melakukannya dengan sungguh-sungguh.”
Sepertinya Toujoin-san benar-benar akan mengajari Fujise memasak.
Padahal mereka rival cinta, tapi dia orang yang sangat bertanggung jawab dan baik.
“Seperti yang diharapkan dari Toujoin, kau orang baik seperti Papa, ya.”
“…Shimada-san? Bisakah kau berhenti?”
Sepertinya Sei-chan masih menyimpan dendam atas apa yang terjadi di dalam limusin, ia terus mengatakannya.
Toujoin-san tampaknya sudah terbiasa dengan hal ini, wajahnya tidak memerah dan ia tetap tenang, meski telinganya masih merah.
“Hmm, aku mengerti kau belum puas. Tapi kita harus membantu Shiho memasak, kalau konsentrasi kita terpecah, bisa-bisa kita mati.”
“A-apakah ini sesuatu yang sangat berbahaya?”
Rie, yang sama sekali tidak tahu tentang kemampuan memasak Fujise, bertanya dengan wajah tegang.
“Aduh Sei-chan! Jangan menakut-nakuti Rie-chan! Tenang saja Rie-chan, aku tidak akan melakukan hal yang berbahaya, kok!”
“B-baiklah, mohon bantuannya, ya.”
“Aku juga, mohon bantuannya hari ini!”
Rie juga datang hari ini untuk membantu pelatihan memasak Fujise.
Rie yang memasak setiap hari pasti bisa membantu.
Saat Rie hendak meminjam dan memakai celemek,
“Rie-san, kamu tidak perlu memakainya.”
“Eh?”
Toujoin-san berkata begitu sambil memakai celemek.
“Kalau aku yang mengajari, membuat Fujise-san jadi pandai memasak itu hal yang mudah. Tidak seperti seseorang yang tidak bisa melakukannya.”
Toujoin-san melirik ke arah Sei-chan.
Mungkin karena baru saja dibalas, ia mencoba memprovokasi Sei-chan.
“…Ah, begitu, ya. Semoga berhasil.”
“Hmph…”
Tapi Sei-chan sama sekali tidak terpancing provokasi itu dan hanya tersenyum.
Karena tidak berjalan sesuai rencananya, Toujoin-san menggembungkan pipinya.
“Untuk sementara, Rie-san. Tolong perhatikan saja dulu. Aku senang kamu datang untuk membantu, tapi mungkin saja kita bisa menyelesaikannya tanpa bantuan.”
“Kalau begitu tidak apa-apa, sih…”
Rie meletakkan celemek di atas meja yang kosong dan menghampiri aku dan Sei-chan.
Kami bertiga untuk sementara akan mengamati Toujoin-san mengajari Fujise memasak.
Tapi senyum Sei-chan tadi… meski terlihat seperti senyum dewasa yang terkendali, sepertinya bukan itu.
Matanya menatap jauh dan tidak fokus, seperti senyum yang menyerah pada sesuatu.
Sei-chan tersenyum seperti itu meski diprovokasi… apakah masakan Fujise benar-benar seburuk itu?
“Nah, Fujise-san. Aku akan mengajarimu dengan teliti. Aku tidak tahu bagaimana Shimada-san mengajarimu, tapi kalau aku yang mengajar, aku tidak akan bersikap lembut.”
“B-baik! Mohon bantuannya! Apa yang harus kulakukan dulu!?”
Fujise memakai celemek dengan penuh semangat, mengepalkan kedua tangannya.
“Pertama-tama… celemekmu terbalik.”
“Eh? Ah…”
Benar ‘kan, siapapun yang melihat pasti tahu itu terbalik.
Bagaimana bisa salah memakai bagian depan dan belakang celemek?
Bagian belakangnya hampir tidak ada apa-apa selain tali, kenapa itu yang dipasang di depan?
“A-ahaha, maaf. Aku selalu melakukan ini…”
“Be-begitu, ya…”
Bahkan Toujoin-san yang hebat itu tidak menyangka Fujise akan se-‘itu’, ia tidak bisa menyembunyikan kekagetannya.
…Ini awal yang sangat tidak menjanjikan.
Tiga puluh menit telah berlalu sejak Toujoin-san mulai mengajari Fujise memasak.
“Maafkan aku, ini tidak mungkin.”
Yang pertama menyerah adalah Toujoin-san.
“Eh? Ada apa, Toujoin-san?”
Fujise bertanya sambil meletakkan masakan yang sudah menghitam di atas piring.
…Mengerikan.
Eh, apa yang terjadi? Keajaiban?
Aku memang melihat Toujoin-san dengan serius mengajari Fujise memasak.
Dimulai dari memakai celemek terbalik, lalu memegang pisau terbalik.
Aku baru pertama kali melihat orang memegang pisau terbalik, luar biasa.
Tapi Toujoin-san memperbaiki satu per satu dan terus mengajari.
Meski kesalahannya berkali-kali lipat lebih banyak dari orang normal, Fujise memperbaikinya satu per satu.
Tapi hasilnya adalah… dark matter yang mengeluarkan asap hitam seperti yang sering terlihat di manga.
Ini memang dunia manga, tapi aku tidak menyangka akan benar-benar melihat dark matter.
“Kenapa, kenapa bisa jadi begini…?”
“Eh, apanya?”
Sepertinya Fujise tidak mengerti mengapa Toujoin-san terlihat depresi atau lelah.
“Harusnya kita membuat hamburger biasa… sebelum menutup tutup penggorengan semuanya masih normal, tapi kenapa begitu dibuka malah muncul zat gelap? Bahkan bagianku juga…”
Mereka menggunakan dua penggorengan, satu untuk Toujoin-san dan satu lagi untuk Fujise, tapi begitu tutupnya dibuka, keduanya berisi dark matter.
Ini sudah masuk ranah sihir atau ilusi.
Tapi ini bukan ilusi, karena benar-benar tidak ada trik atau tipuan di dalamnya.
Bagaimana bisa membuat hamburger biasa malah menghasilkan dark matter?
“…Shimada-san, Rie-san, bisakah kalian membantu?”
Toujoin-san menarik kata-katanya dan benar-benar meminta bantuan.
Yah, itu tidak bisa dihindari, ada hal yang bahkan Toujoin-san tidak bisa lakukan.
Mungkin karena menyadari hal ini, Sei-chan tidak terpancing provokasi dan hanya tersenyum seperti Buddha.
“Meski diminta bantuan, aku tidak tahu harus membantu bagaimana. Bahkan dari luar pun aku sama sekali tidak mengerti.”
Rie menjawab sambil memakai celemek.
“Aku juga. Mungkin sebaiknya Shiho berhenti memasak saja…”
“Eh? Ini juga tidak bisa? Padahal menurutku aku sudah melakukannya dengan baik…”
Fujise memegang piring berisi dark matter dengan kedua tangannya dan menghela napas.
Tidak, menurutku cukup berbahaya kalau dia berpikir sudah melakukannya dengan baik setelah melihat hasil seperti itu.
“Boleh kucicipi sendiri?”
“Jangan, kau bisa mati.”
Toujoin-san menjawab dengan wajah serius.
Ya, aku juga tidak ingin memakannya.
Tapi aku kagum Fujise masih bisa berpikir untuk memakannya.
“Tapi ‘kan sayang. Ah, Hisamura-kun mau makan?”
“Ahaha, mungkin kalau aku sudah putus asa dengan dunia dan ingin mati, aku akan memakannya.”
Selama aku bersama Sei-chan, saat seperti itu tidak akan pernah datang.
Fujise menyodorkan dark matter itu ke depanku, tapi kenapa tidak ada bau sama sekali padahal mengeluarkan asap hitam?
Justru tidak adanya bau itu yang menakutkan.
