Bab 6
Seorang teman baru telah bergabung dalam kehidupan Eugram.
Nana, seorang gadis mantan assassin.
Gadis yang ditakdirkan kesepian seumur hidup ini dipungut oleh anggota Guild Assassin dan dibesarkan sebagai seorang assassin. Sungguh nasib yang malang.
Akulah yang menyelamatkan anak seperti itu dengan menghancurkan Guild Assassin yang jahat.
Meski awalnya kulakukan untuk melindungi Iris, pada akhirnya aku malah menolong orang lain selain Iris.
Jika hanya melihat hasilnya, ini luar biasa. Iris juga menerima Nana, dan mulai besok kehidupan biasa akan kembali berjalan.
—Setidaknya, itulah yang kupikirkan.
▼△▼
Cip cip.
Kicauan burung kecil dari luar jendela membangunkanku. Begitu kubuka kelopak mata, yang pertama kulihat bukanlah langit-langit kamar—melainkan sosok Nana yang melayang di udara.
“…Apa yang sedang dia lakukan?”
Aku mengerjapkan mata beberapa kali, dan pemandangan di depanku menjadi semakin jelas.
Hasilnya, aku bisa melihat Nana—yang entah sejak kapan menyusup ke kamar orang lain—sedang berbaring santai di atas penghalangmana yang kubuat.
Penghalang mana-ku memiliki efek untuk menghalangi semua benda kecuali yang sudah kuberi izin sebelumnya.
Karena itulah benda-benda seperti gagang pintu atau tempat tidur bisa menembusnya… tapi aku belum memberi izin pada Nana. Makanya dia sedikit melayang di udara, terhalang oleh penghalang mana. Seharusnya dia berbaring di dadaku.
“N… ng?”
Nana terbangun. Mungkin dia menyadari tanda-tanda aku sudah bangun. Yah, bagaimanapun juga dia mantan assassin. Dia cukup peka soal hal-hal seperti ini.
“Selamat pagi, Nana. Apa yang kau lakukan di kamar orang lain?”
“…Selamat pagi, Papa. Aku kesepian, jadi tanpa sadar…”
“Kunci kamarnya?”
“Aku ahli membuka kunci.”
“Itu enggak boleh.”
“Karena ini kamar Papa, jadi tidak apa-apa.”
“Papa harus menasihatimu.”
“Ngantuk…”
Nana mencoba kabur dari nasihatku. Tapi aku takkan membiarkannya.
Kunonaktifkan penghalang mana dan kugendong Nana.
“Papa?”
“Yaaah!”
Aku turun dari tempat tidur, membuka pintu kamar, lalu melempar Nana ke lorong.
Dia berguling-guling sampai ke depan kamar sebelah.
“Jahat. Ini namanya kekerasan.”
“Jangan ngomong yang bikin salah paham, dong. Membuka kunci orang lain itu kejahatan, tahu.”
“Masa masuk ke kamar keluarga sendiri disebut kejahatan?”
“Kata ‘menyusup’ saja udah terdengar kriminal, ‘kan?”
Pokoknya, kamu tidak boleh seenaknya membuka kunci kamar di istana kerajaan.
Sepertinya kebiasaannya sebagai assassin masih tersisa. Yah, baru sehari berlalu, sih, jadi wajar saja.
“Intinya, mulai sekarang dilarang membuka kunci sembarangan.”
“Terus gimana caranya aku bisa tidur bareng Papa?”
“Coba minta dengan manis, ‘Boleh tidur bareng?'”
“Boleh tidur bareng?”
Nana memiringkan kepalanya dengan imut.
Sialan… dia paham betul caranya bersikap imut. Aku lemah terhadap keimutan. Seharusnya aku menolak, tapi mengingat latar belakang Nana, aku jadi sulit menolaknya.
Setelah bahuku bergetar sedikit,
“…Enggak boleh tiap hari, lo,” jawabku lemah.
“Oke! Mengerti.”
Setelah berhasil mendapat izin dariku, Nana kembali ke kamarnya sendiri—atau setidaknya itulah yang seharusnya terjadi. Tapi dia malah berdiri dan masuk ke kamarku.
“Hei hei hei, tunggu tunggu tunggu. Dengarkan omongan orang, dong.”
“? Ada apa?”
“Jangan pasang muka bingung gitu. Sebentar lagi aku akan diseret untuk latihan pagi, jadi percuma kamu di sini.”
“Latihan pagi?”
“Iya. Sebentar lagi Iris akan datang ke kamar ini. Begitu dia datang, aku akan diseret dan dipaksa menemaninya latihan pagi.”
Drap drap drap!
“Yu-san! Ayo mulai latihan pagi!”
“Tuh, ‘kan?”
Baru saja kukatakan, Iris sudah muncul berlari kencang.
Dia mengenakan pakaian sehari-hari, dengan dua pedang kayu di tangannya. Kelihatannya sangat bersemangat.
“Aku juga ikut. Latihan pagi itu.”
“Eh? Nana juga?”
Iris yang sudah memegang lenganku, menyeretku keluar ke lorong. Nana mengikuti di belakang.
“Iya. Bosan juga kalau sendirian, lagipula aku, ‘kan, pengawal Iris-sama, jadi yah…”
“Oh iya, ada setting seperti itu, ya.”
“Jangan bilang ‘setting’, dong.”
Para petugas istana yang lewat menyapa Iris, dan juga menyapaku.
Karena sekarang aku tidak memakai topeng, reaksi mereka jadi lebih ramah. Terima kasih banyak, wahai Artefak penyamaran.
Selain itu, pemandangan aku diseret oleh Iris sudah diterima oleh para petugas istana. Tak ada seorang pun yang merasa aneh.
“Nana adalah pengawal Iris yang berbakat. Dia kuat dan imut.”
“Imut tidak ada hubungannya, ‘kan?”
“Ada, dong. Nana yang kuat dan imut itu kombinasi terhebat.”
“Aku, terhebat? Bagaimana dengan Iris-sama?”
“Dia, sih, cewek gorila.”
Wuush—PRANG!
Aku dilempar Iris sekuat tenaga. Arah lemparannya ke jendela. Aku menembus kaca dan jatuh ke arah taman dalam. Oh ya, tingginya kira-kira setara lantai tiga gedung.
“Aku tunggu di taman dalaaam!”
Sambil berteriak, karena tak bisa berbuat apa-apa, aku jatuh begitu saja.
Di tanah, terdengar jeritan para pelayan.
Beberapa menit kemudian, Iris dan Nana datang.
“Papa tidak apa-apa?”
Nana langsung berlari mendekatiku. Aku mengangkat satu tangan dan menjawab,
“Santai, santai. Aku punya penghalang mana, jadi tidak masalah.”
Aku sempat mengaktifkan penghalang mana saat jatuh. Semua benturan diserap oleh penghalang, jadi aku bisa mendarat tanpa luka.
Yah, sebenarnya bukan mendarat, sih, tapi jatuh dengan keras…
“Kamu, sih, pasti baik-baik saja meski jatuh tanpa pelindung apa pun.”
“Itu kata-kata yang pantas diucapkan oleh orang yang baru saja melempar orang lain?”
“Sudah jadi aturan kalau pria yang menyebut seorang wanita sebagai gorila harus terjun atau dipenggal.”
