Bab 2: Sepertinya Bukan Mimpi…
“…Hah, apakah aku masih dalam mimpi?”
Begitu bangun pagi, makan sarapan, dan melihat seragam sekolah, aku tanpa sadar bergumam seperti itu.
Suasana rumah ini hampir sama, tidak, semuanya persis sama dengan rumahku di dunia nyata, sehingga aku sama sekali tidak menyadarinya. Namun, seragam yang kulihat jelas-jelas adalah seragam SMA Toujoin dari manga “Ojojama”.
Dan di dalam kepalaku, ada ingatan Tsukasa Hisamura, tokoh dalam dunia manga itu.
Sepertinya aku masih berada dalam mimpi… begitukah?
Apakah ini benar-benar dunia mimpi? Bisakah mimpi yang terasa begitu nyata ini masih disebut mimpi?
Mungkinkah aku… benar-benar telah masuk ke dalam dunia manga “Ojojama”?
Terlebih lagi, aku berada dalam posisi karakter bernama Tsukasa Hisamura, yang kebetulan memiliki nama yang sama denganku di dunia nyata.
“Eh… serius?”
Apakah aku benar-benar telah menjadi Tsukasa Hisamura dari “Ojojama”?
Tapi situasi saat ini hanya bisa dijelaskan seperti itu.
Kemarin aku berpikir “Mimpi yang panjang, ya,” tapi sepertinya aku benar-benar telah masuk ke dunia manga.
Sulit dipercaya, tapi… yah, bagiku perasaan senang lebih mendominasi.
Bisa masuk ke dunia manga favorit dan berinteraksi dengan karakter-karakter yang kusukai.
Otaku mana yang tidak senang dengan hal seindah ini? Jika ada, mereka sudah tidak bisa disebut otaku lagi.
Hmm? Tunggu sebentar, berarti kejadian kemarin juga nyata dalam dunia ini?
Jadi aku… mungkinkah, begitu sampai di dunia ini, aku langsung menyatakan cinta pada Sei-chan?
Eh, bukankah itu gawat?
Aku menyatakan perasaan pada Sei-chan tanpa ragu karena mengira ini mimpi, tapi jika ini akan berlanjut sebagai kenyataanku, rasanya sangat berbahaya…
A-apakah aku benar-benar telah menyatakan perasaan pada Sei-chan kemarin?
Tidak bisakah kejadian kemarin hanya mimpi, dan hari ini adalah awal aku masuk ke dunia “Ojojama”?
“Ah, benar juga, ponsel…!”
Kemarin, karena mengira ini mimpi, aku mengirim RINE pada Sei-chan!
Jika riwayat percakapan itu masih ada, berarti dunia ini adalah kelanjutan dari kemarin.
Kubuka RINE dan melihat riwayat percakapan… dan RINE kemarin masih tersimpan banyak sekali.
Terlebih lagi, sepertinya aku mengirim hal-hal yang sangat memalukan, entah karena suasana hati tengah malam atau karena mengira ini mimpi…!
“Uwaa! Serius? Serius? Serius?”
Aku berteriak di kamarku pagi-pagi karena sangat malu.
Maksudku, aku sudah membuat kenangan memalukan di hari pertama di dunia ini…!
Yah, aku tidak ingin mengakui bahwa menyatakan perasaan pada Sei-chan adalah kenangan memalukan, tapi kata-kata pernyataan cintaku dan pesan-pesan yang kukirim benar-benar memalukan.
Ugh, aku ingin melupakannya, tapi mana mungkin bisa melupakan percakapan pertamaku dengan Sei-chan…!
Terlebih lagi, reaksi Sei-chan juga sangat menggemaskan, aku ingin melupakannya tapi juga tidak ingin.
Aku benar-benar tidak ingin melupakan reaksi Sei-chan yang sangat manis itu, tapi aku ingin melupakan tingkah lakuku yang memalukan.
Apa-apaan dilema ini, sepertinya tidak mungkin bisa diselesaikan.
Yah, keinginanku untuk melupakan tingkah lakuku yang memalukan jauh lebih kecil dibandingkan keinginanku untuk mengingat wajah manis Sei-chan, jadi tentu saja aku akan tetap mengingatnya.
“Riwayat percakapan ini juga, aku sangat ingin menghapusnya tapi juga sangat tidak ingin menghapusnya…!”
Kemarin aku berpikir, “Ini ‘kan di dalam mimpi, jadi mungkin Sei-chan yang kuimajinasikan yang mengirim pesan-pesan ini.” Tapi jika ini kenyataan, situasinya sama sekali berbeda.
Jika aku berpikir bahwa setiap pesan ini ditulis oleh Sei-chan dengan sungguh-sungguh untukku… rasanya terlalu berharga sampai aku bisa mati bahagia.
Ya, aku sudah mengambil screenshot, jadi tidak peduli berapa banyak percakapan yang akan kulakukan dengan Sei-chan mulai sekarang, riwayat percakapan ini akan tetap ada padaku. Akan kujadikan harta keluarga.
Saat aku sedang memikirkan hal itu, pintu kamarku diketuk dengan keras.
“Kakak! Kalau tidak segera berangkat ke sekolah, kita bisa terlambat, lo!”
“Ah, iya, aku mengerti, Rie.”
Aku menjawab suara itu dan keluar kamar sambil membawa tas.
Di luar kamar ada adik perempuanku, Rie Hisamura.
Tentu saja bukan adik dari diriku di dunia nyata, melainkan adik Tsukasa Hisamura di dunia “Ojojama”.
Dia adik perempuan yang setahun lebih muda dariku dan bersekolah di SMA yang sama, kelas satu.
Rambutnya berwarna pirang kecokelatan diikat ekor samping, dengan hiasan rambut yang manis.
Wajahnya terlihat imut, tapi dia jarang menunjukkan senyum saat berinteraksi dengan kakaknya, Tsukasa Hisamura.
Dia cukup keras kepala dan seperti adik yang suka memarahi kakaknya yang payah.
Saat tersenyum dia benar-benar manis, tapi dalam cerita jarang terlihat.
Sebagai spoiler, Rie Hisamura juga merupakan salah satu heroine yang mewarnai cerita ini, dan dia menyukai tokoh utama, Yuuichi Shigemoto.
Rie populer sebagai karakter kouhai, tapi sama seperti Sei-chan, Rie juga kemungkinan besar akan menjadi heroine yang kalah.
Tapi tunggu, apakah pada titik ini dia belum bertemu dengan tokoh utama, Yuuichi Shigemoto?
Adegan yang kualami kemarin, di mana Sei-chan menekan perasaannya sendiri dan mendukung Fujise, terjadi cukup awal dalam cerita.
Jadi mungkin dalam cerita aslinya, Rie Hisamura bahkan belum muncul.
Baru kemudian diketahui bahwa Tsukasa Hisamura, sahabat Shigemoto, punya adik perempuan, dan setelah itu dia menjadi salah satu heroine yang mewarnai cerita.
Rie memiliki wajah yang sangat manis namun jarang tersenyum, selalu tampak cemberut.
Tapi wajah malunya saat dipuji oleh Shigemoto atau ekspresi marahnya yang malu-malu sambil berkata “Ja-jangan!” sangat menggemaskan, itulah yang membuatnya populer.
Namun, yah… mungkin dia termasuk heroine yang kalah, atau heroine yang tidak akan bersatu dengan tokoh utama.
“…Berjuanglah, Rie.”
“Hah? Apa-apaan tiba-tiba?”
“Tenang saja, kau sangat manis, pasti suatu saat akan bahagia.”
“Ha-hah!? Sebenarnya kau bicara apa, sih!?”
Oh, dia memerah karena malu tapi juga tampak marah, persis seperti di cerita asli.
“Suaramu juga manis.”
“Apa!? P-pagi-pagi begini kau bicara apa, sih, Kak!”
“Lalu, karakter seperti Rie yang memanggil ‘Kakak’ juga manis dan bagus, ya.”
“Ugh!? Ka-Kakak bodoh! Aku berangkat duluan!”
Saat aku mengutarakan pikiranku, wajah Rie memerah dan dia bergegas menuruni tangga.
Gawat, sepertinya aku benar-benar membuatnya marah.
“Maaf, maaf, Rie. Ayo berangkat bersama.”
Aku pun bergegas menuruni tangga, dan kulihat Rie sudah menunggu di depan pintu setelah mengganti sepatunya.
“…Ayo cepat berangkat, Kak.”
“Ah, iya.”
Meski pipinya merah dan tampak cemberut, dia tetap menungguku.
“Aku beruntung punya adik semanis ini.”
“Ugh…! Sungguh, dari tadi apa-apaan, sih…!”
Di dunia nyata… yah, tempat ini sudah menjadi dunia nyata bagiku, jadi sebut saja dunia sebelumnya.
Di dunia sebelumnya aku tidak punya adik perempuan, bahkan tidak punya saudara.
Wajar saja aku senang tiba-tiba punya adik semanis ini.
Terlebih lagi, kalau kuingat-ingat, semalam dan sarapan tadi pagi juga Rie yang menyiapkannya.
Orang tua keluarga Hisamura sering tidak ada di rumah karena sibuk bekerja, jadi Rie yang bertanggung jawab memasak.
“Terima kasih selalu menyiapkan makanan.”
“I-itu bukan apa-apa, sudah biasa…”
“Justru karena sudah biasa, aku berterima kasih.”
“Su-sungguh, ada apa denganmu, Kak? Apa kau makan sesuatu yang aneh saat sarapan tadi?”
“Kalau aku makan sesuatu yang aneh, berarti kau yang menyiapkannya, ‘kan?”
“Hehe, benar juga.”
Oh, dia tertawa.
Bukan tawa lebar, tapi sudut bibirnya sedikit terangkat dan suasananya langsung menjadi lebih hangat.
“Yah, Rie memang lebih manis saat tersenyum.”
Sambil berkata begitu, aku mengelus kepala Rie.
Rie yang lebih pendek satu kepala dariku, kepalanya sangat mudah dielus.
“Eh!? He-hentikan! Ra-rambutku jadi berantakan, ‘kan!”
“Ah, maaf, maaf.”
Karena rambutnya diikat ekor samping, arah rambutnya mengarah ke telinga kanan.
Aku mengelusnya berlawanan arah, makanya dia marah. Kupikir begitu, jadi aku mengelus lagi dengan lembut untuk merapikannya.
“Su-sudah kubilang, hentikan!”
Rie berkata begitu sambil menepis tanganku, lalu memukul pelan dada bagian atasku.