“Ada yang tahu kenapa kali ini gagal?”
“Memang ada beberapa kesalahan, tapi kurasa tidak ada kesalahan yang cukup parah untuk menghasilkan sesuatu seperti ini…”
“Rie-chan, menurutmu ini seburuk itu?”
“Aku belum pernah melihat masakan seperti ini sebelumnya.”
“Eh, apa itu pujian?”
“Sama sekali bukan pujian.”
Aneh sekali dia berpikir itu pujian.
“Mungkin kesalahan kecil bisa menghasilkan sesuatu seperti ini. Saat aku mengajarinya dulu, dia juga membuat zat itu sedikit demi sedikit dengan kesalahan-kesalahan kecil.”
“Aku tidak percaya kesalahan takaran sedikit bisa menghasilkan sesuatu seperti ini… tapi sepertinya tidak ada hal lain yang bisa diperbaiki. Baiklah, ayo kita mulai dari awal lagi, Fujise-san.”
“Ya, aku akan berusaha!”
Fujise kembali mengepalkan kedua tangannya dengan penuh semangat.
“Kalau begitu, pertama-tama potong bawang… Fujise-san, kenapa kau memegang pisau terbalik?”
“Ah, aku salah.”
“…Begitu.”
Akhirnya Toujoin-san juga tersenyum seperti Buddha, sama seperti Sei-chan tadi.
Rie juga akan bergabung sekarang, aku penasaran apakah dia juga akan tersenyum seperti itu…
Mungkin aku juga harus mengatakan apa yang kupikirkan setelah melihat masakan tadi.
“Boleh aku usul? Bagaimana kalau kita tulis langkah-langkah memasak di kertas? Kita juga bisa menulis hal-hal yang harus diperhatikan Fujise.”
“Benar juga… Aku pikir tidak perlu menulis karena langkah-langkahnya sudah ada di kepalaku, tapi memang lebih baik kalau ditulis agar Fujise-san bisa melihatnya.”
“Iya, kadang-kadang sulit mengerti hanya dengan mendengar instruksi, jadi akan sangat membantu kalau bisa melihatnya tertulis.”
“Sekarang yang kuingat, saat aku mengajarinya dulu, aku hanya menjelaskan langkah-langkahnya secara lisan.”
“Nii-chan, ide bagus!”
“Syukurlah kalau begitu.”
Aku pernah bekerja paruh waktu di kafe di dunia sebelumnya, di mana aku sedikit memasak.
Tentu saja aku juga tidak langsung bisa. Seperti Fujise… yah, tidak separah Fujise, tapi aku juga pernah gagal beberapa kali saat membuat masakan.
Karena pengalaman itu, aku tahu betapa berharganya memiliki langkah-langkah tertulis.
Agak sulit untuk langsung mengerti jika hanya dijelaskan secara lisan, tapi dengan instruksi tertulis, kita bisa tahu di mana kita melakukan kesalahan.
Toujoin-san mulai menulis langkah-langkah membuat hamburger dari awal di atas kertas.
“Kira-kira seperti ini. Baiklah, ayo kita coba lagi. Kali ini aku tidak akan membiarkan ada kesalahan.”
“B-baik, mohon bantuannya!”
“Kita juga akan berusaha, Rie.”
“Iya, Sei-san.”
Dan kini dengan formasi terkuat yang terdiri dari Sei-chan, Rie, dan Toujoin-san, mereka mulai berusaha meningkatkan kemampuan memasak Fujise.
…Sei-chan dengan celemek terlihat sangat imut.
Tiga puluh menit berlalu sejak mereka mulai memasak dengan formasi terkuat, dan hamburger pun selesai.
“…Yah, ini bisa disebut hamburger.”
“Benar. Setidaknya sudah menyerupai hamburger yang tidak terlalu bagus.”
“Sungguh sebuah kemajuan…!”
“Hei, apa itu pujian? Apa aku dipuji?”
Hamburger buatan Fujise memang agak berbentuk aneh dan sedikit gosong dibandingkan yang biasa, tapi setidaknya bisa dikenali sebagai hamburger oleh siapa pun yang melihatnya.
Dibandingkan dengan yang pertama, ini jelas sebuah kemajuan.
Toujoin-san dan Rie sepertinya berpikir, “Padahal sudah dibantu sepenuhnya tapi hasilnya hanya segini?”
Tapi hanya Sei-chan yang tampak sangat terkesan.
Sei-chan pernah membantu Fujise memasak sendirian, jadi hanya dia yang tahu betapa sulitnya saat itu.
Terlebih lagi, dia punya pengalaman memberanikan diri memakan dark matter buatan Fujise dan pingsan karenanya.
Dia pasti terkesima melihat Fujise bisa membuat makanan yang layak dimakan.
“Hmm, kalau dibandingkan dengan punya kalian, punyaku terlihat sangat jelek, ya.”
Seperti kata Fujise, memang ada perbedaan yang sangat jelas jika dibandingkan dengan buatan Sei-chan dan yang lainnya.
Bentuk, warna, dan meskipun belum dicicipi, rasanya pun mungkin berbeda.
“Fujise-san, kau sudah berkembang dibandingkan pertama kali. Awalnya kau melakukan alkimia mengubah makanan menjadi sesuatu yang berbeda. Jika dipikir begitu, mungkin bisa dibilang ini mengalami degradasi.”
“Sungguh misteri bagaimana bisa membuat zat tak dikenal seperti itu, ya.”
“Shiho, kamu sudah bekerja keras. Kamu berhasil membuat masakan yang bisa dimakan.”
“Hei, jadi ini pujian atau bukan?”
Kurasa selain Sei-chan, tidak ada yang benar-benar memuji.
Bahkan cara Sei-chan memuji pun agak kejam.
Seperti mengatakan “Pintar sekali, kamu bisa mencuci tangan sendiri~” kepada anak kecil.
Yah… mungkin memang begitu kenyataannya.
Tapi sungguh luar biasa dia bisa membuat hamburger yang normal setelah membuat zat gelap itu.
Jujur saja, aku pikir itu tidak mungkin bahkan dengan formasi terkuat yang melibatkan Sei-chan dan Rie.
Karena dalam cerita aslinya pun, Shiho digambarkan sebagai karakter yang benar-benar tidak bisa memasak.
Apapun yang dia buat selalu berubah menjadi zat gelap, bahkan dalam pelajaran memasak di sekolah dia satu-satunya yang hanya boleh mengamati.
Jadi dalam hati aku berpikir dia pasti akan gagal.
“Ini bisa dimakan, ‘kan? Hisamura-kun, coba cicipi!”
“…B-baiklah.”
Fujise menyerahkan piring berisi hamburger yang sudah jadi kepadaku.
Penampilannya memang hamburger yang tidak terlalu bagus, tapi tidak ada yang aneh.
Baunya sedikit gosong, tapi tetap bau hamburger.
…Tapi tetap saja menakutkan.
Tidak mungkin aku bisa makan tanpa rasa curiga makanan buatan orang yang baru saja membuat zat gelap.
Aku melirik ke arah Sei-chan dan yang lainnya.
Sei-chan juga menelan ludah sambil menatap hamburger yang akan kumakan.
Rie dan Toujoin-san juga memerhatikanku, mungkin penasaran dengan rasanya.
Aku memotong sedikit dengan sumpit yang disediakan. Teksturnya juga tidak aneh.
Aku memberanikan diri… dan melahapnya!
“…Ah, enak.”
“Benarkah!?”
Fujise bereaksi dengan mata berbinar mendengar kata-kata yang tak sengaja kuucapkan.
“Ya, menurutku enak, kok. Memang ada bagian yang agak gosong, tapi bisa dimakan dengan normal.”