“Mana ada aturan begitu. Eh, jadi di dunia ini juga ada gorila, ya?”
Fakta bahwa dia marah disebut gorila berarti gorila yang kukenal juga ada di dunia ini. Setidaknya di kekaisaran tidak ada… aku jadi penasaran ingin melihatnya.
“Daripada itu, tolong ambil pedang kayu ini. Kita akan segera mulai.”
Iris melemparkan salah satu pedang kayu ke arahku. Pedang itu berhenti di udara saat menabrak penghalang mana, lalu kuizinkan dan kutangkap.
“Hmm… hari ini aku ingin sedikit mengubah cara latihannya.”
“? Maksudnya apa?”
“Awalnya aku akan melawan Iris. Tapi, tolong siapkan satu pedang kayu lagi. —Nana, kamu juga ikut.”
“Melawan siapa?”
“Lawannya aku. Nana akan berpasangan dengan Iris untuk melawanku.”
“…Melawan Papa?”
Aku mengangguk, dan Nana tampak sedikit terkejut.
Nana berdiri di samping Iris. Keduanya memegang pedang kayu.
Melihat itu, aku berkata,
“Kalian berdua sudah siap? Kalian bisa mulai kapan saja.”
Meski agak canggung, mereka berdua mulai bergerak dengan Iris sebagai pemimpin.
Pertama, Iris maju ke arahku. Dia mengayunkan serangan tajam dari atas.
Saat ini aku sudah menonaktifkan penghalang mana. Kalau kena, mungkin saja ada kemungkinan sekecil apa pun aku bisa terluka.
Karena itu, aku mundur selangkah.
Hanya dengan itu, pedang Iris jatuh tepat di depan mataku.
“Ck!”
Ekspresi Iris sedikit berubah saat melihat aku bisa menghindari serangannya dengan membaca jangkauannya dengan sempurna.
Biasanya, Iris akan melancarkan serangan beruntun dari sini. Namun, kali ini berbeda.
Melewati sisi Iris, Nana melompat keluar dengan pedang kayu di tangan.
Posisi pedangnya horizontal. Dia menghapus jarak di antara kami dan mengayunkan pedangnya.
Kali ini aku harus menangkisnya. Aku menggunakan pedang kayuku sebagai perisai untuk menahan serangan.
Terdengar suara ‘Tak!’ yang kering.
Giliran mereka belum berakhir.
Segera, Iris kembali mengayunkan pedang kayunya. Jika dia maju selangkah lagi, jaraknya akan cukup. Dia mengayunkan pedangnya dalam tebasan diagonal dari sisi yang berlawanan dengan Nana agar tidak mengganggunya.
Karena Nana sedang menyerangku, serangan Iris itu—mudah dibaca. Aku bisa dengan mudah memprediksi dari mana serangannya akan datang.
Saat Iris mengayunkan pedangnya, aku sudah menangkis pedang Nana. Kemudian, aku menangkis pedang Iris dari bawah seperti sedang menyendok.
“Ah!?”
“Yah, wajar, sih kalau kerja sama kalian masih lemah karena baru pertama kali berpasangan.”
Dengan ini, Iris tidak bisa melancarkan serangan beruntun.
Nana yang sudah memperbaiki posisi pedangnya kembali menyerang, tapi saat itu aku sudah melangkah maju.
“Gawat!?”
Aku menangkap tangan Nana yang memegang pedang. Dengan begini dia tidak bisa mengayunkan pedangnya.
Iris yang sudah memulihkan posturnya mengayunkan pedang untuk membantu Nana—tapi sebelum itu, aku melempar Nana ke depan Iris.
Dengan adanya rekan di depannya, Iris tidak bisa bergerak.
Untuk sesaat, gerakan mereka terhenti dan reaksi mereka melambat.
Aku memanfaatkan celah itu untuk mendekat ke arah mereka berdua. Kuayunkan pedang kayu dengan kuat.
Tentu saja, Iris melindungi Nana dan menangkis seranganku.
Benturan yang kuat terjadi.
“Kyaaa!?”
Iris terpental ke belakang bersama Nana.
Melihat mereka berdua berguling di tanah, aku mengumumkan akhir pertandingan.
“Yak, dengan ini aku menang~”
Setelah itu, aku bertarung beberapa kali lagi dengan Iris dan Nana, tapi pada akhirnya mereka tidak pernah menang sekali pun.
Mereka tidak bisa mendaratkan satu pukulan pun padaku.
Namun, kerja sama mereka meningkat. Berkat Nana yang sangat baik dalam mendukung Iris, mereka tidak lagi terjebak dalam teknik bertarungku yang licik.
Alhasil, setiap pertarungan jadi semakin lama dan melelahkan.
Iris dan Nana tergeletak di tanah, tampak sangat kelelahan.
“Hah… hah… hah… a-aku tidak bisa menang…”
“Menyebalkan… hah…”
“Hahaha. Kalian masih terlalu cepat seratus tahun untuk mengalahkan last boss! Bakatku berbeda, tahu!”
Meski berkata begitu, sebenarnya aku agak khawatir.
Kecepatan pertumbuhan Iris luar biasa. Kalau bertarung menggunakan mana, aku pasti menang meski bertarung seratus miliar kali, tapi dalam hal teknik pedang, sepertinya dia akan segera menyusulku.
Memang pantas disebut tokoh utama. Bukan lawan yang bisa diremehkan.
“Tapi kalian berdua hebat, lo. Di akhir tadi tinggal selangkah lagi, ‘kan? Aku juga jadi deg-degan.”
“Be-benarkah?”
Iris langsung bangkit kembali. Dia duduk tegak dengan mata berbinar-binar.
“Iya. Mungkin nanti Iris bisa bertarung seimbang denganku satu lawan satu.”
“Yay! Terima kasih banyak!”
“Bukan berkat aku, lo, itu, ‘kan, bakatmu sendiri, Iris?”
“Ini karena Yu-san mau membantu seperti ini. Memang benar, ya, bertarung melawan lawan yang kuat bisa membuat kita berkembang.”
“Yah, aku tidak menyangkal itu.”
“Hmm… aku payah, ya?”
Nana yang mendengarkan percakapan kami juga bangkit. Dia tampak agak tidak puas.
“Enggak payah, kok. Untuk anak seusiamu, Nana sangat kuat, lo. Kalau terus berkembang, kamu bisa jadi assassin terkuat.”
“Aku bukan assassin lagi, lo?”
“Maksudku gaya bertarungmu.”
“Gaya bertarung?”
“Iya, gaya bertarung. Nana cocok dengan gaya bertarung yang mengandalkan kecepatan dan serangan bertubi-tubi.”
Mungkin karena dilatih sebagai assassin, itu yang paling cocok untuknya.
Di sisi lain, Iris jauh melampaui orang biasa dalam hal jumlah mana yang bisa dikeluarkan dan kemampuan mengendalikannya. Baik kecepatan maupun kekuatannya di luar nalar.
“Bertarung… dengan mengandalkan kecepatan…”
“Hm? Wajahmu seperti ingin mencoba sesuatu. Boleh saja. Masih ada sedikit waktu sebelum latihan pagi berakhir. Aku akan jadi lawanmu.”