“Su-sudah, ayo berangkat, Kak! Kita benar-benar akan terlambat ke sekolah!”
“Ah, baiklah. Jangan marah begitu.”
“A-aku tidak marah, tapi…”
Rie meletakkan tangannya di bagian rambut yang kuelus tadi, pipinya memerah.
Adikku memang sangat manis.
Setelah itu, aku keluar rumah bersama Rie, tentu saja tidak lupa mengunci pintu.
Jarak dari rumah kami ke sekolah bisa ditempuh tanpa naik kereta.
Tapi kalau jalan kaki butuh waktu sekitar 40 menit, jadi biasanya kami naik sepeda.
“Kak, hari ini juga aku duduk di belakang, ya.”
“Ah, aku, sih, tidak masalah, tapi…”
“Hm? Ada apa?”
Aku tidak menyangka akan tiba hari di mana aku mengayuh sepeda dengan seorang gadis duduk di belakangku.
Yah, meskipun dia seorang gadis, tapi dia adikku.
Tapi entah kenapa, apa ini diperbolehkan secara hukum?
Dalam manga komedi romantis atau novel ringan sering ada adegan naik sepeda berdua, mungkin di dunia seperti itu tidak ada masalah secara hukum.
Ya, lebih baik berpikir begitu. Di dunia “Ojojama” ini mungkin juga tidak ada masalah secara hukum.
“Yah, tidak apa-apa. Ayo berangkat, Rie. Sudah naik dengan benar?”
“Ya, tidak masalah.”
Baiklah, ayo berangkat!
Memang lebih berat saat mulai mengayuh dibanding naik sendiri, tapi begitu berjalan sepertinya tidak ada masalah.
Agak melelahkan harus berhenti dan mulai mengayuh lagi setiap lampu merah, tapi kalau berpikir ini demi adik yang manis, rasanya jadi mudah.
Setelah mengayuh sekitar sepuluh menit menuju sekolah, kami tiba di tempat biasa.
Ah tidak, ini tempat biasa bagi Tsukasa Hisamura di dunia ini, tapi bagiku ini pertama kali.
Kami biasa menurunkan Rie sedikit sebelum sekolah.
Karena itu Rie selalu terburu-buru ingin berangkat lebih awal agar tidak terlambat.
“Kalau begitu, terima kasih, Kak.”
“Sudah kubilang berkali-kali, tidak masalah kalau kuantar sampai sekolah, lo? Aku sama sekali tidak lelah.”
“Tidak usah, aku akan jalan kaki dari sini. Kakak duluan saja naik sepeda.”
Sepertinya Rie tidak terlalu ingin diketahui bahwa dia berangkat sekolah naik sepeda bersama kakaknya.
“Baiklah. Tapi sesekali kita pergi ke sekolah bersama, yuk. Bukankah itu lebih menyenangkan?”
“…Tidak juga, kalau jalan kaki kadang bertemu teman dan bisa pergi bersama.”
“Be-begitu, ya…”
Tentu saja, kalau naik sepeda ke sekolah, tidak bisa merasakan masa muda berjalan bersama teman-teman.
Aku juga di dunia sebelumnya naik kereta lalu jalan kaki, jadi aku paham kesenangan bertemu teman secara kebetulan lalu pergi ke sekolah bersama.
Mungkin aku juga harus mencoba jalan kaki ke sekolah di dunia ini.
Tapi jaraknya jauh, dan ada Rie juga…
“…Ya-yah, sesekali boleh juga, sih.”
Mungkin karena melihatku agak murung, Rie berkata begitu sambil malu-malu mengalihkan pandangannya.
“Ah, Rie! Terima kasih!”
Aku jadi senang dan tanpa sadar mengelus kepala Rie lagi.
“Eh, Da-dasar bodoh! Jangan mengelus kepalaku di tempat seperti ini!”
“Maaf, maaf. Kalau begitu aku duluan, ya, Rie. Jangan sampai terlambat.”
Sebelum dadaku dipukul lagi, aku mengayuh pedal sepedaku.
“Ah… dasar Kakak bodoh…”
Setelah mengayuh beberapa menit lagi, aku melihat seseorang yang kukenal berjalan di depan.
“Hei, Yuuichi!”
“Hm? Oh, Tsukasa rupanya.”
Dia adalah Yuuichi Shigemoto, tokoh utama manga “Nona Muda Teman Masa Kecil Mengganggu, Sehingga Tidak Bisa Jadi Komedi Romantis Biasa” ini.
Rambutnya hitam pendek, tampak bersih dan segar, seorang pria tampan.
Tingginya cukup tinggi, mungkin karena anggota klub basket, lebih dari 180 cm.
Aku turun dari sepeda dan berjalan di samping Yuuichi.
“Yoo. Tidak ada latihan pagi klub basket?”
“Ah, hari ini tidak ada. Berkat itu aku bisa tidur nyenyak.”
“Begitu, ya. Bahkan ace klub basket juga istirahat di hari libur, ya.”
“Tentu saja. Istirahat juga bagian dari latihan.”
Yuuichi memiliki kemampuan atletik yang bagus, bahkan menjadi ace klub basket sejak kelas satu.
Ditambah wajahnya tampan, jadi wajar kalau dia populer.
Aku tahu betul karena aku temannya, tapi kepribadiannya juga baik.
Yuuichi punya semua elemen untuk menjadi populer, tapi dia salah paham menganggap dirinya tidak populer.
Alasan kesalahpahaman itu adalah karena Kaori Toujoin, teman masa kecilnya yang menjadi heroine dan sangat menyukainya.
Sejak TK, Yuuichi disukai oleh Toujoin, jadi Toujoin menekan gadis-gadis di sekitarnya agar tidak mendekati Yuuichi.
Padahal seharusnya wajar kalau dia punya klub penggemar karena begitu keren, tapi sampai sekarang dia masih berpikir dirinya tidak keren dan tidak populer.
Yah, itu karena Toujoin, jadi mau bagaimana lagi.
Tapi Yuuichi yang seperti itu, di SMA jatuh cinta pada seseorang.
Orang itu adalah heroine lainnya, Shiho Fujise.
“Ngomong-ngomong Yuuichi, aku sudah dengar. Katanya kau akhirnya mengajak Fujise kencan, ya.”
“Eh!? Da-dari mana kau tahu…!”
“Tentu saja, dari kabar angin.”
“Jangan-jangan kau… telah terbangun sebagai pengguna angin!?”
“Heh, jika aku mengayunkan tanganku, rok gadis-gadis di sekitar sini akan… ah, lebih baik tidak kulanjutkan.”
“Eh, serius? Ayo, coba lakukan, banyak siswi SMA di sekitar sini.”
“Hei, jangan gunakan istilah ‘siswi SMA’ seperti itu, kita juga siswa SMA, tahu.”
Kami menikmati percakapan khas anak SMA laki-laki yang sangat sehat.
Siapa sangka aku bisa masuk ke dunia “Ojojama” dan mengobrol konyol seperti ini dengan tokoh utamanya.
Mungkin tidak sebahagia saat berbicara dengan Sei-chan, tapi sebagai penggemar, aku sungguh senang.
“Jadi, sebenarnya kau dengar dari siapa?”
“Tentu saja ingin kubilang dari Fujise, tapi sebenarnya aku hanya tidak sengaja mendengar Fujise bercerita pada Sei-cha… maksudku, Shimada.”
“Benarkah… apa yang mereka bicarakan?”
“Tentu saja, Fujise bilang ‘Shigemoto-kun mengajakku kencan, tapi dia terlalu menjijikkan sehingga membuatku kehilangan minat.’”
“Ugh!? Ka-kau pasti bercanda, ‘kan…?”
“Hahaha, iya itu bercanda.”
“Bercandaanmu nyelekit, hentikan itu.”
“Maaf, maaf.”
Sebenarnya Fujise mengatakan hal yang sangat manis seperti “Apa tidak apa-apa kalau aku menerima pernyataan cinta Shigemoto-kun?”, tapi itu bukan hal yang harus kuceritakan.
“Kencannya besok atau lusa?”
Hari ini Jumat, jadi besok dan lusa adalah akhir pekan libur.
“Hari Minggu. Hari itu klub basket tidak ada latihan, dan sepertinya klub tenis Fujise juga tidak ada latihan.”
“Begitu, ya. Yah, kurasa aku tidak perlu membantu apa-apa, tapi semangat, ya.”
“Ya, tentu saja…”
“Ara, sepertinya kalian sedang membicarakan hal yang menarik, ya, Yuuichi.”
Saat Yuuichi hendak mengangguk dengan tegas, terdengar suara perempuan dari belakang kami.
Kami berdua membeku dengan mulut terbuka.
Ja-jangan-jangan… pikiran itu muncul bersamaan di benak kami.
Seperti gerakan robot yang kaku, kami berdua menoleh ke belakang…
“Selamat pagi, Yuuichi. Hisamura-kun.”
“Se-selamat pagi, Kaori…”
“Pa-pagi, Toujoin-san.”
Di sana berdiri Kaori Toujoin, salah satu heroine, dengan senyum yang menakutkan.
Rambut pirangnya yang berkilau bagai cahaya dewa mengalir indah sampai ke punggung, melambai tertiup angin.
Rambut yang begitu indah menggambarkan keanggunannya.
Dia mengenakan seragam, tapi entah kenapa ketika dia yang memakainya, terlihat lebih murni dan cerah dibanding siswi lain.
Wajahnya sangat cantik, dengan kecantikan yang tidak seperti orang Jepang pada umumnya.
Kalau tidak salah dia seperempat atau apalah, kakeknya orang Eropa.
“Jadi, sepertinya kalian sedang membicarakan hal yang sangat menyenangkan sejak pagi. Bolehkah aku bergabung?”
“Ti-tidak, ini… topik yang hanya bisa dibicarakan antara sesama laki-laki, aku dan Tsukasa! Iya ‘kan, Tsukasa?”
“Be-benar. Itu, lo, Toujoin-san juga tidak ingin mendengarnya, ‘kan? Tentang Yuuichi yang menyuruhku menyingkap rok siswi SMA di sekitar sini…”
“Kapan aku pernah mengatakan hal seperti itu!?”
Yuuichi langsung menyela dengan kekuatan luar biasa.
Tenanglah Yuuichi, kita harus mengalihkan pembicaraan dulu.
“Ara, kalau begitu apa yang sedang kalian bicarakan, Yuuichi?”
“Eh, ah, bukan… Bu-bukan begitu? Bukan aku yang menyuruh menyingkap rok, tapi Tsukasa yang bergumam ‘Aku ingin punya kemampuan melihat tembus pandang untuk melihat siswi SMA telanjang.’”