“Syukurlah…!”
Aku makan gigitan kedua dan memberikan pendapatku.
Ya, ini hamburger.
Seperti penampilannya, memang ada rasa gosong sedikit, tapi bisa dimakan.
Melihatku mencicipi… tidak, menjadi kelinci percobaan, Sei-chan dan yang lain juga mulai memakan hamburger buatan Fujise.
“Benar, bisa dimakan dengan normal.”
“Ya, bisa dimakan. Rasanya enak.”
“A-aku tidak pingsan…! Hebat, Shiho!”
“Rasanya aku lebih dipuji dari sebelumnya, tapi kok rasanya aneh. Terutama Sei-chan, kenapa kaget tidak pingsan?”
Justru aneh kalau ada makanan yang bisa membuat orang pingsan hanya dengan memakannya, apa yang dipakai, racun?
Membuat Sei-chan pingsan hanya dengan satu gigitan tanpa menggunakan racun, itu benar-benar semacam alkimia, ya.
“Menurut Shiho, apa yang paling berbeda? Waktu berlatih denganku, berapa kali pun mencoba, kamu tidak bisa membuat yang normal seperti ini.”
“Kok cara bicaramu agak menusuk ya, Sei-chan. Tapi ya, yang paling jelas berbeda adalah adanya resep tertulis di kertas.”
“Jadi… maksudmu ide dari Hisamura?”
“Eh, benarkah?”
Jadi ideku yang paling cocok untuk Fujise?
Padahal ada orang-orang yang sangat pandai memasak yang mengajarinya.
“Ya, karena aku bisa membuatnya dengan mengikuti langkah-langkah yang tertulis di kertas. Aku senang Sei-chan dan Toujoin-san mengajariku, tapi karena dijelaskan secara lisan, mungkin agak sulit dimengerti.”
“Padahal kami hanya menjelaskan secara lisan apa yang tertulis di kertas…”
“Aku juga begitu.”
Toujoin-san dan Sei-chan tersenyum kecut.
Yah, mungkin memang ada cara yang lebih mudah atau sulit bagi orang yang berbeda.
“Tapi kalau begitu, bukankah ke depannya Fujise-san bisa memasak hampir semua makanan dengan melihat resep?”
“Ah, benarkah? Mungkinkah aku sudah bisa memasak sendiri!?”
“Semudah itukah? Kalau begitu, apa yang selama ini kulakukan…”
Sei-chan yang telah berusaha keras mengajari Fujise memasak terlihat sedikit kecewa saat mengatakannya.
Tapi apa benar sesederhana itu?
Apakah Fujise yang sangat payah dalam memasak benar-benar bisa memasak hanya dengan melihat resep?
“Kalau begitu Fujise-san, coba buat sesuatu yang lain sementara kami mengawasi. Ada yang ingin kau buat?”
“Hmm, sesuatu yang bisa dimasukkan ke kotak bekal, sih. Soalnya aku ingin membuatkan bekal untuk Shigameto-kun!”
“…Kau berani sekali mengatakan itu saat belajar dariku, aku terkesan.”
Fujise dan Toujoin-san adalah rival cinta yang sempurna.
Kali ini, Toujoin-san seperti memberikan garam pada rivalnya, Fujise.
Yah, ini ‘kan hukuman, jadi mau bagaimana lagi… tapi Fujise juga mengatakan hal yang membuat rivalnya sadar.
Fujise terlihat lembut, tapi ternyata dia tipe yang blak-blakan, ya.
Kurasa memang harus begitu untuk bisa melawan wanita luar biasa seperti Toujoin-san.
“Fufu, tidak apa-apa, kok. Meskipun aku dan Toujoin-san masing-masing membuat bekal, Shigameto-kun pasti akan menghabiskan keduanya.”
“Ya, benar. Dengan nafsu makan Yuuichi, kurasa dia bisa menghabiskannya. Tapi jika kau membawa zat gelap tadi, aku pasti akan menghentikannya meski Yuuichi ingin memakannya.”
“Ugh… A-aku akan berusaha agar tidak seperti itu.”
“Hm, berusahalah sebisamu. Untuk isi bekal, bagaimana kalau karaage? Relatif mudah dibuat dan cocok untuk bekal.”
“Benar juga! Aku mau itu!”
Jadi, selanjutnya Fujise akan membuat karaage tanpa bantuan orang lain.
Resepnya dicari dari smartphone Fujise, dicetak di kertas agar mudah dilihat dan diletakkan di depannya.
Aku tidak yakin Fujise yang tadi membuat zat gelap bisa memasak hanya dengan melihat resep, tapi…
Dua puluh menit kemudian.
“Sudah jadi! Bagaimana?”
“…Ini karaage biasa.”
“Ya, ini karaage.”
“Be-benar-benar bisa…”
Karaage yang sangat normal telah jadi.
Tentu saja, aku yang berperan sebagai pencicip… atau lebih tepatnya kelinci percobaan, makan terlebih dahulu.
“…Ya, enak.”
“Berhasil!”
Kali ini tidak ada bentuk yang aneh atau gosong seperti hamburger tadi, benar-benar karaage yang enak dan sederhana.
Eh, benarkah?
Fujise yang di cerita asli hanya bisa membuat zat gelap, benar-benar bisa memasak sendiri?
“Benar-benar normal sampai-sampai aneh mengingat zat gelap yang dia buat di awal.”
“Benar. Justru aku jadi bingung bagaimana dia bisa membuat sesuatu semengerikan itu.”
Toujoin-san dan Rie juga makan dengan normal sambil terheran-heran.
“Be-benar-benar berhasil dengan baik…”
“Sei-chan, enak?”
“Ya, enak sekali, Shiho. Hebat.”
Sei-chan tersenyum saat mengatakannya, tapi wajahnya terlihat sedikit rumit.
Setelah Fujise pergi untuk mencicipi karaage buatannya sendiri, Sei-chan menghela napas.
“Seharusnya aku menulis resepnya di kertas sejak awal… Kalau begitu, aku tidak perlu bersusah payah seperti ini.”
“…Kerja bagus, Sei-chan.”
Aku tahu betapa kerasnya usaha Sei-chan di cerita asli.
“Yah… yang penting Shiho sudah bisa memasak sekarang.”
Sei-chan tidak mengeluhkan kerja kerasnya kepada siapapun, dia hanya senang sahabatnya Fujise sudah bisa memasak.
Sei-chan yang seperti ini, aku benar-benar menyukainya.
“Shiho, bagaimana kalau selanjutnya kamu membuat tamagoyaki? Itu sering dimasukkan ke dalam bekal, menurutku itu ide bagus.”
Mendengar saran Sei-chan,
“Ya, benar juga. Tamagoyaki memang enak, ya.”
“Bagaimana kalau dashimaki tamago? Mungkin agak sulit, tapi…”
“Benar juga. Akan lebih mudah jika ada wajan khusus untuk membuat tamagoyaki, tapi apa di rumah Fujise-san ada wajan seperti itu?”
“Ah, sepertinya aku pernah melihatnya.”
“Kalau begitu mungkin akan sedikit lebih mudah. Ayo kita coba. Pertama-tama kita harus mencari resepnya.”
Kemudian mereka mulai memasak lagi.
Sei-chan juga bermaksud untuk mengawasi dari dekat, tapi Toujoin-san seperti teringat sesuatu dan berkata,
“Hisamura-kun, mungkin ada kotak bekal di ruangan sebelah. Bisa tolong ambilkan? Karena hari ini kita membuat lauk untuk bekal, akan lebih mudah jika ada kotak bekalnya.”
“Baiklah. Ruangan di sebelah dapur ini, ‘kan?”
“Ya, ruangan itu seperti ruang persiapan. Mungkin sedikit berantakan.”