Aku mengarahkan pedang kayu ke Nana.
Nana menatapku, lalu diam-diam mengambil kuda-kuda dengan pedang kayunya. Iris juga berdiri dan maju ke depan.
“Jangan lupakan aku juga, ya.”
“Tentu saja tidak. Semoga kali ini serangan kalian bisa mengenaiku, ya.”
Begitu aku berkata sambil tersenyum, mereka berdua langsung menendang tanah bersamaan.
▼△▼
Setelah menyelesaikan latihan pagi dan bergerak cukup banyak, mereka berdua pergi untuk membersihkan keringat dan berganti pakaian terlebih dahulu.
Katanya, hari ini Iris akan pergi ke akademi setelah sekian lama.
Aku belum pernah pergi ke akademi. Aku akan ikut sebagai pengawal Iris, dan aku cukup bersemangat.
“Akademi, ya… Seperti apa, ya, rasanya di dunia nyata?”
Dalam bayanganku, itu adalah tempat di mana anak muda mengalami masa muda mereka.
Sayangnya, di kehidupan sebelumnya aku tidak punya pengalaman masa muda yang berarti, jadi aku senang bisa sedikit merasakan suasananya di dunia lain ini. Berinteraksi dengan anak muda membuatku merasa muda lagi.
…Tunggu, Eugram baru berusia lima belas tahun. Masih anak-anak yang segar bugar. Aku terbawa oleh usia mentalku.
“Akademi Kerajaan Justina adalah lembaga pendidikan biasa. Tidak lebih dan tidak kurang.”
Mendengar suara dari belakang, aku berbalik dan melihat sosok Iris dan Nana.
Rambut mereka yang sedikit basah terlihat agak menggoda.
Terlebih lagi, Iris mengenakan seragam khusus akademi.
Pakaian itu berwarna dasar putih dan biru, terlihat mudah digerakkan, seolah dirancang khusus untuknya. Bagian atasnya hanya kemeja, sehingga dadanya sangat menonjol. Kalung biru yang kuberikan padanya berkilau di atas dadanya.
Bagian bawahnya adalah rok. Paha putih mulusnya terlihat jelas.
Sempurna. Luar biasa. Dalam hati, seluruh diriku di seluruh dunia memberikan tepuk tangan dan sorakan meriah.
“Iris. Kau sudah selesai?”
“Kami hanya membersihkan keringat saja. Lagipula, kami tidak ingin membuat Yu-san menunggu terlalu lama dan merepotkan.”
“Enggak apa-apa, kok. Aku bisa sabar menunggu selama itu.”
“Soalnya aku khawatir Yu-san akan pergi ke akademi sendirian karena tidak sabar…”
“Kok alasannya berubah?”
Apa itu? Apakah dia takut kalau aku lepas dari pengawasannya?
Aku bukan anak kecil, tidak akan bertindak seenaknya sendiri, kok. …Mungkin.
“Omong-omong, Yu-san juga harus siap-siap. Setelah sarapan, kita langsung berangkat ke akademi, lo.”
“Aku sudah siap, kok. Bullying sekejam apa pun tidak akan membuatku menyerah!”
“Bukan persiapan seperti itu yang kumaksud. Ayo cepat ke ruang makan. Kamu lapar, ‘kan?”
“Yah, memang, sih.”
Aku mengikuti Iris yang mulai berjalan. Aku dan Nana sama-sama kelaparan.
Setelah sarapan bertiga, aku dan Iris berangkat ke akademi.
Nana ditinggal di rumah. Dia terlihat seperti anak kecil, jadi bisa jadi menarik perhatian di akademi.
Lagipula, tugasnya adalah pengawal rahasia. Karena itu, aku tidak ingin membawanya ke tempat umum.
Jadi, hanya aku dan Iris yang naik kereta kuda. Rasanya seperti eksekutif yang berangkat kerja, membuatku bersemangat.
“Wah! Itu dia Akademi Justina tempat Iris sekolah. Di sana ada pohon sakura yang didatangkan dari timur, ‘kan? Konon katanya kalau menyatakan cinta di sana, kalian enggak akan pernah berpisah—cerita yang klise, sih.”
“Kok, kamu tahu banyak? Ini, ‘kan, pertama kalinya kamu ke akademi.”
“Ada di situs resminya.”
“Situs resmi?”
Iris memiringkan kepalanya bingung.
Tidak perlu paham. Ini hal yang tidak akan bisa dipahami orang lain selain aku seumur hidup mereka. Setidaknya, selama aku tidak cerita soal reinkarnasiku.
“Bukan apa-apa. Pokoknya aku senang.”
Aku penasaran, apa suatu hari nanti akan tiba saatnya aku menceritakan rahasiaku pada Iris?
Saat ini, rasanya hal itu tidak akan pernah terjadi.
▼△▼
Kami tiba di halaman akademi.
Begitu turun dari kereta dan membuka pintu, sebuah bangunan raksasa menyambut pandangan kami.
“Dilihat dari dekat ternyata lumayan besar juga, ya.”
Tingginya sekitar empat lantai kalau dibandingkan dengan kehidupan sebelumnya. Mungkin setinggi istana kerajaan?
“Ini, ‘kan, akademi tempat anak-anak bangsawan dan rakyat biasa yang kaya di ibukota belajar. Tentu saja biayanya tidak sedikit.”
“Hmm… berarti luasnya juga luar biasa, dong?”
“Iya. Ada banyak hal yang tidak bisa dilihat dalam sehari—”
“Kalau gitu, waktunya menjelajah! Ayo kita cari harta karun!”
“Eh!? Tunggu dulu! Yu-san!”
Mengabaikan Iris, aku langsung lari kencang. Iris mengejarku dari belakang, tapi aku tetap berlari menuju gedung sekolah.
Di sini pasti ada petualangan yang kucari. Mungkin saja ada penemuan menarik.
Lima menit kemudian.
Sekitar lima menit setelah masuk ke gedung sekolah, aku ditangkap oleh petugas keamanan. Seluruh tubuhku dililit rantai tebal.
Seperti penjahat saja.
Tapi, aku tidak bisa menyalahkan petugas keamanan.
Kenapa? Karena yang melilitku dengan rantai bukan petugas keamanan, melainkan Iris yang berdiri di belakangku. Hanya untuk dia aku mau menonaktifkan penghalang mana-ku.
Begitu melihatku ditangkap petugas keamanan, dia langsung berkata “Tolong nonaktifkan penghalang mana-nya” dan melilitku dengan rantai.
“Kenapa kamu bawa-bawa rantai segala…”
Ketika kutanya begitu,
“Supaya kamu tidak berbuat onar lagi. Lebih dari ini.”
Dia menjawab dengan singkat. Karena memang aku yang bikin masalah, aku tidak bisa protes.
“Umm… apakah orang ini kenalan Putri Iris?”
“Iya. Maaf sudah merepotkan petugas keamanan. Ayo, minta maaf, Yu-san.”
“Maafkan saya.”
Aku membungkuk dan meminta maaf dengan benar.
Begitu masuk gedung sekolah, aku langsung dikejar, sih. Sebenarnya aku ingin mereka yang minta maaf. Tapi kalau kukatakan itu, Iris pasti marah. Jadi aku diam saja.