“Kapan aku pernah mengatakan hal seperti itu!?”
Kini giliranku yang menyela.
“Ara, Hisamura-kun, tidak baik, lo, menyebarkan nafsu seperti itu. Kalau mau melakukannya, lakukan saja sendirian di kamarmu dengan diam-diam dan kesepian, ya.”
“Toujoin-san, ternyata kau cukup tahan dengan hal-hal seperti ini, ya.”
“Aku belajar setiap hari agar siap kapan pun Yuuichi menyerangku.”
“Beruntung sekali kau, Yuuichi. Dengan begini, masa depanmu sebagai presiden Grup Toujoin sudah dipastikan.”
“Tunggu, tunggu! Jangan mengkhianatiku!”
Berisik, siapa yang lebih dulu mengkhianati… oh, aku ya.
Tapi dengan begini, topiknya sudah teralihkan…
“Ngomong-ngomong Yuuichi, apa kau punya rencana untuk hari Minggu lusa?”
Eits, pembicaraan tiba-tiba kembali ke topik awal.
“Ti-tidak, yah, klub…”
“Hari Minggu, gedung olahraga akan dipakai sepenuhnya oleh klub voli.”
“Kenapa kau tahu padahal bukan anggota klub voli, Kaori?”
“Karena aku adalah aku.”
“Hebat sekali Toujoin-san, memang pantas sebagai putri pendiri SMA Toujoin.”
Mungkin itu sama sekali tidak ada hubungannya, tapi pujilah dulu untuk sementara.
“Terima kasih, Hisamura-kun. Jadi, apa kau punya rencana hari Minggu? Kalau tidak ada, bagaimana kalau kita adakan pesta di rumahku? Aku bisa menyewa kapal pesiar mewah untuk pestanya.”
“Bukankah itu terlalu berlebihan, menyewa kapal pesiar?”
Skala uang yang digunakan benar-benar tidak normal.
“Ya-yah, untuk hari Minggu sebenarnya tidak ada rencana, tapi aku ingin istirahat dengan tenang! Latihan basket juga ada sampai siang!”
“Hmm, begitu, ya. Padahal kemarin saat klub basket libur, kau bergumam ‘Aku ingin segera latihan, tidak butuh libur’, tapi sekarang kau ingin istirahat.”
“Tunggu, kapan kau mendengarnya!? Rasanya aku mengatakan itu tadi malam!”
Eits, Yuuichi, sebaiknya jangan bertanya lebih jauh.
Kegelapan Kaori Toujoin, heroine teman masa kecil dengan sifat yandere, masih terlalu dini untukmu.
“Baiklah. Kalau Yuuichi tidak mau bicara, aku juga punya rencana sendiri. Nah, sudah waktunya ke sekolah. Sampai jumpa, Hisamura-kun.”
“Sa-sampai jumpa.”
Sambil berkata begitu, Toujoin-san berjalan ke arah sekolah dengan rambutnya yang berkilau melambai.
Aku dan Yuuichi terdiam sejenak di tempat.
“…Tsukasa. Tadi aku bilang tidak perlu bantuan, tapi aku tarik kembali.”
“Hmm, aku sangat bisa menduga, tapi biar kutanya, bantuan apa yang kau inginkan?”
“Tolong hentikan Kaori Toujoin!”
“Jelas itu mustahil, pikirkan dengan akal sehat. Dan meledaklah.”
“Kenapa begitu!?”
Nah… apa yang harus kulakukan?
Atau lebih tepatnya, adegan seperti ini ada di cerita aslinya?
Bahkan setelah tiba di sekolah dan pelajaran dimulai, Yuuichi terus memohon dengan sangat.
“Ayolah, tidak apa-apa, ‘kan! Kumohon, ini permintaan seumur hidupku!”
“Kita baru berteman sekitar dua tahun, jangan berharap aku akan mengabulkan permintaan seperti itu. Simpan permintaan seumur hidupmu… untuk memintaku menjadi wakil teman dalam pidato di pernikahanmu nanti.”
“Tsukasa…! Kau bicara seolah-olah itu kata-kata bijak, tapi aku benar-benar tidak mengerti artinya.”
“Aku sendiri tidak terlalu paham apa yang kukatakan.”
Begitulah, aku hanya melewatinya dengan asal-asalan.
Sebenarnya, aku tidak dalam posisi untuk berbicara seperti ini dengan Yuuichi.
Karena… aku melirik ke suatu arah.
“Ugh…!”
Tentu saja, yang kulihat adalah sosok Sei Shimada, heroine pendukung dalam “Ojojama”.
Tapi setiap kali aku melihat ke arah Sei-chan, dia selalu memerah dan mengalihkan pandangannya.
Sudah jelas, sangat jelas bahwa aku sedang dihindari…
“Ah, aku ingin mati saja…”
“A-ada apa, Tsukasa? Apa yang terjadi?”
“Berisik, kau enak, ya, pasti… ah, sudahlah.”
“Eh, apa? Kalau sudah bilang sampai situ, katakan saja semuanya.”
Dia adalah protagonis cerita ini, pasti akan berpacaran dengan Shiho Fujise atau Kaori Toujoin, dalam arti tertentu dia adalah satu-satunya pria yang pasti menang di dunia ini.
Tidak mungkin ada rute di mana dia ditolak.
Tapi aku… hanya sahabat baiknya, artinya dalam karya ini, peran Tsukasa Hisamura bahkan tidak akan digambarkan kehidupan cintanya sama sekali.
Dibandingkan dengan Sei-chan atau Rie yang sudah dipastikan sebagai heroine yang kalah, kemungkinan besar aku akan mendapat perlakuan yang lebih buruk dalam hal percintaan.
Dengan kata lain, meskipun aku menyebut Sei-chan sebagai heroine yang kalah… aku bahkan tidak bisa naik ke panggung itu.
Haah, tadi malam karena suasana tengah malam, atau lebih tepatnya suasana mimpi, aku dengan sombong berkata “Aku pasti akan membahagiakan Sei-chan!”, tapi sekarang aku mulai berpikir itu mustahil.
Karena aku sudah dihindari, ‘kan?
Lagipula, aku sudah menyatakan perasaanku. Dalam cinta seperti ini, perjuangan sebenarnya adalah sebelum pernyataan cinta.
Pernyataan cinta itu seperti ritual, sesuatu yang hanya bisa berhasil karena kedua orang sudah saling menyukai, bisa dibilang hanya konfirmasi.
Karena itu, perjuangan sebenarnya adalah seberapa dekat kita bisa dengan orang itu dan membuat mereka menyukai kita sebelum menyatakan perasaan…
Tapi aku sudah menyatakan perasaanku, jadi ini bukan lagi perjuangan.
Jika diibaratkan dalam gim kencan, siapa pemain yang langsung menyatakan cinta tanpa membangun kedekatan dengan karakter target sama sekali?
Itulah yang kulakukan di dunia nyata.
“Ayolah, kumohon Tsukasa. Hari Minggu, aku benar-benar mohon.”
“Berisik, berisik, aku sudah tidak punya apa-apa selain keputusasaan di dunia ini.”
“Serius, apa yang terjadi padamu dari pagi sampai istirahat siang ini?”
“…Mungkin justru karena tidak terjadi apa-apa, makanya berbahaya?”
“Aku tidak mengerti.”
Aku sendiri juga tidak terlalu paham.
Lagipula, sebenarnya apa yang Sei-chan pikirkan tentangku?
Dalam cerita, hubungan antara Tsukasa Hisamura dan Sei Shimada paling banter hanya teman, bahkan mungkin hanya kenalan biasa.
Mereka kadang bekerja sama karena sahabat mereka saling menyukai dan mencoba berpacaran.
Jadi kurasa aku tidak memberikan kesan negatif… maksudku, Tsukasa Hisamura dalam cerita asli.
Tapi yang kulakukan hanyalah menyatakan cinta dan mengirim pesan yang begitu berapi-api sampai menjijikkan.
Kalau dipikir dengan kepala dingin, itu pasti membuat orang mundur teratur.
Sekarang waktu istirahat siang, aku dan Yuuichi sedang makan di pojok dekat jendela kelas, sementara Sei-chan makan dengan Fujise di sisi koridor.
…Entah kenapa aku merasa Fujise kadang-kadang melirik ke arahku, tapi kenapa dia melihatku?
Atau mungkin dia sedang melihat Shigemoto?
Mungkin aku terlalu percaya diri.
Aku makan bekal yang dibuatkan Rie sambil berpikir betapa lezatnya.
Rie memang adik yang bisa kubanggakan, nanti sepulang sekolah akan kuelus-elus kepalanya lagi… apa dia akan membenciku? Mungkin sebaiknya tidak kulakukan.
Hah, kalau tidak memikirkan hal-hal seperti itu, aku tidak akan tahan.
“Ah, benar juga. Hei, Tsukasa. Mungkin kau tidak bisa menghentikan Kaori sendirian, ‘kan?”
“Yah, begitulah. Kurasa tidak ada yang bisa menghentikan Toujoin-san sendirian selain Yuuichi.”
“Aku? Tidak, aku juga tidak bisa. Soalnya aku merasa tidak bisa menghentikan niatnya untuk melakukan sesuatu pada hari Minggu.”
Sebenarnya, mungkin kau bisa menghentikannya.
Kalau kau pergi ke rumah Toujoin-san pada malam Minggu dan bermesraan dengannya, mungkin dia tidak akan mengganggu kencanmu dengan Fujise pada hari Minggu.
Yah, tapi aku tidak akan mengatakannya.
“Jadi, bagaimana caranya menghentikan Toujoin-san yang bahkan kau tidak bisa hentikan?”
“Ah, kalau Tsukasa tidak bisa sendirian, kita bisa minta bantuan satu orang lagi.”
“Hah? Siapa?”
“Ada orang yang sangat cocok ‘kan? Seseorang yang tahu aku dan Fujise akan kencan hari Minggu, dan bersedia membantu…”
“Kau… jangan-jangan…”
“Shimada.”
“Itu tidak bisa, aku bisa mati.”
“Kenapa!?”
Hei, saat ini aku sedang sangat dihindari oleh Sei-chan, tahu.
Dalam keadaan seperti ini, kau mau aku menghentikan Toujoin-san yang kemungkinan besar akan mengganggu kencanmu dengan Fujise?
Jelas itu tidak mungkin, dalam berbagai hal.
“Hanya ini satu-satunya cara! Kumohon, aku benar-benar mohon!”
