Bab 1: Pengasingan
Kekaisaran Gastro. Sebuah negara maju tertua di benua dengan sejarah lebih dari seribu tahun.
Di jantung ibukota, Istana Langit menjulang dengan megah dan anggun. Istana kekaisaran yang dibangun dengan kemewahan tiada tara, dikelilingi oleh kawasan pemukiman yang dipenuhi mansion-mansion para bangsawan tinggi. Ada pula kawasan pemerintahan tempat para pejabat kekaisaran melaksanakan tugas administratif mereka. Tak ketinggalan kawasan hiburan yang menghimpun segala kesenangan dari seluruh penjuru benua, menjadi tempat berkumpul dan bersosialisasi bagi keluarga kekaisaran, para bangsawan, serta tamu negara.
Hampir semua aspek budaya dan fungsi pemerintahan terpusat di tempat ini.
Suatu ketika, seorang bangsawan yang sedang mabuk oleh cahaya bulan dan minuman keras, tanpa sadar bergumam:
Mereka yang tidak tinggal di Istana Langit, bukanlah manusia.
Di panggung yang begitu megah inilah, upacara pengangkatan pejabat baru dilaksanakan.
Tahun ini ada 24 orang. Mereka adalah kandidat elit yang akan mengemban tugas di jantung kekaisaran. Kehidupan glamor di Istana Langit. Jenjang karir yang terjamin. Pergaulan sosial yang gemerlap di antara orang-orang terpandang. Di tengah barisan pejabat baru yang tengah berdebar-debar membayangkan masa depan cemerlang itu, seorang pemuda berambut hitam bergumam pelan:
“Bau busuk.”
“…!”
Mendengar komentar yang sangat tidak pada tempatnya itu, gadis yang berdiri di sebelahnya—Ema Donaire—terkesiap. Ia segera memastikan bahwa orang-orang di sekitar mereka tidak mendengar, lalu menatap tajam pemuda itu dengan mata berkaca-kaca.
“Jaga ucapanmu. Kalau bisa, jangan bicara lagi sama sekali.”
“Ah, maaf. Keceplosan.”
“Jangan dengan santainya bilang ‘keceplosan’ setelah mengatakan sesuatu yang bisa jadi masalah besar kalau sampai terdengar orang lain!”
“Eh? Menurutku karena keceplosan, ya, mau bagaimana lagi.”
“Kalau begitu tolong diam selamanya!”
Ema yang biasanya sopan jadi bicara kasar saking kesalnya, tapi pemuda berambut hitam itu sama sekali tidak terlihat terpengaruh.
Nama pemuda itu adalah Hazen Heim.
Dia juga salah satu pejabat baru, masih hijau dan baru lulus. Namun, berbeda dengan rekan-rekannya yang tampak bersemangat, wajahnya tetap tanpa ekspresi saat menyaksikan pidato para bangsawan tinggi.
“…Hah.”
Hazen menghela napas, merasa ini semua hanya buang-buang waktu. Ia tidak menyangkal bahwa upacara semacam ini bisa meningkatkan rasa kesetiaan dan solidaritas, tapi menurutnya terlalu banyak orang yang naik podium dan waktunya terlalu lama. Isinya pun dangkal, beberapa orang bahkan hanya membaca naskah yang sudah disiapkan tanpa penghayatan.
Rasanya upacara ini bukan lagi untuk para pejabat baru, tapi hanya untuk menyenangkan atasan.
Setelah pidato para bangsawan tinggi berlangsung selama lebih dari tiga jam, akhirnya tibalah saatnya para pejabat baru memberikan sumpah dan sambutan. Rezard Rigra, si peringkat pertama, dipanggil untuk naik ke podium dan mulai berpidato.
“Kupikir Hazen yang akan jadi peringkat pertama,” gumam Ema di sampingnya. Mereka dulu pernah satu akademi. Selalu bersama saat kuliah, makan siang, dan berbagai kegiatan lainnya—bisa dibilang teman seperjuangan.
“Peringkat tiga juga sudah cukup.”