“Kalau begitu aku juga ikut dengan Hisamura. Hanya mengawasi saja membosankan.”
Memang benar, jika Fujise sudah bisa memasak dengan normal, tidak perlu tiga orang untuk mengajarinya.
“Baiklah Sei-chan, ayo kita pergi.”
Kami meninggalkan pelatihan memasak Fujise kepada Toujoin-san dan Rie, lalu keluar dari dapur bersama Sei-chan.
Kami langsung masuk ke ruangan di sebelah dapur.
Ruangan itu juga cukup besar seperti dapur, tapi karena banyak barang di sana-sini, tidak terasa seluas dapur.
Karena ini ruang persiapan, ada berbagai peralatan memasak tersusun dan beberapa peralatan besar juga diletakkan di sana.
Mungkin sebenarnya barang-barang ini ada di dapur, tapi dipindahkan ke sini untuk keperluan hari ini.
Katanya kotak bekal ada di suatu tempat di sini, tapi… di mana, ya?
Rasanya agak mustahil mencari di ruangan seluas ini.
“Jadi kita harus mencari kotak bekal di sini… Toujoin itu, seharusnya dia memberitahu kita di mana kira-kira letaknya.”
“Sepertinya akan sulit mencarinya.”
“Yah, kalau kita sudah mencari sebentar dan tidak menemukannya, kita bisa bertanya pada Toujoin.”
“Benar juga.”
Sambil mencari, aku dan Sei-chan mengobrol santai.
“Tapi syukurlah Shiho akhirnya bisa memasak. Aku sendiri tidak bisa berbuat apa-apa, jadi untung saja kita meminta bantuan Toujoin sebagai hukuman.”
“Ahaha, benar. Bagi Toujoin-san, ini seperti memberi garam pada musuh, ya.”
“Ini semua berkat Tsukasa yang memikirkan hukumannya.”
“Aku senang kalian menyukainya. Tapi aku tidak menyangka Fujise bisa memasak dengan normal hanya dengan melihat dan mengikuti resep.”
“Ya, benar juga. Rasanya saat pertama kali aku mengajari Shiho, kami juga melihat resep… tapi mungkin saat itu aku menjelaskan dengan cepat secara lisan.”
Sepertinya Sei-chan juga pernah mencoba mengajari sambil melihat resep, tapi tidak terlalu fokus pada itu.
“Pada awalnya… dia memegang pisau seperti mau membunuh orang, jadi aku sibuk memperbaiki caranya memegang pisau.”
“Be-begitu, ya…”
Cara memegang pisau seperti mau membunuh orang itu seperti apa?
Hari ini juga dia awalnya memegang pisau terbalik, tapi apa ada cara yang lebih berbahaya dari itu?
Apa dia memegang dua pisau di kedua tangan dan satu di mulut?
Itu, sih, jadi manga yang sama sekali berbeda.
“Tapi aku tidak menyangka dia bisa melakukannya hanya dengan melihat resep tertulis. Seharusnya aku menyadarinya lebih cepat.”
Sei-chan berkata sambil tersenyum kecut.
“Tapi kalau Sei-chan tidak mengajari Fujise dasar-dasar memasak, kurasa hari ini akan lebih sulit lagi, bahkan sebelum dia bisa mengikuti resep.”
“…Kamu benar juga.”
Ah, dia setuju begitu saja.
Sepertinya memang awalnya sangat parah, ya.
“Berkat Sei-chan yang mengajarinya dasar-dasar, Fujise akhirnya bisa memasak.”
“Ah, terima kasih… Itu memang sulit sekali.”
Sei-chan memandang jauh dengan senyum seperti Buddha.
Oh iya, Sei-chan pernah bilang dia pingsan setelah mencicipi dark matter itu…
Pasti ada kesulitan yang hanya Sei-chan yang tahu.
“Ke-kerja bagus, Sei-chan.”
“Fufufu… ya, benar. Akhirnya aku bisa terbebas dari dark matter itu.”
Sei-chan, apa itu jadi trauma?
…Syukurlah aku tidak perlu memakan dark matter itu.
Tak lama kemudian, kami menemukan beberapa kotak bekal.
Ada yang kecil, ada juga yang besar seperti untuk piknik.
Yang besar itu sepertinya tidak perlu, ya.
Tapi kalau untuk membuat bekal buat Yuuichi, mungkin yang besar juga tidak masalah.
“Untuk sementara, ayo kita bawa yang kecil saja ke sana.”
“Ya, benar.”
Saat aku melihat ke arah Sei-chan, mungkin karena mencari-cari kotak bekal, ada debu di rambutnya.
“Sei-chan, ada debu di rambutmu.”
“Eh, di mana?”
Sei-chan panik menyentuh rambutnya, tapi karena letaknya di bagian belakang kepala, masih belum hilang.
“Di sini.”
“Di sini?”
Aku menunjuk bagian belakang kepalaku sendiri untuk menjelaskan, tapi Sei-chan mengelus bagian yang sedikit meleset.
Itu terlihat manis, tapi aku mengulurkan tangan untuk membersihkan debu dari rambut Sei-chan.
Aku mengulurkan tangan ke rambut Sei-chan dan dengan lembut menghapus debu sambil mengelusnya.
Debunya memang sudah hilang, tapi rambut Sei-chan sedikit berantakan.
Tanpa sadar, aku mengelus rambut Sei-chan untuk merapikannya.
Rambut Sei-chan sangat halus dan lembut… luar biasa, aku sampai kehabisan kata-kata saking hebatnya.
“…Tsu-Tsukasa? Sampai kapan kamu akan mengelus rambutku?”
“Ah…”
Aku terpesona oleh keajaiban rambut Sei-chan dan terus mengelusnya.
Gawat, bagi wanita rambut itu dianggap penting kedua setelah nyawa.
Rambut Sei-chan yang sepenting itu, jauh lebih berharga dari nyawaku.
Tapi aku sudah mengelusnya terus tanpa izin.
“Ma-maaf, Sei-chan.”
“Ah… ti-tidak, tidak apa-apa.”
Saat aku melepaskan tanganku, Sei-chan masih dengan wajah merah, terlihat sedikit bingung… apa dia marah?
Rambutnya yang indah dan halus itu, pasti dia sangat merawatnya.
Wajar saja kalau dia marah karena disentuh seenaknya.
“Maaf, ya, Sei-chan. Aku tidak akan menyentuhnya lagi.”
“Eh? Tidak, itu… benar-benar tidak apa-apa, kok.”
Sei-chan berkata begitu karena dia baik hati, tapi aku harus berhenti menyentuhnya.
Aku memang ingin melakukan hal-hal yang biasa dilakukan pasangan, tapi kalau memaksakan diri, aku bisa dibenci.
Kalau sampai dibenci Sei-chan, aku akan putus asa dan mati, jadi itu harus dihindari.
“Baiklah, kita sudah menemukan kotak bekal, ayo kembali ke sana.”
“Ng…”
Saat aku berkata begitu dan hendak melangkah keluar dari ruangan ini, aku ditarik dari belakang.
Saat aku berbalik, Sei-chan memegang ujung bajuku untuk menahanku.
“Ada apa?”
“Itu… yang kamu bilang sebelumnya, hadiah, ingat?”
“Hadiah? Maksudmu waktu kita menang festival olahraga?”
Aku tidak mengerti kenapa itu muncul sekarang.
“Kamu bilang akan melakukan apa saja yang bisa kamu lakukan, ‘kan? Jangan tertawa, ya?”
“Ya, tentu saja.”
“Kalau begitu… maukah kamu mengelus kepalaku lagi?”
“Eh, hadiahnya itu? Maksudku, boleh aku mengelus kepalamu?”