“Aku juga mohon, Sei-cha… pokoknya Shimada tidak bisa. Kalau begitu, lebih baik aku melakukannya sendiri.”
“Kenapa? Dan kenapa dari tadi kau mengucapkan kata-kata yang tidak kumengerti seperti ‘Sei-cha’?”
“Jangan bahas itu, nanti kupukul kau.”
“Kau hari ini lebih tidak bisa dimengerti dari biasanya.”
Sial, apa yang harus kulakukan…
Haruskah kuberitahu Yuuichi? Bahwa aku telah menyatakan cinta pada Sei-chan.
Tapi anak ini mudah sekali terbaca wajahnya… Tadi saja saat Toujoin-san hampir mengetahui tentang hari Minggu, kalau saja dia tidak panik seperti itu, mungkin kita bisa mengatasinya.
Itu masih bisa dianggap kesalahannya sendiri, tapi kalau sampai orang lain tahu aku menyukai Sei-chan, bisa-bisa Sei-chan juga terkena imbasnya.
Itu harus kuhindari bagaimanapun caranya.
“Jadi kau akan melakukannya sendiri?”
“Daripada meminta Shimada, iya. Tapi aku benar-benar tidak tahu apa yang bisa kulakukan sendirian.”
“Apa maksudnya ‘daripada meminta padaku’?”
Ah… jangan-jangan, suara ini…?
Situasinya mirip seperti dengan Toujoin-san tadi.
Bedanya, suara itu datang dari belakangku, jadi Yuuichi yang sedang berbicara denganku sudah bisa melihat orang itu.
“Ah, Shimada.”
Sudah kuduga…!
Sambil berpikir begitu, aku berbalik dan melihat Sei-chan berdiri di sana.
Karena aku dan Yuuichi sedang duduk, aku harus mendongak untuk melihat Sei-chan yang berdiri.
“Jadi… ada sesuatu yang ingin kalian minta dariku?”
Sei-chan berbicara sambil menghadap ke arah Yuuichi, setelah sejenak mata kami bertemu dan dia mengalihkan pandangan dengan canggung.
Hah, sepertinya dia memang tidak mau bertatapan denganku…
Hanya karena itu saja, perasaanku langsung jatuh ke titik terendah.
“Ah, Shimada. Ada hal yang tidak bisa kuceritakan pada orang lain, bisa minta waktumu sebentar sepulang sekolah? Ini… tentang hari Minggu.”
“Oh, itu… tentang kau dan Shiho?”
“Ya, itu. Ada sedikit masalah.”
“Baiklah. Sepulang sekolah, ya, kalau begitu kita tinggal di kelas ini…”
Begitu mengatakan itu, Sei-chan tiba-tiba membeku. Seperti baterai mesin yang tiba-tiba habis.
“Hm? Ada apa, Shimada?”
“Ti-tidak apa-apa…!”
Sei-chan tersentak saat Yuuichi menyapanya, pipinya sedikit memerah dan tampak agak bingung.
Lalu sejenak dia melirik ke arahku, dan karena aku terus memandangi mata Sei-chan yang menurutku sangat indah, pandangan kami bertemu.
“Ah! Ke-kelas ini tidak bisa! Sepulang sekolah, kita bertemu di depan gerbang sekolah!”
Setelah mengatakan itu, Sei-chan bergegas pergi meninggalkan kami.
“Entah kenapa Shimada bertingkah aneh, ada apa, ya?”
“En-entahlah, aku tidak tahu.”
Bagaimana, ya, dia tampak sangat bingung saat melihatku… mungkin dia teringat kejadian di antara kami.
Dia melihat ke arahku dan mengubah tempat pertemuan dari kelas ini, jadi mungkin memang begitu.
Kelas ini adalah tempat di mana aku menyatakan perasaanku pada Sei-chan kemarin.
Mungkin karena itulah dia mengganti tempatnya, tapi aku penasaran apa alasan sebenarnya.
Mungkin karena merasa canggung… yah, kemungkinan besar dalam arti negatif.
Hah… seharusnya aku tidak menyatakan perasaan dalam suasana hati seperti mimpi itu.
Tapi mau bagaimana lagi, aku sama sekali tidak menyangka akan masuk ke dunia “Ojojama” ini.
Yah, meski ini bukan mimpi dan aku lebih senang berada di sini, mungkin lebih baik kalau kejadian kemarin itu hanya mimpi.
Karena Sei-chan sampai menghindariku seperti ini… Ah, tapi Sei-chan kemarin sangat manis, jadi aku senang bisa melihatnya.
“Ah, gawat, aku lupa kalau ada rapat klub basket sepulang sekolah hari ini, aku harus segera ke ruang klub.”
“Hah?”
“Maaf, tolong sampaikan ke Shimada sepulang sekolah, ya?”
“Hah!?”
…Akhirnya tiba waktu pulang sekolah.
Seperti yang Yuuichi katakan saat istirahat siang, dia langsung keluar kelas untuk rapat klub.
“Aku benar-benar minta maaf! Tolong jelaskan dan bujuk Shimada, ya!”
“Aku benar-benar akan membencimu untuk ini.”
Kenapa aku harus berbicara berdua saja dengan Sei-chan sekarang…!
Tidak, sebenarnya aku sangat senang bisa berbicara berdua dengan Sei-chan, tapi jangan sekarang!
Sei-chan dan aku sama-sama merasa sangat canggung karena kejadian kemarin.
Yah, Yuuichi tidak tahu soal itu, jadi dia pasti tidak bermaksud buruk.
Lagipula, kecanggungan ini sepenuhnya tanggung jawabku.
Hah, aku harus pergi, ya… Sei-chan pasti sedang menunggu sendirian.
Dengan perasaan sedikit murung, aku mengambil barang-barangku dan keluar dari kelas.
Ketika aku keluar dari sekolah dan tiba di depan gerbang, Sei-chan sudah berdiri sendirian di sana.
Rambut peraknya yang tidak terlalu panjang melambai tertiup angin, sungguh indah.
Bagaimana bisa dia terlihat begitu memesona hanya dengan berdiri di depan gerbang sekolah?
“…Ah, Hi-Hisamura, ya.”
Sei-chan berkata begitu dengan sedikit panik saat menyadari kedatanganku.
Ini pertama kalinya dia memanggil namaku sejak kemarin, dan ternyata memang menyenangkan dipanggil nama oleh idola.
Aku bersyukur namaku di dunia sebelumnya juga Tsukasa Hisamura.
“Yo… um, apa waktumu tidak apa-apa?”
“Te-tentu saja. Aku tidak punya rencana apa-apa setelah ini.”
Sei-chan melihat ke arahku tapi tidak menatap mataku, pandangannya sedikit ke bawah.
“Ja-jadi, di mana Shigemoto?”
“Ah, soal Yuuichi, katanya ada kegiatan klub, jadi dia tidak bisa meluangkan waktu sepulang sekolah.”
“Hah? Padahal dia yang bilang ada urusan dan memanggilku?”
“Ya, padahal dia yang bilang ada urusan dan memanggilmu.”
“Apa yang dia pikirkan…”
“Aku sangat setuju denganmu soal itu.”
“Jadi… maksudnya kita berdua saja…”
“Hm? Sei-cha… Shimada, kau mengatakan sesuatu?”
“Ti-tidak, bukan apa-apa.”
Bahaya, aku hampir saja memanggilnya Sei-chan lagi.
Di dunia ini, Hisamura biasa memanggil Sei-chan dengan nama keluarganya.
Jika ini bukan mimpi, tingkat kesulitan bagiku untuk memanggil Sei-chan dengan “Sei-chan” setinggi gunung Everest.
Soal kejadian kemarin, yah, sudah tidak bisa diulang lagi, jadi tidak ada yang bisa kulakukan.
Aku berharap Sei-chan bisa melupakannya… tapi mungkin itu mustahil.
“Ja-jadi, apa yang ingin dibicarakan Shigemoto? Sepertinya tentang hari Minggu, ‘kan?”
“Begitulah. Yah, rasanya tidak enak bicara di sini, bagaimana kalau kita bicara sambil jalan?”
Di depan gerbang sekolah masih banyak siswa lain. Kalau kami berhenti dan mengobrol di sini, pasti akan menarik perhatian. Apalagi Sei-chan sudah cukup menarik perhatian karena kecantikannya.
“Ba-baiklah… Bagaimana kalau kita ke kafe di dekat sini?”
“Eh?”
Aku tidak menyangka akan mendapat undangan seperti itu, jadi tanpa sadar aku bertanya kembali.
“Ma-maksudku, sepertinya ini akan jadi pembicaraan panjang, dan rasanya tidak enak kalau kita bicara sambil berdiri. Jadi, mungkin kita bisa bicara dengan tenang berdua, maksudku… tidak boleh, ya?”
“Tentu saja boleh.”
Tanpa sadar aku menjawab dengan bahasa formal.
Tolong jangan menatapku dengan pandangan cemas seperti itu, aku bisa mengabulkan apapun yang kau minta. Bahkan jika kau berkata “Maukah kau mati untukku?”, tatapan memohonmu itu begitu kuat hingga aku mungkin akan dengan senang hati melakukannya.
“Be-begitu, ya. Kalau begitu ayo kita pergi ke sana.”
Sei-chan mulai berjalan ke arah kafe itu, dan aku berjalan di sampingnya.
A-apakah ini… yang disebut kencan sepulang sekolah!?
Kencan sepulang sekolah dengan Sei-chan, karakter favoritku, betapa beruntungnya aku.
Terima kasih, Yuuichi, untung saja kau tidak ada di sini.
Dan begitulah, aku dan Sei-chan berjalan menuju kafe…
Sepanjang perjalanan, suasana terasa sangat canggung. Biasanya berjalan dalam diam untuk jarak pendek itu hal yang biasa, tapi entah kenapa suasananya terasa berbeda. Sepertinya aku dan Sei-chan sama-sama merasakan suasana canggung ini.
“Um, apakah kafe yang akan kita kunjungi ini sering kau datangi bersama Fujise?”
“Ah, iya, begitulah. Shiho memang cukup sibuk dengan klub tenis, tapi tidak sesibuk klub basket Shigemoto. Jadi ketika pulang bersama Shiho, kami kadang mampir ke sana.”
“Oh begitu. Shimada tidak ikut klub apa pun, ya.”
“…Benar. Hisamura juga tidak ikut klub mana pun, ‘kan? Apa kau tidak berniat bergabung?”
“Klub di SMP-ku dulu cukup berat, jadi aku ingin santai sedikit di SMA.”
“Heh, khas Hisamura sekali.”