“Ba-baiklah. Saya mengerti. Kami serahkan masalah ini pada Putri Iris. Tolong pastikan dia tidak mengacaukan tempat belajar yang suci ini.”
“Terima kasih banyak.”
Para petugas keamanan kembali berpatroli di gedung sekolah.
Aku memandangi punggung mereka sampai menghilang, lalu berkata,
“Fiuh… aku diperlakukan dengan kejam. Mereka langsung menganggapku penjahat… Sungguh tidak sopan!”
Aku pura-pura marah sambil menggerutu.
Sesaat kemudian, sebuah tinju menghantam dari belakang. Aku mengalirkan mana untuk bertahan.
“Kenapa kamu malah mempertahankan diri?”
Iris, si pelaku pemukulan, bertanya.
“Soalnya sakit kalau dipukul.”
“Kalau kamu tidak merasakan sakitnya, percuma, dong, aku menyuruhmu menonaktifkan penghalang mana.”
“Itu agak… aku bukan masokis, lo.”
“Aku tidak ngerti. Dasar…”
Iris menghela napas sambil menggenggam rantai dan mulai berjalan. Tentu saja, aku yang terlilit rantai terseret olehnya.
“Hei, Iris.”
“Apa?”
“Ini bukan termasuk kekerasan? Opini publik bisa kejam, lo.”
“Aku tidak ngerti maksudmu. Ini cuma mendisiplinkan.”
“Jadi begini, ya, pola pikir orang dewasa yang melakukan kekerasan…”
“Kita seumuran. Mau kupukul?”
“Maaf.”
Sret… sret… sret…
Aku diam saja dan membiarkan diriku diseret tanpa mengatakan hal-hal yang tidak perlu.
Cara mengikat rantainya asal-asalan dan menggores kulitku, tapi rasa sakitnya masih bisa kutahan. Malah, aku lebih khawatir bajuku kotor karena diseret.
Tapi tiba-tiba, pandanganku terarah ke atas.
Ini… serius?
Aku menyadari sesuatu.
Sebenarnya ingin kusimpan dalam hati, tapi sebagai orang baik, aku merasa harus memberitahunya.
“Hei, Iris.”
“Kalau kamu terus bicara yang tidak-tidak, aku akan melemparmu keluar jendela lagi.”
“Seram amat. …Tapi, kalau aku tidak memberitahumu, kamu juga bakal marah, ‘kan?”
“Ada apa? Lapar?”
“Bukan, Iris. Kamu pakai seragam, ‘kan, sekarang?”
“Iya.”
“Seragamnya pakai rok, ‘kan?”
“Iya, terus?”
“Dari posisiku ini… aku bisa lihat ke dalam rokmu, lo.”
“—Hah!?”
Tap.
Langkah Iris terhenti. Dia perlahan memutar kepalanya dan melihat ke bawah.
Matanya bertemu dengan mata si mesum yang mengintip ke dalam roknya dari bawah.
“Hai. Aku Yu.”
“Mati sana!”
Duak!
Wajahku diinjak sekuat tenaga.
Dia menyuruhku mati! Ditambah lagi, serangannya berani sekali! Karena celana dalamnya sudah terlihat, dia menyerang sambil memperlihatkannya. Iris memang jenius.
Sayangnya, sepatunya tepat mengenai kedua mataku, jadi pandanganku terhalang. Aku jadi tidak bisa menikmatinya.
“Kejam banget, Iris. Sakit tahu.”
“Memang sengaja bikin sakit! Kenapa kamu mengintip!? Dasar mesum!”
“Soalnya ada sempak di sana, sih.”
“Jangan pasang muka sok keren gitu! Aku benaran mau membunuhmu…”
Akhirnya, hentakan kaki Iris yang dipenuhi mana meledak.
Lantai retak dan amblas.
Aku mengalirkan mana untuk bertahan, jadi tidak terluka.
“Iris… bukannya guru bilang tidak boleh merusak lantai sekolah?”
“Aku memang belajar kalau tidak boleh mengintip celana dalam orang lain.”
“Tahu tidak istilah ‘kecelakaan yang tidak disengaja’?”
“Tahu tidak istilah ‘penghinaan terhadap keluarga kerajaan’?”
“Maafkan akuuu!”
Aku langsung membungkuk.
Siapa juga yang berani melawan kalau seorang putri raja menuduh penghinaan terhadap keluarga kerajaan? Sungguh sewenang-wenang.
Sambil menggerutu dalam hati, aku melirik ke arah Iris. Dengan wajah merah padam, dia berkata,
“…Ng, bagaimana menurutmu?”
“Eh? Apanya?”
“Celana dalamku! Apa menurutmu kekanak-kanakan!?”
Dia marah atau penasaran, sih? Tolong pilih salah satu, dong.
Tapi kalau ditanya, aku harus menjawab. Dengan ekspresi serius, aku memberitahu Iris.
“Tenang saja. Aku juga suka celana dalam put—Ugh!”
Aku ditendang lagi. Kali ini lebih kuat, sepertinya dia melepaskan rantainya, karena aku terguling-guling di lantai sampai puluhan meter jauhnya.
“Jangan sebutkan warnanya di tempat seperti ini! Dasar bodoh—!”
Teriakan Iris bergema di seluruh gedung sekolah, dan karena keributan yang kami buat, petugas keamanan datang lagi.
▼△▼
Iris dan aku mendapat teguran halus dari petugas keamanan.
Setelah itu, akhirnya kami tiba di kelas.
Iris membuka pintu dan masuk dengan anggun. Aku mengikuti di belakangnya.
Begitu melihatku, para siswa mulai berbisik-bisik.
“Eh, itu siapa…?”
“Pengawal Iris-sama?”
“Tapi dia pakai topeng aneh.”
“Mungkin Artefak kutukan?”
“Sebenarnya itu siapa, ya…”
Mereka mungkin bermaksud berbisik, tapi aku bisa mendengar semuanya.
Last boss punya indera yang setara dengan statusnya sebagai last boss.
“Kita menarik perhatian, ya.”
“Itu gara-gara topeng itu.”
“Jadi orang populer itu memang susah.”
“Luar biasa, ya, kamu bisa bilang begitu dalam situasi seperti ini.”
“Omong-omong, Iris.”
“Ya?”
Aku lebih tertarik bertanya sesuatu daripada memerhatikan para murid.
“Mungkin ini cuma perasaanku, tapi… apa aku harus berdiri di sini sampai pelajaran selesai?”
Di dalam kelas, ada pelayan lain selain aku.
Ini, ‘kan, akademi di ibukota kerajaan. Tentu saja, teman-teman sekelasnya semua bangsawan. Mungkin hanya ada satu atau dua orang rakyat biasa.
Karena itu, di samping deretan kursi, berdiri para pelayan masing-masing tanpa terkecuali.
“Tentu saja. Tidak ada kursi untuk para pelayan. Kalau untuk semua orang, ruangannya tidak akan cukup.”
“Mustahil, mustahil, mustahil! Berapa lama kau mau membiarkan kami berdiri? Kakiku bisa kaku, padahal aku masih muda!”
“Tahan saja. Menyiapkan kursi khusus untukmu juga tidak adil bagi yang lain.”