Bukankah itu malah jadi hadiah untukku?
“A-aku bilang itu yang kuinginkan, jadi tidak apa-apa.”
Di ruangan luas ini hanya ada kami berdua, Sei-chan berdiri sangat dekat denganku hingga bisa kusentuh jika kuulurkan tangan sedikit. Mungkin karena sangat malu, suaranya kecil, tapi aku bisa mendengarnya dengan jelas.
Mungkin karena aku tidak mengatakan apa-apa setelah dia bicara, dia memandangku dengan cemas.
Dia mungkin tidak menyadari bahwa dia sedang menatapku dari bawah, tapi itu sangat efektif bagiku sampai-sampai jantungku berdegup kencang.
Aku merasa hidungku hampir mimisan untuk pertama kalinya sejak lama, tapi aku berhasil menahannya.
“A-apa tidak boleh?”
“…Tentu saja boleh.”
Untuk menenangkan Sei-chan yang terlihat cemas, aku meletakkan tangan kananku di kepalanya dan mulai mengelusnya.
“Ah…”
Wajah cemasnya hilang, dan aku melihat sudut bibirnya terangkat sedikit dengan bahagia… hidungku hampir mimisan! Bahaya!
Hidungku hampir mimisan, tapi aku harus menahannya.
Sambil menahan entah apa, aku mengelus rambut Sei-chan dengan lembut dari puncak kepala hingga bagian belakang.
“Mm…”
Sei-chan mengeluarkan suara yang entah karena geli atau nyaman, dan mendekatkan dirinya padaku.
Dekat sekali, tadi jarak kami hanya sejauh jangkauan lengan, tapi sekarang jika aku maju sedikit saja tubuh kami akan bersentuhan.
Memang lebih mudah bagiku untuk mengelus rambutnya, tapi ini membuatku berdebar-debar.
Sei-chan mungkin berkonsentrasi pada sensasi kepalanya dielus, matanya tertutup jadi dia mungkin tidak menyadari betapa dekatnya kami.
Sial, mengelus rambut Sei-chan yang indah, cantik, dan lembut dari jarak sedekat ini sambil terus memandangi wajahnya yang manis…!
Siksaan macam apa ini, aku ingin mengalaminya seumur hidup.
“Sei-chan, itu… kamu suka kepalamu dielus?”
Aku merasa akan gawat kalau terus mengelus dalam diam, jadi aku berusaha mengajaknya bicara.
Sei-chan menjawab dengan mata tertutup dan senyum tenang di wajahnya.
“Ya, kurasa aku cukup menyukainya. Entah kenapa rasanya nyaman.”
“Be-begitu ya, syukurlah. Tapi aku tidak menyangka Sei-chan suka dielus kepalanya.”
“Ma-makanya kubilang jangan tertawa.”
“Aku tidak tertawa, kok. Ah, tapi maaf, ya, kalau aku sedikit tersenyum karena Sei-chan terlalu imut.”
“Ka-kalau alasannya begitu, tidak usah bilang.”
…Sambil mengobrol seperti ini, tanganku terus mengelus kepala dan rambut Sei-chan.
Sampai kapan aku harus melakukannya ya, tidak, aku sih tidak keberatan melakukannya seumur hidup.
“Sei-chan, kita harus segera membawa kotak bekal ke ruangan sebelah. Mungkin mereka sudah selesai memasak.”
“Mm… mungkin begitu.”
“Ya, kalau begitu…”
“Tapi, itu… sebentar lagi saja.”
“…Baiklah.”
Saat aku hendak melepaskan tanganku, Sei-chan berkata “Sebentar lagi” dan mendekatkan kepalanya ke tanganku.
Entah kenapa, meski aku belum pernah memeliharanya, ini mengingatkanku pada kucing manja.
Aku tidak menyangka Sei-chan bisa bermanja-manja seperti ini.
Ditambah lagi, dari tadi kami sangat dekat.
Kami belum pernah sedekat ini sebelumnya… ah, tidak, pernah.
Saat pertama kali aku datang ke dunia ini, aku menembaknya dengan semangat seperti dalam mimpi dan melakukan kabedon padanya.
Kejadian itu terlalu memalukan sehingga aku menyimpannya jauh di sudut ingatanku.
Tapi sekarang Sei-chan sudah menjadi pacarku dan bermanja-manja seperti ini…
Dia terlalu imut sampai-sampai menyakitkan, sungguh menggemaskan…
“Apa tidak lelah terus mengelus kepalaku?”
“Tidak apa-apa, aku bisa melakukannya selama setengah hari lagi.”
“Fufu, itu terlalu lama. Tapi… mungkin itu juga tidak buruk.”
“Ugh… Sei-chan, kenapa tiba-tiba kamu jadi manja begini…!”
“Uh, ja-jangan bilang sejelas itu…”
Sei-chan juga sepertinya malu, dia sedikit menunduk…
“Habisnya… Tsukasa yang bilang. Katanya aku boleh manja.”
“Eh?”
“Ka-kamu lupa? Waktu kamu menemaniku latihan untuk festival olahraga, kamu mengatakannya, ‘kan?”
“Ah…”
Benar juga, sepertinya aku pernah mengatakan hal seperti itu saat mengantar Sei-chan pulang dengan sepeda.
Aku tidak menyangka Sei-chan masih ingat dengan jelas kejadian saat itu.
“Apa itu hanya kata-kata saja?”
“Tidak, tentu saja bukan. Aku senang dan bahagia kalau Sei-chan manja padaku.”
“Ng… be-begitu, ya, terima kasih. Aku juga… bahagia.”
Sei-chan mengucapkan terima kasih sambil mendongak menatap wajahku.
Sepertinya dia baru sadar betapa dekatnya kami, wajahnya langsung memerah.
Biasanya, Sei-chan akan langsung mundur dan berkata “Ma-maaf” untuk menenangkan diri.
Tapi… entah kenapa kali ini dia tidak menjauh.
Mata kami bertemu, terus bertatapan.
Matanya yang sedikit sipit dan besar, keindahannya seolah menghisapku.
Meski Sei-chan termasuk tinggi untuk ukuran wanita, aku masih lebih tinggi sekitar 10 cm darinya.
Jarak kami begitu dekat hingga tubuh kami hampir bersentuhan, wajah kami hanya berjarak beberapa puluh sentimeter.
Posisi kami, tangan kananku melingkar di belakang kepala Sei-chan, dan entah sejak kapan tangan kanan Sei-chan lembut menyentuh dadaku.
Aku bertanya-tanya apakah detak jantungku yang keras terasa di tangan kanan Sei-chan.
Apakah Sei-chan juga berdebar-debar? Wajahnya sangat merah, dan aku bisa melihat mata indahnya sedikit berkaca-kaca.
Tapi meski begitu… kami tetap tidak mengalihkan pandangan pada jarak sedekat ini.
Tidak ada yang bicara.
Apakah ini… sudah waktunya?
Aku tidak tahu, ini pertama kalinya, aku tidak tahu apa-apa.
Akal sehatku berkata “hentikan”, tapi naluriahku berteriak “aku ingin melakukannya”.
Tapi… kami baru pacaran kurang dari sebulan.
Bukankah terlalu cepat untuk melakukan itu?
Aku menekan naluriahku dan berusaha mempertahankan akal sehat.
Aku memejamkan mata kuat-kuat, berusaha menahan diri, dan mencoba mengambil jarak dari Sei-chan.
Namun—masih dalam jarak dekat, Sei-chan berbicara padaku.
“Tsukasa… aku juga ingin memberimu hadiah.”
“Ha-hadiah?”
“Tidak adil kalau hanya aku yang menerima hadiah, ‘kan?”