Sei-chan tersenyum kecil saat mengatakan itu. Syukurlah suasana canggung tadi sedikit berkurang. Kalau terus seperti tadi, aku tidak yakin bisa membicarakan masalah itu bahkan setelah sampai di kafe.
Sei-chan juga tidak ikut klub mana pun, tapi kemampuan atletiknya luar biasa. Jika dia bergabung dengan olahraga tim, timnya bisa mencapai level kompetisi tingkat prefektur.
Karena itu, Sei-chan sering dipanggil sebagai pemain bantuan untuk berbagai klub.
“Apa Shimada tidak ingin bergabung dengan klub? Kau pasti banyak mendapat tawaran, ‘kan?”
“Yah, aku memang berterima kasih atas tawaran-tawaran itu, tapi sama seperti Hisamura, aku lebih suka bersantai sepulang sekolah. Lagipula, aku tidak terlalu bersemangat soal olahraga.”
“Yah, khas Shimada sekali.”
Keren, kemampuan atletik luar biasa, tapi juga perhatian pada teman dan baik hati.
“Hah… aku suka.”
“Eh!? Ba-barusan kau bilang apa…?”
“Eh, ah… bukan apa-apa.”
“Tapi tadi… Be-begitu, ya.”
Sei-chan sempat ingin mendesakku, tapi langsung berhenti dengan wajah memerah. Mungkin dia sadar kalau mendesak lebih jauh hanya akan menyakiti kami berdua.
Tapi tadi itu aku sedikit lengah. Rasanya seperti saat membaca manga dan tanpa sadar bergumam “Ah, indahnya.”
Aku harus hati-hati, ini sudah menjadi kenyataan sekarang. Berbicara dengan Sei-chan seperti ini terasa begitu seperti mimpi, aku sampai lupa sejenak.
Setelah itu, aku dan Sei-chan berjalan dalam diam tanpa bertatapan hingga tiba di kafe.
Kafe yang sering dikunjungi Sei-chan dan Fujise adalah “Moonbucks”, sebuah gerai ternama yang sering ditemui di depan stasiun. Yah, ini dunia manga, jadi nama kafenya mirip dengan kafe yang ada di dunia nyata.
Ngomong-ngomong, menu andalan mereka disebut “Frenchino”, yang mungkin hampir sama dengan yang ada di kafe dunia nyata.
Kami masuk ke dalam dan memesan pada pelayan.
“Aku pesan Drip Coffee ukuran Tall. Kalau Shimada?”
“Aku… hmm, Vanilla Cream Frenchino ukuran Grande, ganti sirupnya dengan White Mocha Syrup, tambah Caramel Sauce dan Whipped Cream-nya, ya.”
Itu mantra macam apa?
Pesanannya tiga atau empat kali lebih panjang dari pesananku?
Pelayan sepertinya sudah terbiasa dan menjawab “Baik, mohon tunggu sebentar” lalu mulai membuatnya.
Aku bahkan tidak yakin apakah yang dia pesan tadi masih bisa disebut minuman.
“Apa Shimada sering ke ‘Moonbucks’?”
“Ya, aku sering ke sini dengan Shiho, tapi kadang-kadang aku juga datang sendiri untuk beli pada hari libur.”
“Oh, kau cukup suka rupanya.”
Aku tidak tahu itu, atau lebih tepatnya, ini informasi yang bahkan belum muncul di cerita aslinya.
Entah ini sesuai dengan cerita asli atau tidak, tapi aku bisa melihat sisi baru dari Sei-chan.
“A-apakah aneh? Aku yang suka makanan manis…”
“Tidak, menurutku itu sama sekali tidak masalah. Menggemaskan… eh, maksudku, menurutku itu manis.”
“Be-begitu, ya, terima kasih…”
Dalam cerita, Sei-chan digambarkan sebagai karakter yang keren dan kalem, tapi dia tetap siswi SMA biasa, jadi apa salahnya suka makanan manis?
Aku sempat salah bicara, tapi menurutku itu manis dan menggemaskan.
Kopi pesananku segera datang, sementara Frenchino apa itu milik Sei-chan datang beberapa saat kemudian. Ukurannya lebih besar dari kopiku, penuh dengan krim dan sebagainya, rasanya lebih mirip dessert daripada minuman.
Kemudian aku dan Sei-chan duduk berhadapan di meja untuk dua orang. Sei-chan menghisap minumannya melalui sedotan, dan sepertinya sangat enak karena sudut bibirnya sedikit terangkat, wajahnya terlihat senang.
Ah, bisa melihat senyuman idolaku dari dekat seperti ini, betapa bahagianya.
“Enak, Sei-chan?”
“Eh!?”
Ah, gawat, aku memanggilnya Sei-chan.
Dia terkejut mendengar ucapanku, matanya terbelalak, dan sepertinya karena kaget dia menyedot minumannya terlalu cepat dan tersedak sedikit.
“Shi-Shimada, kau tidak apa-apa?”
“A-aku tidak apa-apa. Tapi, Hisamura, kenapa kau memanggilku seperti itu?”
Benar juga, tentu saja dia akan bertanya.
“Itu… sebenarnya dari dulu aku memanggilmu begitu dalam hati.”
“Be-begitu, ya.”
“Ya, dan kemarin saat menyatakan perasaan, aku terbawa suasana…”
Begitu aku menyebut pernyataan cinta kemarin, wajah Sei-chan semakin memerah.
“Be-begitu, ya…”
“Maaf, mulai sekarang aku akan memanggilmu Shimada seperti biasa.”
“A-aku tidak keberatan.”
“Eh? Boleh?”
“I-iya… ta-tapi karena itu memalukan, hanya saat kita berdua saja.”
Sei-chan berkata begitu sambil mengalihkan pandangannya, terlihat malu-malu.
Eh, tapi bukankah itu berarti… eh?
“Apakah itu artinya… secara tidak langsung kau menerima pernyataan cintaku…?”
“Eh!? Kenapa bisa begitu!?”
“Habisnya, mengizinkan aku memanggilmu Sei-chan saat berdua saja, itu seperti…”
“Bu-bukan begitu! Aku hanya mengizinkanmu memanggilku dengan nama itu, bukan berarti aku menerima pernyataan cintamu!”
“Ba-baiklah, aku mengerti. Jangan marah begitu, aku minta maaf.”
Karena dia membantah sekeras itu… sepertinya jawaban atas pernyataan cintaku kemarin sudah ditentukan.
Mungkin karena aku terlihat jelas murung, Sei-chan tiba-tiba berkata “Ah” dan mulai berbicara dengan panik.
“Ma-maaf, Hisamura. Bukan begitu, aku tidak menolak pernyataanmu, malah… aku belum memutuskan jawabannya, tapi aku sedang mempertimbangkannya dengan positif…”
“Eh?”
“Su-sudah cukup membahas ini!”
“Tapi…”
“Kau boleh memanggilku Sei-chan saat kita berdua saja! Mengerti!?”
“I-iya, aku mengerti!”
Jadi, aku mendapat izin untuk memanggil Sei-chan saat kami berdua saja. Sei-chan tadi mengatakan sesuatu yang sangat menarik perhatianku dan membuatku senang, tapi aku tidak bisa menanyakan lebih lanjut.
Akhirnya aku bisa menjelaskan alasan mengapa aku mengajak Sei-chan bertemu hari ini. Aku mulai dengan “Sebenarnya…” dan menjelaskan bahwa Kaori Toujoin mengetahui tentang kencan Yuuichi dan Fujise pada hari Minggu.
“Begitu, ya, wanita itu…”
Dari sudut pandang Sei-chan, Kaori Toujoin adalah orang yang mengganggu kisah cinta sahabatnya, Fujise, jadi wajar jika dia tidak terlalu menyukainya.
“Jadi dia akan datang mengganggu kencan mereka?”
“Mungkin, atau lebih tepatnya, aku yakin dia pasti akan datang.”
“Hah, jadi orang yang paling tidak boleh tahu malah mengetahuinya. Apa yang mereka lakukan?”
“Maaf soal itu, kami sama sekali tidak menyangka dia akan mendengarnya.”
“Yah, yang sudah berlalu biarlah berlalu. Jadi intinya, kalian tidak ingin Toujoin mengganggu kencan mereka, makanya meminta bantuanku?”
“Ya, itu permintaan Yuuichi.”
Mendengar itu, Sei-chan terdiam sejenak, seperti sedang berpikir.
“Tentu saja kau boleh menolak. Jangan merasa tidak enak pada kami.”
“Tidak, aku akan membantu. Bagaimanapun juga, ini demi Shiho.”
“Eh, serius?”
“Ya, Shiho sudah memberanikan diri untuk menyatakan perasaannya. Kita tidak bisa membiarkan itu diganggu, ‘kan?”
Seperti yang diharapkan dari Sei-chan yang sangat peduli pada sahabatnya, dia langsung memutuskan untuk membantu.
“Tapi bagaimana cara mencegah gangguan itu? Lawan kita adalah putri dari Grup Toujoin, lo?”
Itulah masalahnya, meski kita ingin mencegah gangguan, aku sama sekali tidak tahu bagaimana caranya.
Grup Toujoin adalah salah satu perusahaan terkemuka di dunia ini. Total asetnya konon melebihi seribu triliun… tapi sebagai siswa SMA, aku tidak terlalu paham. Apakah ada perusahaan seperti itu di dunia nyata? Yah, ini ‘kan dunia manga.
Pokoknya, Kaori Toujoin adalah putri dari keluarga super kaya. Jika dia benar-benar berniat mengganggu, mungkin kita tidak bisa berbuat apa-apa.
“Bagaimana caranya mencegah? Apa kau punya rencana?”
“Sama sekali tidak. Kalau dipikir-pikir, sepertinya memang tidak mungkin, ya?”
“Ya, menurutku juga sulit. Aku sangat ingin mencegah Shiho diganggu, tapi…”
“…Hm? Tunggu sebentar.”
Oh iya, aku lupa, bukankah situasi ini juga terjadi di cerita aslinya?
Tentu saja, bukan adegan Tsukasa Hisamura dan Sei Shimada mengobrol di kafe seperti ini. Tapi adegan di mana Toujoin datang mengganggu kencan mereka.
Jika dia mencoba mengganggu sesuai dengan alur cerita asli, mungkin kita bisa mencegahnya. Tapi perbedaannya kali ini adalah Toujoin sudah tahu tentang kencan itu sebelumnya.
Dalam cerita asli, Toujoin baru tahu tentang kencan itu pada hari H, jadi persiapan gangguannya minimal. Tapi kali ini, kemungkinan besar dia sudah mempersiapkan diri.