“Kalau begitu, selama kau belajar, aku akan menjelajahi gedung sekolah!”
“Mau kubuat kepalamu pecah? Kamu tahu arti kata ‘pengawal’, ‘kan?”
“Tentu saja aku tahu, tapi…”
Ini terlalu membosankan.
Bukan hanya pelajaran untuk anak-anak, tapi tatapan dari bocah-bocah yang masih saja berbisik-bisik juga membuatku kesal.
Berada di tempat seperti ini rasanya bisa mengurangi umurku beberapa tahun. Maksudku, karena stres.
“Berjuanglah. Bukankah kamu dibayar sesuai untuk ini?”
“Huh. Jadi pengawal putri raja ternyata tidak mudah, ya.”
“Tentu saja. Aku, ‘kan, putri raja.”
Setelah berkata begitu, Iris mulai mempersiapkan diri untuk pelajaran.
Saat itu, teman-teman sekelasnya mendekat.
Yang berada di depan adalah seorang gadis berambut cokelat. Matanya yang sedikit terangkat menunjukkan betapa tinggi harga dirinya.
Apa ada karakter seperti ini? Mungkin cuma figuran. Saat aku berpikir begitu, dia membuka mulutnya.
“Selamat pagi, Yang Mulia Iris. Bolehkah saya mengajukan pertanyaan?”
“Rosemary-san. Ya, ada apa?”
Iris menjawab dengan senyum ramah.
Dari luar, dia terlihat baik-baik saja.
“Saya sudah lama penasaran… siapa pria ini?”
“Hm? Maksudmu aku?”
Aku refleks menjawab.
Para siswi yang kelihatannya putri bangsawan itu mengangguk-angguk.
“Dia pengawalku. Mungkin terlihat menyeramkan, tapi dia sangat terampil, jadi harap maklum.”
“Ahaha… Iris-sama punya pengawal yang unik, ya.”
“Uh… y-ya… begitulah.”
Jiii.
Iris memelototi aku yang berdiri di belakangnya.
Matanya seolah berkata, “Gara-gara kamu, aku dianggap aneh! Lepas topeng itu!”
Aduh. Iris-sama ini memang merepotkan.
Tapi, kalau aku menunjukkan wajah asliku sekali saja, mereka mungkin tidak akan berkomentar lagi meski aku pakai topeng. Anggap saja investasi jangka panjang, aku memutuskan untuk melepas topengku.
Lalu,
“Kyaaaa!”
Terdengar jeritan para gadis. Suara semua teman sekelas (perempuan).
Begitu melihat wajahku… rambut putih dan mata biru yang diubah oleh Artefak penyamaran, mata mereka langsung berbentuk hati.
“Tam-tampan sekali…! Wajah yang begitu sempurna!?”
“Tidak mungkin. Aku belum pernah melihat orang setampan ini!”
“Ma-maukah Anda bertunangan dengan saya!?”
“Curang! Aku yang mengincarnya duluan!”
“Kamu, ‘kan, sudah punya tunangan! Minggir sana!”
“Aku akan membatalkan pertunangan, jadi tidak masalah~ Kamu sendiri—”
Berisik sekali.
Kelas tiba-tiba menjadi ramai. Memang ada masalah saat aku pakai topeng, tapi ternyata melepasnya juga menimbulkan masalah.
Oh iya, aku lupa kalau aku punya setting sebagai pria tampan…
Dalam sekejap, aku dikelilingi para siswi.
“Tu-tunggu, tenanglah, nona-nona—”
BRAK!!
Di tengah kalimatku, terdengar suara keras.
Semua orang di tempat itu tersentak dan melihat ke arah sumber suara, ke arah Iris.
Meja di depan Iris hancur berkeping-keping. Melihat serpihan kayu yang berjatuhan, seseorang menelan ludah dengan keras.
Iris menatap ke arah kami. Di pelipisnya, jelas terlihat urat-urat biru.
“Maaf… orang itu adalah pengawalku, oke? Tolong jangan ganggu dia. Kumohon.”
Kata-kata terakhirnya mengandung tekanan yang luar biasa.
Semua orang di ruangan itu mengangguk dan dengan patuh kembali ke tempat duduk mereka masing-masing.
Aku yang tertinggal berkata,
“Te-terima kasih… sudah menolongku,”
dengan suara gemetar, tapi Iris malah memalingkan pandangannya ke arah lain.
Seolah sedang merajuk, dia memajukan bibirnya dan berkata,
“Bukan apa-apa. Enak, ya, Yu-san. Populer sekali.”
Dia mengungkapkan ketidakpuasannya.
Apa Iris marah?
Tapi aku tidak mengerti alasannya, dan terus memiringkan kepala sampai bel tanda dimulainya pelajaran berbunyi.
Guru masuk ke kelas dan pelajaran dimulai.
Pagi hari diisi dengan pelajaran teori, terutama tentang sejarah. Benar-benar tidak menarik sama sekali.
Aku menunggu waktu berlalu sambil memikirkan hal-hal yang tidak penting.
Oh ya, selama itu, aku terus-menerus diperhatikan oleh para gadis di kelas, termasuk para pelayan. Padahal sekarang aku sudah memakai topeng lagi.
Tapi yah, setidaknya ada efeknya, ‘kan?
Sambil berpikir begitu, waktu terus berlalu, dan tibalah siang hari. Waktu istirahat makan siang yang ditunggu-tunggu oleh semua siswa pun tiba. Ya, waktunya makan siang.
Beberapa siswi menyuruh pelayan mereka berlarian, sambil tetap memerhatikan Iris.
Apa yang sedang mereka lakukan, ya?
Saat aku memerhatikan situasi itu, Iris memanggilku,
“Yu-san.”
“Hm?”
“Mau makan apa untuk makan siang? Akan kusiapkan apa pun.”
“Eh? Serius!? Boleh apa saja?”
“Iya. Tadi pagi kamu kelihatannya main-main… tapi ini ucapan terima kasih karena sudah menjagaku dengan baik.”
“Beruntungnya! Berdiri terus memang melelahkan, tapi kalau bisa makan steak mewah, kurasa itu sepadan.”
“Steak, ya. Baiklah. Kalau begitu, ayo kita cari ruangan—”
“Yu-san!”
“Eh?”
Kata-kata Iris terpotong oleh suara dari samping.
Suara perempuan. Saat aku menoleh, aku melihat siswi berambut cokelat yang dipanggil Rosemary oleh Iris.
Beberapa siswi bangsawan lainnya juga berdiri di belakangnya.
Mereka sesekali melirik Iris sambil menyodorkan sesuatu yang mirip kotak makan.
Aku menerimanya dan bertanya,
“Ini apa?”
“Ini makan siangku. Kuberikan khusus untukmu.”
“Eh? Tapi kalau begitu Rosemary-sama tidak punya makan siang…”
“Aku sudah menyuruh pelayanku menyiapkan yang baru. Jangan khawatir.”
“Oh, jadi itu…”
Pantas saja tadi banyak pelayan yang berlarian ke suatu tempat.
Alasannya untuk menyiapkan makan siang yang baru. Apa di sini ada kantin, ya?
“Terima kasih banyak. Aku lumayan banyak makannya, jadi ini membuatku senang. Benar aku boleh menerimanya?”