“Tidak perlu…”
“Karena itu—”
Sei-chan menatap mataku lurus-lurus dengan wajah merah dan mata berkaca-kaca.
“Kalau… melakukan apa yang Tsukasa inginkan sekarang… apa bisa disebut hadiah?”
“—!”
Kata-kata yang seolah melelehkan akal sehatku.
Dengan gugup, aku sedikit mendekatkan wajahku ke Sei-chan.
“Ng…”
Melalui tanganku yang berada di belakang kepala dan leher Sei-chan, aku merasakan tubuhnya sedikit bergetar.
Mungkin dia mengerti apa yang ingin kulakukan.
Aku bertekad untuk segera menjauh jika dia menunjukkan tanda-tanda tidak suka. Bahkan dengan reaksinya barusan, aku hampir menjauh.
Tapi… Sei-chan memejamkan matanya.
Sei-chan sedikit berjinjit, mendekatkan wajahnya.
—Dug! Jantungku berdegup sangat keras.
Aku juga memejamkan mata, memantapkan hati… lalu sedikit menarik Sei-chan dengan tangan kanan yang melingkar di lehernya.
“Nn…”
Entah karena aku menariknya terlalu kuat, terdengar suara menggoda dari Sei-chan…
Dan kemudian—
◇ ◇ ◇
“Ah, bentuknya berantakan lagi…!”
Fujise Shiho mengeluh sambil memandangi dashimaki tamago yang dia sajikan di piring.
Ini adalah percobaan keduanya membuat dashimaki tamago, dan meski hasilnya yang terbaik sejauh ini, jelas masih kalah jauh dibandingkan buatan dua orang lainnya.
“Mengingat sampai kemarin, tidak, sampai satu jam yang lalu kau masih membuat zat gelap, ini sudah cukup bagus.”
“Benar. Bentuknya memang agak berantakan, tapi kurasa rasanya tidak jauh berbeda.”
“Tapi bukankah tekstur juga penting untuk dashimaki tamago?”
“Yah, memang benar, sih.”
“Iya, ‘kan? Aku ingin membuat yang lembut dan fluffy! Baiklah, boleh aku mencoba sekali lagi?”
“Boleh saja. Bahan-bahannya masih banyak, kok.”
“Tadi aku lihat ke dalam kulkas yang super besar itu, memang benar-benar ada segunung bahan, ya.”
Kemudian mereka bertiga mulai menyiapkan bahan-bahan lagi sambil mencicipi apa yang sudah mereka buat.
“Omong-omong, Hisamura-kun dan Sei-chan belum kembali, ya.”
“Benar juga, mereka lama sekali.”
Sudah lebih dari sepuluh menit sejak mereka berdua meninggalkan dapur.
“Jangan-jangan terjadi sesuatu…”
“Memang benar di ruangan itu ada banyak peralatan, bisa bahaya kalau sampai jatuh.”
“Jadi benar-benar…!”
Saat Rie bergumam dengan khawatir, Toujoin menggelengkan kepala untuk menenangkannya.
“Tidak terdengar suara apa-apa yang mencurigakan, jadi kurasa tidak apa-apa.”
“Tapi, bagaimana kalau kita tidak mendengar suaranya?”
“Atau mungkin mereka sedang bermesraan berdua?”
“Eh!?”
Rie yang tadinya hampir berlari keluar, berhenti dengan wajah memerah.
“Aku juga berpikir begitu. Soalnya hari ini mereka berdua sama sekali tidak bermesraan.”
“Shi-Shiho-senpai juga…”
“Jadi kurasa tidak apa-apa kalau kita tunggu sebentar lagi. Shimada-san juga sepertinya tipe yang tidak suka dilihat sedang bermesraan dengan pacarnya.”
“Fufu, benar juga. Toujoin-san, kamu benar-benar mengerti Sei-chan, ya.”
“…Cara bicaramu seolah-olah aku dan Shimada-san berteman baik.”
Toujoin terlihat sedikit tidak senang mendengar kata-kata Shiho.
“Tapi kalian memang berteman baik, ‘kan? Hari ini saja, Sei-chan memintamu dan kamu sampai meminjamkan dapur ini.”
“Ini bukan permintaan, tapi hukuman. Kalau bukan hukuman, aku tidak akan membantu memasak untuk rivalku dalam cinta.”
“Rival cinta…?”
Rie kembali terkejut mendengar informasi yang tidak diketahuinya dan bergumam.
“Eh, jadi kalian berdua adalah rival cinta?”
“Ara, aku belum memberitahumu, ya?”
“Benar juga, aku belum bilang. Fufu, jadi malu~”
“Ja-jadi begitu, ya. Boleh aku tahu siapa yang kalian sukai?”
“Namanya Yuuichi Shigemoto. Dia satu sekolah dan satu angkatan dengan kami.”
“Oh, Shigameto-san, ya.”
“Lo, kamu mengenalnya?”
“Nii-chan pernah membawanya ke rumah, jadi aku berkenalan dengannya saat itu.”
“Oh begitu. Rie-san, tolong jangan sampai kamu menyukai Yuuichi, ya. Aku sudah bisa membangun hubungan baik denganmu seperti ini, aku tidak ingin merusaknya.”
“Ba-baik, aku mengerti.”
Rie sedikit ketakutan saat Toujoin memeringatkannya dengan senyum yang sangat manis.
“Jadi, aku tidak benar-benar berteman baik dengan Shimada-san. Tapi ya, aku memang rival cinta dengan Fujise-san, tapi dengan Shimada-san lebih seperti rival biasa.”
“Rival? Maksudnya dalam hal olahraga?”
“Ya. Aku selalu menjadi yang terbaik dalam pelajaran dan olahraga, tapi untuk pertama kalinya aku kalah telak darinya.”
“Wow, bahkan fakta bahwa ini pertama kalinya kamu kalah juga luar biasa.”
Rie baru bertemu Toujoin hari ini, jadi dia tidak tahu betapa luar biasanya kemampuan Kaori Toujoin.
Dia selalu ranking satu di angkatannya dan bahkan lebih jago dalam olahraga dibanding anggota klub.
Tapi di festival olahraga, untuk pertama kalinya dia kalah dalam pertandingan langsung melawan Sei Shimada.
Itu pertandingan yang seimbang karena keduanya bukan anggota klub basket.
Bahkan tim Toujoin yang punya tiga anggota klub basket kalah telak.
Setelah dikalahkan separah itu, dia harus mengakui kekalahannya.
“Suatu saat nanti aku pasti akan membalas kekalahan ini…!”
Toujoin berkata demikian dengan senyum penuh tekad.
“Fufu, syukurlah Toujoin-san bisa berteman baik dengan Sei-chan.”
“Sudah kubilang kami tidak berteman baik… haah, sudahlah. Omong-omong, Hisamura-kun dan Shimada-san benar-benar lama, ya. Jangan-jangan mereka sedang berciuman?”
“Ci-ciuman…!?”
Rie bereaksi dengan wajah memerah mendengar kata-kata Toujoin yang diucapkan dengan santai.
“Ti-tidak mungkin, ‘kan? Mereka baru pacaran sebulan…”
“Ara, Rie-san polos sekali, ya. Kalau aku, aku ingin berciuman dengan Yuuichi di hari pertama kami pacaran.”
“Ge-gercep sekali…”
Wajah Rie semakin memerah mendengar kata-kata itu, tapi Shiho hanya tersenyum tanpa ekspresi khusus.
“Fufu, aku yang akan pacaran dengan Shigameto-kun, jadi simpan saja khayalanmu itu untuk orang lain, ya, Toujoin-san.”
“Ara, kau berani juga, ya. Fujise-san, omong kosong seperti itu hanya bisa dimaafkan kalau diucapkan dalam mimpi.”