Jika tidak sesuai cerita asli, mungkin sulit dicegah… tapi yah, kita harus mencobanya.
“Entah kenapa, aku merasa tahu bagaimana Toujoin-san akan mengganggu.”
“Benarkah? Atas dasar apa?”
“Tidak terlalu ada, tapi kalau dipaksa bilang, mungkin berdasarkan kepribadian Toujoin-san.”
Dalam cerita asli, Tsukasa Hisamura dan Kaori Toujoin cukup akrab. Tsukasa Hisamura tidak menghalangi hubungan Yuuichi dan Toujoin, malah mendukungnya. Yah, meski sebagian besar hanya untuk menggoda mereka.
Jadi karena cukup akrab dengan Toujoin, aku merasa sedikit banyak memahami kepribadiannya. Yah, dalam kasus ini, bukan karena aku mengenal kepribadiannya, tapi karena aku tahu cerita aslinya.
“Begitu, ya. Tapi itu lebih baik daripada tidak ada rencana sama sekali. Jadi, apa yang harus kita lakukan?”
Sei-chan bertanya padaku sambil menyesap Frenchino-nya.
“Pertama-tama, malam sebelum kencan, yaitu Sabtu malam, kita undang Yuuichi ke rumahku.”
“Hah? Maksudnya?”
“Kemungkinan besar Toujoin-san akan mengawasi rumah Yuuichi sejak pagi hari Minggu. Karena itu, Yuuichi akan berangkat kencan dari rumahku.”
Sebenarnya, dalam cerita asli, Toujoin sudah berada di depan rumah Yuuichi meski dia tidak tahu tentang kencan itu. Mungkin dia datang untuk mengajak main seperti biasa, tapi Yuuichi menghindarinya karena ada kencan.
Karena Yuuichi menghindarinya dengan terburu-buru, Toujoin merasa aneh dan diam-diam mengikutinya, hingga akhirnya melihat tempat kencan mereka.
Karena itu, kali ini pun kemungkinan besar Toujoin akan berada di depan rumah Yuuichi.
“Oh, begitu. Lalu apakah Shiho juga sebaiknya berangkat dari rumahku?”
“Tidak, kurasa itu tidak perlu. Toujoin-san mungkin belum tahu Yuuichi akan kencan dengan siapa. Bahkan, dia mungkin belum tahu itu kencan.”
“Benarkah?”
“Toujoin-san pasti berpikir ‘Yuuichi punya sesuatu yang tidak bisa dia katakan padaku pada hari Minggu’, jadi kurasa dia baru akan sadar itu kencan saat melihat Yuuichi dan Fujise berdua saja.”
Kemungkinan besar, dia belum tahu kalau Yuuichi dan Fujise akan kencan berdua. Tapi aku yakin pada hari H, dia pasti akan datang mengganggu.
“Hm? Jadi tempat kencan mereka belum diketahui?”
“Ya, kurasa begitu.”
“Kalau begitu, bukankah masalah selesai jika Shigemoto tidak diikuti Toujoin? Toujoin pasti tidak tahu tempat kencan mereka.”
“…Ah, benar juga.”
Dalam cerita asli, mereka ketahuan kencan karena diikuti, lalu terus dibuntuti dan diganggu. Tapi kali ini, Toujoin-san tidak tahu mereka akan pergi ke mana.
Jika kita bisa mengantar Yuuichi ke tempat kencan tanpa ketahuan Toujoin-san, mungkin kita sudah menang saat itu juga.
“Hmm, kalau begitu sepertinya tidak ada yang perlu kulakukan.”
“Mungkin begitu. Maaf, ya, aku sudah menyita waktumu sepulang sekolah.”
“Selama kencan Shiho tidak berantakan, ini bukan masalah besar.”
Dia sangat keren. Terlalu jantan sampai tampan, aku jatuh cinta. Ah, aku memang sudah jatuh cinta.
“Sei-chan memang baik hati, ya.”
“I-ini bukan apa-apa, ini hal biasa.”
“Haha, memang khas Sei-chan.”
Sei-chan langsung memerah ketika kupuji.
Mungkin dia tidak terbiasa dipuji.
Kuharap dia tetap seperti ini selamanya, karena dia sangat menggemaskan.
Setelah itu, aku dan Sei-chan mengobrol ringan sebelum meninggalkan kafe.
Kubilang mengobrol ringan, tapi kami berdua berbincang selama sekitar 30 menit di kafe. Waktu yang luar biasa membahagiakan… sungguh luar biasa.
Kami membicarakan berbagai hal, seperti sekolah, Yuuichi dan Fujise, topik pembicaraan kami sepertinya tak ada habisnya.
Setelah keluar dari kafe, kami terus mengobrol sambil berjalan berdua.
“Eh? Sei-chan punya kakak laki-laki?”
“Ya, aku punya satu. Dia sudah bekerja dan tinggal sendiri, jadi sudah tidak di rumah lagi.”
Aku baru tahu.
Ini juga informasi yang tidak muncul di cerita asli.
Aku penasaran, apakah di cerita asli Sei-chan juga punya kakak?
Ah, tapi kalau dipikir-pikir…
“Jadi karena itu kau suka manga dan anime shounen…”
“Eh!? Ba-bagaimana kau tahu itu!?”
“Eh, ah…”
Benar juga, aku belum pernah menceritakan hal ini pada Tsukasa Hisamura.
Dalam cerita asli, Sei-chan menyelidiki Yuuichi demi Fujise, dan dalam proses mereka menjadi akrab, topik ini muncul.
“Itu, aku dengar dari Yuuichi.”
“A-anak itu, padahal aku sudah menyuruhnya merahasiakannya…!”
Maaf, Yuuichi. Sebenarnya aku tidak mendengar apa-apa darinya, tapi aku tidak mungkin mengatakan bahwa aku tahu dari informasi manga.
“Itu bukan hal yang memalukan, ‘kan? Lihat, aku juga suka manga shounen.”
“Be-benarkah? Bukankah aneh jika perempuan sepertiku menyukai manga shounen?”
“Itu tidak ada hubungannya antara cocok atau tidak cocok dengan selera manga.”
Aku benar-benar berpikir begitu.
Aku sendiri jarang membaca manga shoujo, tapi kurasa banyak laki-laki yang membacanya, dan aku sama sekali tidak menganggap itu aneh. Setiap orang punya hobi masing-masing.
“Lagipula, aku akan sangat senang jika bisa membicarakan manga shounen dengan Sei-chan.”
“Be-begitu, ya… kalau begitu, syukurlah.”
Sei-chan memalingkan wajahnya yang memerah karena malu. Bukan soal cocok atau tidak cocok, tapi melihat Sei-chan yang sedikit peduli akan hal itu membuatku tersenyum geli karena lucunya.
“He-hei, kau tertawa, ‘kan!”
“Haha, maaf, maaf. Tapi aku bukan tertawa karena itu tidak cocok, melainkan karena kupikir Sei-chan sangat manis.”
“Ugh, itu sama saja dengan mengejekku!”
Reaksi Sei-chan membuatku tanpa sadar tersenyum lagi. Memang menyenangkan sekali berbicara dengan Sei-chan.
“Ah…”
“Hm? Ada apa?”
Sei-chan tiba-tiba bersuara seolah teringat sesuatu.
“Ti-tidak, bukan apa-apa.”
“Tidak, suaramu tadi tidak terdengar seperti ‘bukan apa-apa’.”
“…Itu, aku baru ingat kalau manga yang kubaca ada volume baru yang terbit hari ini.”
“…Fufu.”
“Su-sudah kubilang jangan tertawa!”
Tidak, yang barusan itu curang, dia benar-benar membuatku ingin tertawa. Kupikir sikapnya yang peduli itu manis dan lucu, tapi aku tidak bisa menyalahkan Sei-chan yang berturut-turut bersikap menggemaskan seperti itu.
“Maaf, maaf. Jadi, manga apa itu?”
“Dasar… Judulnya ‘Bereinkarnasi Malah Menjadi Goblin’.”
“Apa?”
Aku mendengar judul yang luar biasa.
“Kau tidak tahu? Padahal manga ini akan diadaptasi menjadi anime.”
“Hmm, rasanya aku pernah dengar, tapi sepertinya juga belum.”
Terkadang aku lupa bahwa dunia ini adalah dunia manga “Ojojama”. Karena berbeda dengan dunia asalku, mungkin manga populer di sini juga sangat berbeda.
“Manga lain yang Sei-chan baca apa saja? Ada yang terkenal?”
“Yah, selain itu…”
Sei-chan menyebutkan beberapa judul manga lain, tapi semuanya adalah manga yang belum pernah kudengar. Tidak, rasanya ada beberapa judul yang terdengar familier, tapi ketika kutanyakan isinya, hampir semuanya sangat berbeda.
“Hisamura, apa kau benar-benar suka manga? Padahal aku sudah menyebutkan beberapa judul yang cukup terkenal.”
“Hmm, mungkin aku hanya membaca manga yang kurang populer.”
Mungkin manga yang kubaca tidak ada di dunia ini. Tentu saja, manga favoritku, “Ojojama”, pasti tidak ada di sini.
Meskipun aku tidak membaca terlalu banyak, ada beberapa manga yang ingin kulanjutkan membacanya, jadi itu agak mengecewakan. Tapi tidak ada gunanya meratapi hal itu, jadi mungkin aku akan mulai membaca manga baru.
“Ah, Sei-chan, mau ke toko buku sekarang? Kau ingin membeli volume baru, ‘kan?”
“Iya, tapi apa kau juga mau ikut, Hisamura?”
“Eh, tidak boleh? Aku juga ingin membeli manga yang Sei-chan suka…”
“Bukan begitu, aku tidak keberatan, tapi aku tidak yakin apakah itu sesuai dengan seleramu.”
“Mungkin tidak apa-apa, kurasa aku bisa menikmati hampir semua bacaan. Lagipula, kencan di toko buku dengan Sei-chan pasti menyenangkan.”
“Be-begitu, ya, baiklah.”
Sei-chan sepertinya mulai terbiasa dengan ucapanku yang seperti itu, reaksinya tidak terlalu besar. Tapi telinga Sei-chan yang sedikit terlihat di balik rambutnya memerah, sangat manis.
Lalu aku dan Sei-chan menuju toko buku yang ada di jalan pulang sekolah. Toko buku itu cukup besar, tentu saja ada banyak manga, juga berbagai novel, majalah, dan buku pelajaran.
“Ke sini.”
“Eh? Apa?”