“Fufufu. Ini perlakuan istimewa untuk seorang pengawal ksatria, lo? Kamu harus berterima kasih, Yu-san.”
Sepertinya namaku sudah ketahuan karena Iris menyebutkannya tadi. Untung saja itu nama samaran.
Akan jadi masalah kalau banyak murid memanggilku “Eugram-san!” atau semacamnya.
Sambil tersenyum kecut di balik topeng, aku berkata,
“Terima kasih banyak, Rosemary-sama. Aku akan menerimanya dengan senang hati.”
“Silakan terima punyaku juga!”
“Punyaku juga!”
“Ini juga—”
“Wa, wah?”
Setelah menerima makanan dari Rosemary, para siswi lain mulai memberikan makanan mereka padaku satu per satu, seperti bendungan yang jebol.
Karena sudah menerima yang pertama, aku harus menerima yang lain juga agar tidak ada yang tersinggung. Aku menerima semua kotak makan dan troli berisi makanan yang baru dibuat.
Jumlahnya luar biasa banyak. Bahkan untuk orang biasa, mungkin sepuluh orang pun belum tentu bisa menghabiskannya.
Tapi, Eugram bisa makan sebanyak apa pun kalau mau, jadi mungkin bisa dihabiskan.
Masalahnya adalah…
“Grrr!”
Iris yang menggertakkan giginya di belakangku.
Padahal dia sudah berjanji akan mentraktirku steak mewah, tapi dengan jumlah sebanyak ini, aku tidak bisa makan dengan santai.
“Hei, Iris.”
“Ada apa, Yu-san yang populer?”
“Kok, kamu jadi ketus begitu?”
“Perasaanmu saja. Cepat katakan apa maumu.”
“Aku… ingin makan siang bersama Iris. Boleh tidak?”
“Hah!?”
Wajah Iris dengan cepat berubah menjadi merah padam. Sepertinya dia terkejut, dia menutupi mulutnya dan berkata,
“~~~!”
Dia mengeluarkan suara kecil yang aneh.
Setelah beberapa saat mengeluarkan suara aneh, dia melepaskan tangannya dari mulutnya dan berkata,
“Ba-baiklah… Kalau Yu-san bilang begitu, tentu saja aku—”
“Tunggu sebentar.”
Plak.
Sekali lagi, ada suara yang memotong kata-kata Iris.
Wushhh.
Ekspresi Iris dalam sekejap berubah menjadi sedingin es. Dia melotot pada siswa laki-laki yang tiba-tiba muncul di depannya.
“Kau… putra Duke Conrad.”
“Conrad?”
Siapa dia? Rasanya aku pernah mendengar nama itu…
“Putra sulung keluarga Duke Conrad, dan… dia… tunanganku…”
“Tunanganmu?”
“Ca-calon tunangan…”
“Hooo.”
Aku menatap tajam pemuda berambut cokelat yang berdiri di depanku.
Penampilannya seperti playboy menurut standar kehidupan sebelumnya. Dengan senyum meremehkan, dia benar-benar terlihat seperti tuan muda bangsawan.
“Tolong jangan panggil saya Conrad dengan nada dingin begitu, Yang Mulia Iris. Kita, ‘kan, dekat? Panggil saja Mikhail.”
“Dekat? Seingatku, hubungan kita hanya sebatas calon tunangan.”
Berbeda dengan sikapnya padaku, Iris menjawab dengan dingin.
Alis Mikhail bergerak sedikit, dan dengan senyum kaku dia berkata,
“A-aku berharap bisa bertunangan dengan Yang Mulia Iris. Itu juga demi kepentingan negara.”
Dia berusaha tersenyum secerah mungkin.
Tapi,
“Aku tidak berpikir begitu. Lagipula, yang memutuskan adalah ayahku, bukan aku.”
Iris langsung menolak mentah-mentah. Ouch.
“Anda dingin sekali… Jangan-jangan orang yang di sana itu tunangan baru Anda?”
“Hah!?”
Wajah Iris memerah lagi. Aku senang dia malu sampai seperti itu, tapi kupikir Mikhail akan marah?
Seperti dugaanku, wajah Mikhail juga memerah. Tapi berbeda dengan Iris yang malu, dia benar-benar marah.
“Ugh! A-apakah benar orang itu? Dia hanya laki-laki dengan wajah bertopeng aneh, ‘kan!?”
Hei, kau. Aku tidak peduli kau menghina aku, tapi jangan hina topengku.
Kalau perempuan, sih, tidak apa-apa, tapi kalau laki-laki tidak boleh. Aku keras terhadap laki-laki.
“Jangan bicara tidak sopan!”
Benar, Iris. Beri dia pelajaran.
“Memang topeng Yu-san menyeramkan dan menjijikkan, tapi Yu-san bukan hanya pria dengan wajah saja!”
Hei!!
Kau malah mengiyakan bagian yang seharusnya dibantah!? Kalian berdua, jangan menghina topengku begitu saja! Meskipun aku last boss, bukan berarti aku tidak bisa terluka!
Hatiku ini sangat sensitif, tahu.
“Kalau begitu, tolong lihat aku juga! Aku, demi Anda—”
“Sudah kubilang, yang memilih adalah ayahku. Meskipun aku bisa memberi pendapat, setidaknya aku tidak perlu mendengar ocehanmu! Lagipula, aku benci orang yang merendahkan orang lain!”
Sebuah serangan tajam mengenai Mikhail tepat pada saat yang tepat. Dia menerima damage besar di hatinya dan terdiam.
Sambil memegang dadanya, entah kenapa dia memelototiku.
“Si-sial! Gara-gara kau muncul…!”
Hei, itu tidak ada hubungannya denganku. Sifatmu itu tanggung jawabmu sendiri, Mikhail.
Saat aku melambaikan tangan, wajahnya semakin memerah dan dia pergi.
Hmm… sepertinya aku tidak akan bisa akrab dengannya.
▼△▼
“Wah, tunanganmu itu orang yang menarik ya.”
Setelah Mikhail pergi, sesuai janji, aku dan Iris makan siang berdua.
Tapi, saat aku menusuk lauk di kotak makan dengan garpu, Iris menggeram seperti binatang buas.
“Dia bukan tunanganku! Dia hanya calon tunangan! Calon!”
“Ah, iya iya. Itu maksudku.”
Bagiku tidak ada bedanya dia tunangan atau calon tunangan. Aku akan menghormati keinginan Iris. Iris bisa menikah dengan siapa pun yang dia mau.
Dia bilang akan mengikuti perintah ayahnya, raja, tapi pada akhirnya dia sendiri yang harus memilih.
Kalau sampai Mikhail yang terpilih, aku… tidak yakin bisa bertepuk tangan dengan kedua tanganku.
“Hmm… begitu, ya.”
“? Ada apa, Yu-san? Masih memikirkan orang itu?”
“Tentu saja aku memikirkannya. nyam nyam… Dia, ‘kan, calon tunanganmu, Iris.”
“Bukankah itu tidak ada hubungannya denganmu, Yu-san?”
“Benarkah?”
Tidak juga.
Karena aku,
“Aku cukup suka Iris, tahu? Wajar kalau aku sedikit cemburu.”
Karena itulah aku tidak bisa bersikap acuh tak acuh.