“Kalau dalam mimpi, aku sudah melakukan hal yang lebih hebat lagi~”
“Tu-tunggu, aku tidak mengerti, kalian ini bertengkar atau akrab?”
“Kami berteman baik, kok.”
“Kami sedang bertengkar.”
“Yang mana?”
Jika hanya ada Shiho dan Toujoin, mungkin perdebatan ini akan berlanjut, tapi berkat kehadiran Rie, perdebatan itu berakhir di situ.
“Tapi kurasa Sei-chan dan Hisamura-kun mungkin belum berciuman. Sei-chan itu sangat polos dan baik hati, dan Hisamura-kun sepertinya akan menyesuaikan diri dengan Sei-chan.”
“Be-benar juga, ya. Berciuman setelah sebulan pacaran memang terlalu cepat, ya.”
“Hmm, tapi kalau aku pacaran dengan Shigameto-kun, aku ingin berciuman di hari pertama, lo.”
“Be-begitu, ya…!?”
Rie tidak menyangka Shiho yang terlihat sangat sopan dan serius bisa mengatakan hal seperti itu dengan santai.
“Yah, itu tergantung orangnya, sih. Mungkin mereka berdua sudah berciuman. Siapa tahu mereka sedang melakukannya sekarang.”
“Be-begitu, ya…”
Rie membayangkannya dengan wajah merah padam.
“Ah, maaf, ya, Rie-chan, aku malah membicarakan hal aneh.”
“Ti-tidak apa-apa, kok…”
“Tapi kurasa mereka belum melakukannya. Kalau sudah, aku pasti bisa langsung tahu dari reaksi Sei-chan.”
“Kemampuan yang hebat, tapi mungkin menyebalkan bagi Shimada-san, ya.”
“Yah, Sei-chan memang tidak pandai menyembunyikan hal-hal seperti itu, sih.”
Rie tersenyum kecut melihat Shiho yang sedikit menyeringai.
“Omong-omong, kurasa mereka sudah selesai mencari kotak bekal. Bagaimana kalau kita ke sana menjemput mereka?”
“Eh, kita akan ke sana?”
“Ya, kalau mereka belum selesai mencari kotak bekal padahal sudah selama ini, itu kesalahan mereka… Dan kalau mereka sudah menemukan kotak bekal tapi melakukan hal lain, kita bisa melihatnya dengan jelas.”
“Me-melakukan hal lain… dan melihatnya…!”
“Tenang saja Rie-chan. Kalaupun mereka melakukan sesuatu, paling-paling hanya berciuman, kok.”
“Eh? Kita benar-benar akan pergi?”
Sementara Rie masih ragu-ragu, Shiho dan Toujoin sudah meletakkan peralatan masak mereka dan bersiap meninggalkan dapur.
“Yah, kalau mereka benar-benar sedang melakukan sesuatu, itu urusan mereka. Ini rumahku, jadi kesalahan ada di pihak mereka.”
“Kurasa tidak mungkin sampai sejauh itu, sih. Rie-chan, kalau kamu tidak mau melihat adegan seperti itu dari kakakmu, kamu tidak perlu ikut.”
“Uh… a-aku ikut!”
“Fufu, ternyata Rie-san juga suka, ya.”
“Bu-bukan begitu!”
Sambil berkata demikian, mereka bertiga keluar dari dapur dan berjalan menuju pintu ruangan sebelah.
Toujoin membuka pintu itu tanpa ragu-ragu.
Di belakangnya, Shiho mengintip ke dalam dengan penuh rasa ingin tahu, sementara Rie mengintip dengan sedikit ragu-ragu.
“…Apa yang sedang kalian berdua lakukan?”
Toujoin berkata demikian saat melihat Sei dan Hisamura di ruang persiapan.
Keduanya sama-sama berwajah merah padam, berdiri beberapa meter terpisah dengan saling membelakangi.
Hisamura, meski gugup, berbalik menghadap Toujoin dan yang lainnya untuk berbicara.
“Ah, ti-tidak, kami hanya mencari kotak bekal seperti yang diminta.”
“Oh, kalau begitu sepertinya kalian sudah selesai mencari kotak bekalnya, ya.”
Di atas meja dekat pintu ada beberapa kotak bekal.
Sepertinya Hisamura dan Sei sudah menemukannya dari ruangan ini.
“I-iya benar. Berapa yang harus kami bawa?”
“Dua saja cukup, ‘kan? Terima kasih sudah mencarinya, tapi kita tidak butuh kotak piknik sebesar itu.”
“Ah, ahaha, benar juga.”
“Jadi, setelah menemukan kotak bekal, apa yang kalian berdua lakukan… atau apa aku terlalu ikut campur kalau bertanya begitu?”
Toujoin bertanya dengan nada menggoda dan senyum jahil.
Meski mencari kotak bekal di ruangan luas dengan banyak peralatan besar ini cukup sulit, seharusnya tidak sampai memakan waktu sepuluh menit.
Tapi Hisamura dan Sei sudah berdua saja di ruangan ini selama lebih dari sepuluh menit.
“Ah, um…”
Wajah Hisamura kembali memerah sedikit, dan dia melirik ke arah Sei.
Sei juga sepertinya melihat ke arah Hisamura pada saat yang sama, mata mereka bertemu… dan mereka langsung mengalihkan pandangan dengan cepat.
“Ti-tidak ada, kami hanya mengobrol biasa. Iya, ‘kan, Sei-chan?”
“I-iya, benar, kami hanya mengobrol.”
“…Hmm, begitu, ya.”
“Fufu, oh begitu~”
“…”
Dalam hati, Toujoin, Fujise, dan Rie memikirkan hal yang sama—pasti telah terjadi sesuatu.
Mereka yakin kedua orang itu pasti telah bermesraan di ruangan ini, dan mungkin ada perkembangan dalam hubungan mereka.
Kalau tidak, mereka tidak mungkin bertingkah mencurigakan seperti ini.
Pertanyaannya adalah… sejauh mana mereka sudah melangkah?
Toujoin dan Fujise bertukar pandang sejenak, lalu mengamati keadaan keduanya.
Pakaian Sei… tidak tampak berantakan.
Kalau pakaian Sei berantakan… mereka akan menganggap hal itu sudah berlanjut cukup jauh, tapi sepertinya bukan itu masalahnya.
Mereka mengamati lebih teliti, dan Fujise, sahabat Sei, menyadari sesuatu.
(Ah, rambut Sei-chan sedikit, hanya sedikit lebih berantakan dari sebelumnya. Berarti, dia dielus-elus!)
(Ara, benar juga.)
(Tapi apa hanya karena itu mereka jadi segugup ini… Toujoin-san, menurutmu bagaimana?)
(Hmm, kupikir mereka setidaknya sudah berciuman… tapi sepertinya tidak ada bekas lipstik di bibir Hisamura-kun.)
(Ah, Sei-chan hanya memakai lip balm, jadi mungkin saja…)
(Oh begitu. Omong-omong, aku iri pada bibirnya yang lembut meski hanya memakai lip balm.)
(Hisamura-kun beruntung sekali, ya, bisa berciuman dengan Sei-chan yang seperti itu, atau mungkin sudah melakukannya.)
Mereka berdua berkomunikasi hanya dengan pandangan mata, hampir seperti telepati.
Hanya Rie yang membayangkan sejauh mana kakaknya dan Sei telah melangkah, dengan wajah memerah.
“Ja-jadi, kotak bekal ini sudah cukup, ‘kan?”
“I-iya. Kalau sudah tidak apa-apa, ayo kembali ke dapur.”
Hisamura dan Sei sepertinya ingin segera keluar dari ruangan ini, mereka berkata demikian sambil mengambil dua kotak bekal.