Sei-chan mengatakan sesuatu dengan suara kecil, tapi aku tidak bisa mendengarnya.
Toko buku adalah tempat yang sangat tenang, jadi agar tidak mengganggu pelanggan lain, Sei-chan berbicara dengan suara pelan.
Aku mendekatkan telingaku agar bisa mendengar suara Sei-chan.
“Ma-manga ada di lantai tiga.”
Sei-chan sedikit malu-malu mendekatkan mulutnya ke telingaku, berbisik sambil menutupi mulutnya dengan tangan.
“Ba-baiklah.”
Aku juga menjawab dengan suara pelan, sedikit berdebar karena suara Sei-chan yang lebih lembut dari biasanya dan wajah cantiknya yang begitu dekat.
Dengan sedikit gugup, aku dan Sei-chan menuju lantai tiga.
Di lantai tiga ada bagian khusus manga, dan kami mulai melihat-lihat rak buku.
“…Ketemu, Hisamura, ini ‘Tengobu’.”
“Tengobu? …Oh, nama singkatnya, ya.”
Entah terdengar bagus atau tidak…
“Kalau begitu aku akan beli semua volumenya.”
“Kamu yakin? Sudah ada sepuluh volume, lo…”
Sepuluh volume berarti sekitar 5.000 yen… pengeluaran yang cukup besar untuk siswa SMA.
“Aku ingin bisa membicarakan manga bersama Sei-chan juga.”
“Be-begitu, ya, kalau begitu tidak apa-apa.”
“Apa ada manga lain yang Sei-chan rekomendasikan?”
“Hmm, apa, ya…”
Setelah itu, dia merekomendasikan tiga judul lagi, dan aku mengingat nama-namanya.
Sekarang aku tidak punya uang, tapi nanti aku harus membeli semuanya…
“Hisamura, kau bermaksud membeli semuanya?”
“Tentu saja. Kalau Sei-chan merekomendasikannya, aku pasti akan membacanya.”
Di dunia sebelumnya, aku bekerja paruh waktu dan menghabiskan hampir semua uang yang kuhasilkan untuk merchandise Sei-chan.
Di dunia ini aku belum bekerja paruh waktu, tapi aku bisa mulai lagi kapan saja.
Cara menggunakan uangku dari dunia sebelumnya hingga sekarang sebagian besar tetap untuk Sei-chan.
Ini adalah uang yang digunakan demi idola, dengan kata lain, uang untuk hidup. Tidak ada cara yang lebih membahagiakan untuk menggunakan uang, tidak ada bantahan.
“Hisamura, kalau kau sangat ingin membacanya, bagaimana kalau kupinjamkan mangaku?”
“Eh, serius?”
Pilihan meminjam dari Sei-chan tidak pernah terpikirkan olehku.
“Boleh kupinjam?”
“Ya, karena aku yang merekomendasikannya, meminjamkan-nya bukan masalah. Aku akan meminjamkan ‘Tengobu’ juga.”
“Benarkah? Itu sangat membantu bagiku.”
“Kalau begitu, lain kali akan kubawa ke sekolah. Dan juga…”
“Dan juga?”
Sei-chan sedikit mengalihkan pandangannya, melanjutkan dengan suara kecil.
“Aku belum pernah membicarakan manga dengan siapa pun sebelumnya… jadi aku juga senang bisa melakukannya dengan Hisamura.”
“Ugh… gawat.”
“A-apa yang gawat?”
“Sei-chan terlalu manis, aku hampir berteriak.”
“A-apa… ja-jangan lakukan itu, memalukan!”
“Tapi perasaan bahwa Sei-chan manis itu tidak memalukan sama sekali.”
“Bu-bukan itu maksudku!”
Suara Sei-chan yang terakhir sedikit meninggi, menarik sedikit perhatian.
Setelah itu, kami kembali berkeliling bagian manga, dengan Sei-chan memperkenalkan buku-buku yang dia rekomendasikan, tapi…
“…”
Sei-chan berhenti sejenak di depan rak buku, tampak memandangi buku-buku di sana… atau setidaknya begitulah yang kukira, tapi matanya sesekali melirik ke arah lain.
Aku mengikuti arah pandangan Sei-chan, dan ternyata… itu adalah bagian manga shoujo.
Hm? Mungkinkah Sei-chan ingin pergi ke bagian manga shoujo? Apa dia segan karena ada aku?
“Sei-chan, mau ke sana?”
Ketika aku menunjuk ke arah bagian manga shoujo, Sei-chan terkejut dengan mata membulat.
“Eh… Hi-Hisamura, kau juga tertarik dengan manga shoujo?”
“Hm? Ah, tidak…”
Sei-chan jelas-jelas memperhatikan bagian manga shoujo, jadi bukankah dia ingin ke sana?
Saat aku hendak bertanya begitu… aku teringat sesuatu.
Sei-chan selalu membaca manga shounen, tapi hampir tidak pernah membaca manga shoujo!
Ini juga pengetahuanku dari cerita asli, yang tidak ditampilkan di cerita utama, tapi dalam manga bonus. Dalam cerita pendek yang ditulis khusus untuk volume tankobon, ada cerita tentang Sei-chan yang diam-diam pergi membeli manga shoujo.
Sei-chan bahkan menyembunyikan fakta bahwa dia membaca manga shounen, tapi dia merasa manga shoujo tidak cocok untuknya sehingga tidak pernah membacanya.
Tapi karena penasaran, Sei-chan pergi membeli manga shoujo dengan penampilan sedikit berbeda dari biasanya, berusaha agar tidak bertemu kenalan, itulah isi manga bonusnya. Dalam manga bonus itu, Sei-chan mengenakan rok agar tidak dikenali oleh siapa pun… dan itu sangat menggemaskan.
Benar juga, jadi Sei-chan ingin pergi ke bagian manga shoujo tapi ragu untuk mengatakannya?
“Ba-bagaimana? Kau suka? Mungkin kau ingin melihat-lihat bagian manga shoujo juga?”
Kalau diperhatikan baik-baik… tidak, bahkan tanpa memperhatikan baik-baik pun, Sei-chan terlihat gelisah, seolah-olah mengatakan “Kalau kau mau pergi, aku akan menemanimu.”
Kalau begitu, hanya ada satu hal yang harus kulakukan.
“Iya. Kalau begitu, boleh minta ditemani sebentar?”
“Be-begitu, ya! Kalau begitu apa boleh buat!”
Sei-chan mulai berjalan ke arah bagian manga shoujo dengan bersemangat, seperti ikan yang mendapat air.
Apakah dia pikir aku tidak menyadarinya?
Yah, aku tidak bermaksud menunjukkannya, sih… tapi dia terlalu menggemaskan.
Sei-chan berjalan sedikit lebih cepat dari sebelumnya menuju bagian manga shoujo, dan mulai memandangi rak buku. Entah hanya perasaanku atau bukan, tapi matanya tampak lebih berbinar dari sebelumnya.
“Ja-jadi, manga shoujo seperti apa yang Hisamura suka?”
“Um…”
Ditanya begitu, aku juga sama seperti Sei-chan, hampir tidak pernah membaca manga shoujo.
Bagaimana ini… Ah, sepertinya dulu ada manga shoujo terkenal yang diadaptasi menjadi anime, dan aku ingat pernah sedikit menontonnya.
“Ada unsur fantasinya, kalau tidak salah tentang cinta yang dimulai dari pembatalan pertunangan.”
“Ah, belakangan ini memang banyak cerita seperti itu! Tapi menurutku manga shoujo klasik juga bagus. Bagaimana dengan yang seperti ini?”
Sei-chan mengambil manga yang ditumpuk di meja dan menunjukkannya padaku.
“Manga ini juga dimulai dengan putus cinta, lalu berlanjut menjadi komedi romantis dengan teman masa kecil. Meskipun belum ada pengumuman resmi, kabarnya sedang dalam tahap persiapan untuk diadaptasi menjadi anime. Ini karya yang cukup populer.”
“Oh begitu. Sei-chan sudah pernah membacanya?”
“A-aku belum pernah membacanya. Soalnya, aku tidak terlalu tertarik dengan manga shoujo.”
Sei-chan berkata begitu, tapi kalau tidak tertarik, mana mungkin bisa menjelaskan isi manga shoujo yang belum pernah dibaca dengan begitu lancar. Sepertinya dia sebenarnya tertarik tapi belum membacanya.
“Kalau begitu, mungkin aku akan membelinya.”
Sepertinya baru terbit 5 volume, jadi masih terjangkau.
“Be-begitu, ya. Ya, kurasa itu bagus.”
Sei-chan tampak sangat tertarik, tapi sepertinya tetap tidak akan membelinya. Yah, kalau dia bisa membelinya di depanku, mungkin dia tidak perlu diam-diam pergi membelinya seperti di manga bonus cerita asli.
Baiklah, kalau begitu…
“Sei-chan, mau saling meminjam?”
“Saling meminjam?”
“Ya, karena aku juga meminjam manga dari Sei-chan, sebagai balasannya, aku akan meminjamkan manga shoujo ini.”
“Oh! Bo-bolehkah?”
“Tentu saja. Sei-chan mau manga shoujo? Aku bisa meminjamkan manga lain juga kalau mau.”
“Ti-tidak, manga shoujo saja sudah cukup! Aku juga… yah, meskipun tidak terlalu tertarik, tapi tidak baik menilai sesuatu tanpa mencobanya dulu, ‘kan?”
“Oh, begitu. Syukurlah kalau begitu.”
Dengan ini, Sei-chan bisa membaca manga shoujo yang dia minati, dan aku bisa meminjamkan manga sebagai balasannya. Ini benar-benar situasi yang menguntungkan kedua belah pihak.
Jadi, aku dan Sei-chan membuat janji untuk saling meminjamkan manga.
Sepertinya kami bisa menjadi lebih akrab, dan Sei-chan juga terlihat senang bisa membaca manga shoujo. Untunglah kami mampir ke toko buku.
◇ ◇ ◇
Saat membawa “Tengobu” ke kasir, Sei tiba-tiba tersadar.
(Mungkinkah… Hisamura menyadari bahwa aku ingin membaca manga shoujo?)
Sampai beberapa saat yang lalu, dia merasa senang karena “akhirnya bisa membaca manga shoujo yang selama ini diinginkan”, tapi setelah berpisah sejenak dengan Hisamura dan tiba di kasir, dia mulai berpikir jernih.
Saat melihat-lihat manga bersama Hisamura, Sei tanpa sadar berhenti di depan bagian manga shoujo. Setiap kali Sei datang ke toko buku ini, dia selalu merasa berdebar-debar saat mendekati bagian manga shoujo.