Aku mungkin akan membenci Mikhail, dan bagaimanapun juga aku tidak bisa akrab dengannya.
Kalau ditanya apakah perasaan ini murni rasa suka pada Iris, memang agak sulit dijawab, tapi menurutku kekaguman juga termasuk salah satu bentuk rasa suka.
Lagipula, perasaan apa pun pada akhirnya akan bermuara pada rasa suka. Dalam arti itu, aku memang menyukai Iris.
Gadis yang murni dan jujur. Gadis yang berusaha lebih keras dari siapa pun. Berbeda dengan saat aku melihatnya dalam cerita. Karena berinteraksi langsung dengannya, perasaan itu semakin kuat.
“P-pye…”
“Pye?”
Pye? Itu sudah kuno, ‘kan?
Aku ingin mengatakan itu, tapi Iris lebih cepat berteriak.
“Pyeeeeee!?”
“Uwaa!?”
Aku terkejut mendengar suara yang sangat keras.
Aku bertanya-tanya ada apa, tapi Iris berdiri dari kursinya dengan wajah merah padam. Dia menunjuk ke arahku dan berkata,
“Yu-yu-Yu-san…”
“?”
Dengan suara gemetar, dia akhirnya berteriak sekali lagi.
“Curangggg!!”
Dia berteriak dengan kekuatan yang hampir bisa memecahkan kaca jendela. Lalu dia berlari keluar ruangan dan menghilang dengan kecepatan luar biasa.
Aku yang ditinggal sendirian berkata,
“… A-apa-apaan tadi? Mood swing?”
Sambil berkomentar begitu, aku tetap melanjutkan makan sendirian sampai Iris kembali.
Ding dong, suara bel bergema di seluruh sekolah.
Itu tanda berakhirnya waktu istirahat makan siang.
Iris yang kembali sekitar sepuluh menit sebelum bel berbunyi, masih dengan wajah merah, berkata,
“Su-sudah waktunya… Pelajaran siang akan segera dimulai. Ayo cepat ke tempat latihan…”
“Tempat latihan?”
“Iya. Biasanya, pelajaran di akademi dibagi menjadi teori di pagi hari dan praktek pedang serta latihan mana di siang hari.”
“Hee… begitu, ya.”
Isi pelajarannya cukup praktis. Wajar, sih, di dunia di mana monster adalah hal yang biasa, mereka perlu pelajaran seperti itu.
Aku mengangguk paham dan berdiri dari kursi.
Karena aku sudah makan cukup banyak, tubuhku terasa agak berat.
“Apa kamu baik-baik saja, Yu-san? Setelah makan sebanyak itu.”
“Santai, santai. Tubuhku memang lebih berat dari biasanya, tapi itu jumlah yang pas buatku.”
“Itu bukan manusia namanya.”
“Itu sindiran… atau bukan. Maksudmu aku bukan manusia?”
“Mungkin kamu makhluk misterius, ya.”
Iris tertawa kecil dan keluar dari ruangan.
Sambil mengikutinya dari belakang, aku bergumam pelan,
“Aku ini manusia, lo.”
▼△▼
Aku pergi ke tempat latihan bersama Iris.
Kotak makan siang dan troli akan dibereskan oleh pelayan lain yang dipanggil Iris, jadi itu memudahkan kami. Keluarga kerajaan memang hebat.
“Yu-san, itu tempat latihannya. Bangunan besar itu, mudah dilihat, ‘kan?”
“Hm? Oh. Benar-benar megah, ya.”
Di depan kami terlihat bangunan raksasa sebesar gedung sekolah. Itu semua tempat latihan? Bukankah itu terlalu berlebihan?
Seolah membaca pikiranku, Iris berkata,
“Pelajaran praktek sangat penting di dunia ini. Tempat seperti ini adalah dasar untuk menghasilkan pendekar pedang hebat setiap tahunnya.”
“Hmm. Luar biasa, ya.”
Kerajaan benar-benar mendidik rakyatnya dengan baik untuk menjadi prajurit. Para bangsawan juga diwajibkan mengirim pasukan. Aku pikir itu benar-benar hebat.
Kekaisaran malah memaksa rakyat menjadi prajurit dan menghabiskan mereka. Akibatnya, jumlah prajurit terus berkurang setiap tahun. Mereka berpikir bisa mengatasi masalah itu dengan menyerang negara lain dan merampas rakyat, uang, dan prajurit mereka. Benar-benar cara yang kasar.
“Oh ya, Yu-san, aku sudah meminta izin pada guru agar kamu bisa menjadi lawanku.”
“Hei, apa-apaan itu. Aku tidak dengar soal ini.”
“Aku baru saja memberitahumu.”
“…Aku ingin istirahat setidaknya di siang hari.”
Aku sudah menemanimu latihan di pagi dan sore hari, ‘kan? Apa enaknya menemanimu latihan di siang hari juga.
Dengan wajah cemberut, kami berdua masuk ke tempat latihan. Di dalam, sudah ada banyak siswa lain.
Semuanya adalah teman sekelas Iris. Tentu saja, di antaranya ada Mikhail yang menganggapku sebagai musuh.
Begitu melihatku, Mikhail memelototi dan berjalan ke arah kami.
—Cih. Ada apa lagi dengan dia? Apa dia punya urusan lagi?
Aku bersiap-siap, dan Mikhail berhenti di depanku, menunjuk wajahku dengan jari telunjuknya.
Apa dia tidak pernah diajar kalau menunjuk wajah orang itu tidak sopan? Apa? Boleh kupatahkan jarinya?
“Hei, orang mencurigakan.”
“…?”
Sepertinya urusan Mikhail bukan denganku. Aku melirik ke belakang. Tidak ada siapa-siapa di sana.
Saat aku memiringkan kepala kebingungan,
“Kau! Ya, kau! Pengawal Yang Mulia Iris!”
“O-oh, maksudmu aku!?”
Dia menusuk-nusukkan jarinya ke arahku.
Boleh kupatahkan jarinya sekarang? Aku mulai kesal.
“Siapa lagi selain kau! Lepaskan topeng itu dan bertarunglah denganku!”
…Hah?
Apa yang dia bicarakan?
Tiba-tiba, Mikhail, calon tunangan Iris, menantangku bertarung.
Jujur saja, aku tidak punya alasan sedikit pun untuk menerima tantangan ini. Aku bahkan tidak punya alasan untuk bertarung.
Sementara aku kebingungan, Mikhail melanjutkan.
“Tentu saja, aku bisa saja bertarung sendiri, tapi itu tidak akan menarik. Bagaimana kalau kita mengukur kemampuan pengawal masing-masing, Yang Mulia Iris?”
“Mengukur kemampuan pengawal masing-masing…?”
Iris yang mendengarkan pembicaraan itu memiringkan kepalanya.
Mikhail mengangguk penuh percaya diri.
“Ya. Aku akan menilai apakah pengawal itu layak menjadi pengawal Yang Mulia Iris atau tidak.”
“Kenapa kamu perlu menilai pengawalku?”
“Karena aku adalah tunangan Anda.”
“Calon tunangan. Lagipula, usulan seperti itu tidak mungkin—”
“Boleh saja, aku tidak keberatan.”