Sepertinya memang telah terjadi sesuatu.
(Fufu, nanti setelah pulang aku akan menelepon Sei-chan dan menanyakannya, ah.)
(Kau punya hobi yang menarik, ya. Kalau begitu, aku akan memeriksa rekaman kamera pengawas ruangan ini nanti.)
(Toujoin-san hobimu malah jauh lebih parah!? …Tolong kirimkan padaku nanti, ya.)
(Baiklah.)
Meski mereka rival cinta, keduanya tampaknya cukup cocok hingga bisa berkomunikasi hanya dengan pandangan mata.
Setelah itu, pelatihan memasak Fujise berlanjut, tapi semua orang menyadari suasana canggung antara Hisamura dan Sei.
◇ ◇ ◇
Pelatihan memasak Fujise akhirnya selesai untuk sementara.
Fujise berhasil mengisi dua kotak bekal dengan lauk dan nasi yang dia buat sendiri, menghasilkan bekal yang cukup bagus.
“Sudah jadi, ya. Meski masih jauh dari sempurna untuk hasil ajaranku, tapi dibandingkan dengan masakan pertamamu tadi, ini sudah sangat berkembang.”
“Justru yang jadi misteri adalah bagaimana dia bisa membuat zat gelap itu.”
“Toujoin-san, Rie-chan, terima kasih banyak! Aku ingin memberikan bekal ini pada kalian berdua… boleh?”
Toujoin terkejut mendengar kata-kata Fujise.
“Untuk kami? Bukannya ini untuk Yuuichi, buat dibawa ke sekolah lusa?”
Ada dua kotak bekal, tapi Yuuichi pasti bisa menghabiskan semuanya dengan mudah.
Tapi sepertinya Fujise ingin memberikan bekal yang sudah dia buat dengan susah payah ini kepada Toujoin dan Rie.
“Aku akan berusaha membuat sendiri untuk Shigameto-kun! Bekal ini ingin kuberikan pada kalian berdua yang sudah membantuku!”
“…Begitu ya, baiklah kalau begitu, aku akan menerimanya.”
“Terima kasih, Shiho-senpai.”
Toujoin menerimanya sambil memalingkan wajah, mungkin untuk menyembunyikan rasa malunya, sementara Rie menerimanya dengan tulus.
“Sei-chan, maaf hari ini tidak ada untukmu, tapi lain kali akan kubuatkan, ya! Sei-chan juga sudah banyak mengajariku memasak!”
“Ah, baiklah. Aku akan menantikannya.”
Sei-chan berkata demikian dengan senyum lembut seperti seorang ibu yang mengawasi anaknya.
Senyumnya yang manis membuatku terpesona… lalu mata kami bertemu.
“Ng…”
Sei-chan langsung memerah pipinya dan mengalihkan pandangannya.
Aku juga merasa sedikit canggung karena kejadian tadi, tapi rasanya agak sedih kalau dia menghindar secara terang-terangan begitu.
Yah, mau bagaimana lagi…
Begitulah, meski ada banyak hal yang terjadi, pelatihan memasak Fujise akhirnya selesai.
Malam itu, aku makan malam bersama Rie di rumah.
Seperti biasa, masakan Rie sangat lezat.
“Hmm, hari ini juga enak.”
“…Sy-syukurlah.”
Akhir-akhir ini aku selalu mengatakan hal itu setiap hari, jadi jawabannya jadi agak dingin karena sudah terbiasa, tapi Rie tetap mengalihkan pandangannya dengan malu-malu.
Rie sedang memakan bekal yang diberikan oleh Fujise.
“Bagaimana rasanya masakan Fujise?”
“Hmm, enak, kok. Tapi aku sudah mencicipinya beberapa kali tadi, jadi sudah tahu rasanya.”
“Begitu ya, syukurlah kalau begitu. Terima kasih, ya, Rie, untuk hari ini. Padahal aku mengajakmu secara mendadak tapi kamu sudah membantu sampai sejauh itu.”
“Tidak apa-apa, aku juga senang, kok. Kaori-senpai dan Shiho-senpai juga orang yang baik.”
“Syukurlah kalau kalian bisa akrab.”
Dalam cerita asli, aku tidak pernah melihat Toujoin-san dan Rie akrab seperti ini, jadi aku sedikit khawatir sebelum memertemukan mereka.
Ternyata hanya karena Rie tidak jatuh cinta pada Yuuichi, hubungan mereka bisa berkembang sangat berbeda dari cerita asli.
Aku harap mereka tetap akrab, meski mungkin akan berakhir kalau Rie jatuh cinta pada Yuuichi.
Setelah itu, kami menghabiskan makanan lezat buatan Rie dalam diam seperti biasa.
“Terima kasih makanannya. Enak sekali.”
“Mm, rendam saja piringnya di air.”
“Tidak, biar aku yang cuci. Kotak bekal itu juga harus dicuci dan dikembalikan ke Toujoin-san.”
“…Kalau begitu, ayo cuci bersama.”
Kami berdua sama-sama tidak mau mengalah soal mencuci piring, jadi akhirnya kami mencuci bersama.
Belakangan ini selalu jadi pertanyaan siapa yang akan mencuci, dan biasanya kami mencuci bersama atau aku yang mencuci sendiri.
Aku tidak pernah membiarkan Rie mencuci sendirian. Dia sudah memasak, jadi aku tidak bisa diam saja tanpa melakukan apa-apa.
Hari ini Rie mengajak untuk mencuci bersama, jadi kami mencuci piring bersama.
Tapi karena tidak ada yang khusus untuk dibicarakan, kami mencuci piring dalam diam seperti biasa.
Aku mencuci piring dengan spons, lalu menyerahkannya pada Rie untuk dilap.
Setelah beberapa saat melakukan pekerjaan itu, Rie mulai berbicara.
“Hei, Nii-chan…”
“Hm? Ada apa?”
“…Kamu melakukannya dengan Sei-san?”
“Eh? Melakukan apa?”
“…Ciuman.”
“…Eh?”
Aku yang tadinya memandangi piring yang kucuci, menghentikan tanganku dan berpaling ke arah Rie yang ada di sampingku.
Rie juga berhenti mengelap piring, dan menatapku dengan sedikit malu-malu.
“Ja-jadi, kamu berciuman dengan Sei-san?”
“Ke-kenapa tiba-tiba bertanya begitu?”
“Itu, waktu Nii-chan dan Sei-san pergi ke ruangan sebelah di rumah Kaori-senpai, aku mengobrol dengan Shiho-senpai dan yang lain tentang hal itu, jadi aku jadi penasaran…”
Aku tidak tahu kenapa mereka membicarakan hal seperti itu… ah, tapi kalau ada Fujise dan Toujoin-san, mungkin wajar saja kalau mereka membicarakan soal cinta.
Tapi aku tidak menyangka Rie akan bertanya langsung padaku. Ternyata Rie juga tertarik dengan hal-hal seperti itu, ya.
“Um, tidak boleh kalau itu rahasia?”
“…Tidak, tidak usah dijawab juga tidak apa-apa. Aku hanya sedikit penasaran, pasti sulit untuk mengatakannya.”
“Be-begitu, ya. Aku lega kalau begitu.”
Aku memang ingin menghindari membicarakan sejauh mana aku dan Sei-chan sudah melangkah kepada adikku, Rie.
Rie juga seharusnya tidak terlalu ingin tahu… ah, tapi dia bertanya seperti itu, berarti dia tidak keberatan mendengarnya, ya.
Lagipula… kalau aku mengingat kejadian itu, rasanya jantungku bisa meledak, jadi aku berusaha untuk tidak terlalu mengingatnya.
Yang bisa kukatakan hanyalah, aku merasa sangat bahagia.