Haruskah dia masuk ke bagian itu dan melihat-lihat manga shoujo, atau tidak? Setiap kali dia ragu-ragu, pada akhirnya dia selalu memutuskan untuk tidak melakukannya karena merasa “tidak cocok untuk dirinya”.
Karena itu, hari ini pun dia tanpa sadar berhenti di depan bagian manga shoujo seperti biasa. Namun, karena Hisamura mengatakan ingin membaca manga shoujo, mereka masuk bersama… dan akhirnya Hisamura membeli manga shoujo yang paling Sei minati saat ini, bahkan menawarkan untuk meminjamkannya.
Baru sekarang Sei menyadarinya.
(Mungkinkah… dia membeli manga shoujo itu untukku?)
Mengingat kembali tingkah laku Hisamura tadi, meskipun dia mengatakan ingin melihat manga shoujo, sepertinya dia tidak terlalu antusias dibandingkan saat melihat manga shounen.
Saat melihat manga shounen, dia menunjukkan ketertarikan pada berbagai manga, bahkan terlihat seperti tidak mengetahui manga petualangan yang sangat populer, dengan mengatakan, “Oh, ada seri seperti ini juga, ya”.
Tapi di bagian manga shoujo, selain manga yang Sei rekomendasikan, dia tidak terlihat terlalu tertarik.
(Jadi… memang benar begitu, ya…?)
Setelah membayar di kasir dan berjalan menuju pintu keluar toko buku, Hisamura sudah menunggu.
“Ah, selamat datang kembali (okaeri), Sei-chan.”
“Eh!? A-aku pulang (tadaima)…?”
“Fufu, kau terkejut sekali, ya?”
“Ka-kau yang mengatakan hal aneh!”
“Ini seperti yang biasa dikatakan pada teman yang kembali ke kelas setelah dari toilet.”
Sei ikut tertawa melihat Hisamura yang tertawa sambil mengatakan itu.
(Mungkin Hisamura memang menyadarinya. Bahwa aku ingin membaca manga shoujo.)
Dia pasti berpura-pura tidak menyadarinya demi menjaga perasaanku.
(Dasar tidak pandai berakting… tapi dia memang baik hati, ya, si Hisamura ini.)
Berpikir begitu dalam hati, tanpa sadar sudut bibirnya terangkat.
“Kita sudah membeli volume baru, jadi ayo pulang. Sepertinya matahari sudah mulai terbenam.”
“Ya, tidak baik membiarkan gadis seimut Sei-chan berjalan terlalu malam.”
“Imu…!?”
Seperti terkena serangan mendadak, wajah Sei sedikit memerah.
Sebelum pernyataan cinta itu, Hisamura tidak pernah sekalipun mengatakan Sei “imut” atau semacamnya.
Namun hari ini, selama berbicara di kafe dan saat berjalan dari kafe ke toko buku, beberapa kali kata-kata seperti itu keluar dari mulut Hisamura. Setiap kali itu terjadi, Sei yang tidak terbiasa dipuji oleh lawan jenis merasa malu.
(Tapi anak ini terus mengatakannya berulang kali… mungkinkah dia sudah terbiasa mengatakan hal seperti itu pada perempuan?)
Begitu pemikiran itu muncul, hatinya mulai merasa tidak nyaman. Meskipun sulit dipercaya Hisamura mengatakan hal seperti itu pada banyak perempuan, sekali mulai berpikir begitu, sulit untuk berhenti.
“Hm? Ada apa, Sei-chan?”
Sepertinya dia terdiam sejenak di tengah pembicaraan, sehingga Hisamura bertanya.
“Tidak, itu… ka-kau… ah, bukan apa-apa!”
“Apa? Apa? Aku jadi penasaran.”
Apakah dia juga mengatakan ‘imut’ pada perempuan lain?
(Mana mungkin aku bisa bertanya seperti itu…! Tapi…!)
Meskipun ragu untuk bertanya, dia merasa tidak akan bisa menghilangkan perasaan tidak nyaman ini jika tidak bertanya. Jadi, dengan memberanikan diri, dia bertanya.
“Ka-kau… sering mengatakan aku imut dan sebagainya, tapi…”
“Yah, memang begitu, karena kau memang imut. Ah, tentu saja bukan hanya imut, tapi aku juga menganggapmu cantik.”
“Ja-jangan-jangan kau juga mengatakannya pada perempuan lain? Kau terdengar sangat terbiasa mengatakannya.”
“Eh?”
Sepertinya Hisamura tidak menyangka akan ditanya seperti itu, dia terkejut dengan mata terbelalak. Namun, dia segera menjawab.
“Aku tidak pernah mengatakannya pada orang lain, sungguh. Aku hanya mengatakannya pada Sei-chan… Ah, maaf, aku salah, ada satu orang yang pernah kukatakan.”
“Tuh, ‘kan… ternyata memang ada.”
Kegembiraan yang muncul saat mendengar “hanya pada Sei-chan” langsung sirna begitu dibantah.
Ternyata Hisamura memang tipe orang yang mengatakan hal seperti itu pada perempuan lain.
(Tidak, bukankah tidak apa-apa jika dia bisa memuji perempuan lain? Meskipun bukan hanya aku…)
“Aku juga mengatakannya pada adik perempuanku. Tadi pagi misalnya.”
“Hah? Kau punya adik perempuan?”
“Hm? Ah, benar juga. Kau belum tahu, ya?”
“Mana mungkin aku tahu kalau kau tidak pernah memberitahuku.”
“Kau benar. Aku punya adik perempuan bernama Rie, dan aku memang mengatakan dia imut. Tapi selain itu, aku tidak mengatakannya pada siapa pun lagi.”
“Be-begitu, ya…”
Sei berpikir bahwa tidak apa-apa jika itu adik perempuan… tapi justru muncul kekhawatiran lain.
“Hisamura, apa kau siscon?”
“Kenapa kau berpikir begitu? Tidak, aku bukan siscon.”
“Kalau begitu, apa yang akan kau lakukan jika adikmu membawa pacar ke rumah?”
“Hmm, bagaimana, ya. Rie punya pacar… Sepertinya tidak mungkin karena dia adalah heroine pendukung…”
“Kalau kau sampai memikirkannya sejauh itu, bukankah itu artinya kau siscon?”
“Tidak, aku hanya khawatir apakah adikku akan punya pacar atau tidak. Kalau dia menyukai pacarnya, kurasa tidak masalah.”
“Begitu, ya. Kalau begitu mungkin kau memang bukan siscon.”
“Lalu bagaimana denganmu? Kau bilang punya seorang kakak laki-laki, ‘kan? Apa kau brocon?”
“Tidak, aku tidak begitu. Tapi mungkin kakakku sedikit siscon. Mungkin karena perbedaan umur kami, dia sangat menyayangiku saat SD dan SMP.”
“Be-begitu, ya. Jadi kalau Sei-chan punya pacar dan memperkenalkannya pada kakakmu…”
“Mungkin dia akan menentangnya.”
“Serius? Sepertinya akan merepotkan.”
Hisamura berkata demikian dengan wajah sedikit tegang.
Melihat itu, Sei khawatir Hisamura mungkin kehilangan minat untuk berpacaran dengannya karena merasa kakaknya merepotkan.
“Ti-tidak, tentu saja jika aku benar-benar menyukai dan berpacaran dengan seseorang, kurasa kakakku akan menerimanya.”
“Hm? Begitu, ya. Eh, tunggu, tadi kita bicara dengan asumsi kau memperkenalkanku sebagai pacarmu?”
“Eh!? Ti-tidak, bukan begitu! Ki-kita belum membicarakan hal seperti itu!”
“Be-begitu, ya, aku mengerti.”
Suasana di antara mereka kembali canggung karena perkataan Sei.
(Kuh, aku mengatakan hal yang tidak perlu… Tapi, ternyata Hisamura juga punya saudara, ya. Adik perempuan… Seperti apa, ya, orangnya?)
Tadi Sei memikirkan tentang Hisamura bertemu kakaknya, tapi tentu saja sebaliknya juga bisa terjadi.
Suatu saat nanti, jika Hisamura memperkenalkan adiknya, Sei harus memikirkan salam perkenalan yang baik. Jika mereka berpacaran, dia juga harus akrab dengan keluarganya…
(Tunggu, bukan begitu! Kenapa aku berpikir seolah-olah kita akan berpacaran…!)
Wajahnya kembali memerah, dan dia menggelengkan kepala seolah mengusir khayalannya.
“A-ada apa, Sei-chan?”
“Ti-tidak ada apa-apa.”
Saat mereka terus berjalan, mereka tiba di persimpangan jalan.
“Kalau begitu Sei-chan, kalau ada hal baru tentang kencan hari Minggu, aku akan menghubungimu lewat RINE.”
“Ah, benar juga. Ngomong-ngomong tentang RINE, kenapa kemarin kau tidak membalas pesanku?”
“Eh? Ah, maaf, aku ketiduran setelah melihat RINE dari Sei-chan.”
“Be-begitu, ya, kalau begitu tidak apa-apa…”
Sei merasa lega setelah mendengar penjelasan tentang hal yang membuatnya khawatir semalam.
“Aku benar-benar minta maaf, lain kali aku akan lebih hati-hati, atau lebih tepatnya, aku pasti akan membalas.”
“Tidak apa-apa. Tapi ternyata benar seperti yang Shiho katakan, kau ketiduran, ya.”
“Aku minta maaf… Eh? Seperti yang Fujise katakan? Apa maksudnya? Apa dia tahu kalau kita berkirim pesan RINE?”
“Ah…”
Di situ mereka berhenti sejenak, dan Sei memberitahu Hisamura bahwa Shiho mendengar saat Hisamura menyatakan perasaannya pada Sei di akhir hari sekolah.
“Serius? Eh, jadi itulah alasannya aku merasa Fujise seperti memperhatikanku hari ini.”
“Ma-maafkan aku. Sepertinya Shiho hanya mendengar bagian akhirnya, tapi karena salah paham, aku malah menceritakan hampir semuanya.”
“Me-memalukan…!”
“Te-tentu saja, baik aku maupun Shiho tidak berniat menceritakannya pada orang lain, jadi kau tidak perlu khawatir.”
“A-aku tahu itu, tapi tetap saja…!”
(Lagipula, aku sudah tidak mungkin menceritakan hal yang memalukan seperti itu pada orang lain…!)
Akhirnya, mereka berdua pulang ke rumah masing-masing dengan perasaan malu.