Aku menjawab Mikhail lebih cepat dari Iris.
Alis Mikhail bergerak sedikit. Dia menyipitkan matanya dan berkata,
“Hoo… Sepertinya kau cukup percaya diri.”
“Yang penting aku hanya perlu menghajar pengawalmu, ‘kan? Kalau begitu, ayo mulai saja biar cepat selesai.”
“Kau…!”
Mikhail memicingkan matanya. Tatapan tajamnya menembus topengku.
Tapi, bagi Eugram—sang last boss—intimidasi seperti itu tidak ada artinya. Aku balas menatapnya dengan tenang (meskipun dia tidak bisa melihat ekspresiku karena topeng).
“Kau harus tahu kalau kata-kata yang sudah diucapkan tidak bisa ditarik kembali, lo? Sudah terlambat.”
“Iya, iya. Sudahlah, cepat bersiap. Aku siap kapan saja.”
“Ck! Mulut kurang ajar… Akan kubuat Yang Mulia Iris melihat wajahmu yang hancur! Kalian! Hajar dia!”
“Baik!”
Dua kesatria yang diperintah Mikhail menendang tanah, membuat baju zirah berat mereka bergemerecing.
“Curang! Dua lawan satu!”
Iris berteriak. Tapi, para kesatria itu sudah tidak bisa dihentikan.
Mikhail pun berkata sambil tersenyum lebar,
“Aku tidak pernah bilang satu lawan satu, lo? Aduh, Yang Mulia Iris ini.”
Namun, bahkan jika jumlah mereka bertambah menjadi seratus pun, itu tidak ada artinya bagiku. Para kesatria itu mengayunkan—bukan pedang sungguhan, tapi sarung pedang mereka.
Aku ingin mengatakan pada mereka untuk setidaknya membawa pedang kayu.
Serangan yang diayunkan ke bawah mengarah langsung ke kepalaku. Iris tidak khawatir. Sebaliknya, dia berbisik pelan.
“…Tolong jangan sampai membunuh mereka, ya.”
Aku menjawab.
“Dimengerti.”
Sesaat kemudian, pedang para kesatria berhenti—tepat sebelum mengenai kepalaku.
Serangan mereka tidak bisa mencapaiku karena tertahan oleh penghalang mana yang kubuat.
“A-apa ini!?”
“Pedangnya tidak bisa…!”
Mereka tampak berusaha keras, tapi sia-sia saja. Penghalang mana-ku yang bahkan tidak bisa ditembus Iris, mana mungkin bisa dihancurkan oleh kesatria biasa?
“Kenapa? Kalian tidak menyerang?”
Aku melirik ke arah para kesatria.
Para kesatria itu mengerang kesakitan sambil berusaha mendorong pedang mereka, tapi tidak bisa mendekat padaku bahkan satu milimeter pun.
Di belakang, Mikhail mulai kesal.
“Hei, kalian! Apa yang kalian lakukan? Cepat hajar si cacing itu!”
“Ti-tidak bisa! Pedang kami tidak sampai!”
“Ada semacam dinding… Sial!”
“Hahaha. Jadi ini pengawal keluarga Duke? Kualitasnya buruk sekali, ya. …Jangan-jangan, kalian sedang kesulitan uang?”
Aku mengalirkan mana ke kaki kananku. Setelah cukup memperkuat otot-ototku, aku menendang para kesatria yang mengenakan baju zirah tebal itu.
Satu, dua tendangan. Para kesatria itu terpental ke belakang berturut-turut.
Dan di belakang mereka ada Mikhail yang sedang menonton.
“Hiii!?”
Mikhail tidak bisa menghindari para kesatria yang terbang ke arahnya, dan dia tertimpa baju zirah mereka.
“Guh!”
Terdengar suara kesakitan, dan dia jatuh ke tanah bersama para kesatria pengawalnya.
Dia berusaha keras untuk bangun, tapi sepertinya baju zirah itu terlalu berat untuknya.
Para kesatria yang menindihnya pun memutihkan mata mereka karena kesakitan yang mereka terima melalui baju zirah. Dengan kondisi seperti itu, mereka tidak akan segera sadar.
“To-tolong… Siapa saja!”
Mikhail mengulurkan tangannya dengan wajah kesakitan.
Dia terlihat cukup bersemangat. Yang kurang hanyalah kekuatan.
“Kerja bagus, Yu-san. Sekarang giliranku untuk berlatih denganmu, ‘kan?”
“Hm? Boleh saja, tapi bagaimana dengan dia?”
Aku menunjuk Mikhail dengan jari telunjukku.
Iris memiringkan kepalanya dengan ekspresi tenang.
“Dia akan bangun sendiri dan pergi ke kelas, ‘kan? Aku tidak punya kewajiban untuk membantunya.”
“O-oh…”
Mata Iris benar-benar serius.
Dia tidak marah, tidak sedih, dan juga tidak senang.
Dia menjawab dengan nada seolah-olah benar-benar tidak peduli.
Aku merinding sedikit.
Tapi itu akibat perbuatannya sendiri. Aku juga setuju dengan pendapat Iris.
Kami meninggalkan tempat itu, dan aku mulai berlatih dengan Iris yang sudah memegang pedang kayu.
Sampai guru datang menolong, murid-murid lain juga mengalihkan pandangan mereka dari Mikhail.
Dia benar-benar tidak disukai, ya.
▼△▼
Beberapa hari setelah insiden Mikhail.
Hari ini akademi libur. Aku sedang memikirkan apa yang akan kulakukan bersama Nana. Saat itu, terdengar ketukan di pintu dan suara Iris.
“Yu-san, kamu ada di dalam?”
“Iris? Ada apa? Silakan masuk.”
“Permisi.”
Setelah kuberi izin, Iris membuka pintu dan masuk. Begitu melihatku, dia langsung bertanya,
“Apakah kamu punya rencana untuk minggu depan?”
Aku langsung menjawab secara refleks.
“Sangat banyak.”
Tapi,
“Kalau begitu, tolong batalkan. Ada urusan penting.”
Iris dengan tanpa belas kasihan menghapus semua rencanaku.
“Urusan penting? Kau mau bersih-bersih massal?”
“Itu tugas pelayan. Yang ingin kuminta darimu adalah tugas resmi kerajaan.”
“Tugas resmi?”
Bukankah itu pekerjaan penting negara?
Apa tidak apa-apa menyerahkannya pada pangeran dari negara lain?
Iris sepertinya menyadari kebingunganku. Dengan ekspresi serius, dia berkata,
“Kita akan pergi agak jauh pada hari itu. Kita mungkin akan membasmi monster, jadi tolong ikut tanpa ragu-ragu.”
“Merepotkan.”
“Kumohon.”
“Merepotkan.”
“Ku-mo-hon.”
“Sudah kubilang…”
“Ku-mo-hon-lah.”
“…Baiklah.”
Apa yang terjadi? Seorang putri kerajaan mengancam pengawalnya.
Aku tahu kalau aku terus menolak, ini akan jadi pengulangan tanpa akhir. Jadi aku tidak punya pilihan selain mengangguk.
Aku mengangkat bahu dan memanggil Nana yang ada di sampingku.
“Nana~ Sepertinya ada permintaan yang agak merepotkan datang.”