“…Kalau orang lain yang bilang begitu, pasti terdengar seperti alasan karena kalah, ya.”
Ema tersenyum kecut.

Setiap tahun, ratusan ribu orang mengikuti ujian untuk menjadi pejabat. Lulus saja sudah merupakan prestasi yang luar biasa sulit. Isinya hanya tes praktik dan tertulis tentang sihir. Katanya, ujian ini terbuka untuk siapa saja tanpa memandang status bangsawan atau rakyat biasa, murni menilai kemampuan untuk merekrut orang-orang berbakat.
Tapi itu hanya di permukaan saja.
Setelah diteliti, dari hasil ujian dan latar belakang para peserta yang lulus, ternyata belum pernah ada lulusan terbaik yang berasal dari rakyat biasa. Bahkan untuk posisi kedua pun tidak ada. Peringkat tertinggi yang pernah diraih rakyat biasa hanyalah peringkat tiga. Lebih jauh lagi, peringkat satu dan dua selalu diisi oleh bangsawan dari keluarga ternama. Jelas sekali ada manipulasi dalam penilaian ujian.
Intinya, mereka tidak menginginkan pejabat dari kalangan rakyat biasa yang nilainya melebihi para bangsawan ternama.
Meski begitu, ujiannya sendiri tetap sangat sulit. Baik bangsawan maupun rakyat biasa, semua berjuang sekuat tenaga untuk lulus, tak terpikir sama sekali untuk memanipulasi peringkat.
Namun bagi Hazen Heim, hal ini sudah sangat jelas.
Untuk bisa meraih posisi puncak di kekaisaran, diperlukan pemikiran yang strategis. Terutama di Istana Langit yang dipenuhi para bangsawan tinggi, ia harus bergerak dengan sangat hati-hati. Pejabat dari kalangan rakyat biasa yang cukup berbakat tapi tidak terlalu menonjol—itulah titik awal yang diincar Hazen.
Setelah sumpah dan sambutan selesai, tibalah saat penempatan para pejabat baru. Penempatan ini adalah salah satu hal yang paling dinantikan oleh para pejabat baru, karena akan sangat memengaruhi karir mereka ke depannya. Yang pertama kali dipanggil adalah pejabat peringkat pertama yang tadi baru saja berpidato di atas podium.
“Rezard Rigra. Kementerian Pengawal Istana Langit.”
“Siap!”
Suara pemuda yang tampak tangguh itu bergema, membuat para pejabat baru mulai berbisik-bisik.
“Sudah kuduga, dia ditempatkan sebagai pejabat militer di pusat, ya,” Ema tersenyum kecut.
Kementerian Pengawal Istana Langit bertugas melindungi keluarga kekaisaran dan para bangsawan tinggi—bisa dibilang jalur cepat untuk naik pangkat. Ayah Rezard, Gazaria, adalah kepala keluarga Rigra yang merupakan bangsawan super ternama. Dia memegang gelar “Daito”, peringkat ketiga tertinggi di antara para bangsawan tinggi. Jadi penempatan Rezard ini bukan hanya berdasarkan nilainya, tapi juga sangat dipengaruhi oleh latar belakangnya.
“Ema Donaire. Kementerian Pertanian Istana Langit.”
“S-Siap!”
Meski agak gugup, Ema menjawab dengan gembira. Dia memang dari awal mengincar posisi di bidang administrasi, jadi tampak lega dengan penempatannya. Isi ujian pejabat tidak membedakan bidang sipil atau militer, jadi banyak yang ditempatkan di posisi yang tidak sesuai harapan mereka.
Setelah itu, para pejabat terus dipanggil satu per satu.
Hazen mengamati mereka dari sudut matanya sambil bergumam, “Keterlaluan.”
Jelas sekali mereka dipanggil berdasarkan urutan gelar kebangsawanan, dan ditempatkan di kementerian-kementerian unggulan. Untuk Rezard si peringkat pertama dan Ema yang kedua, memang tidak terlalu kentara karena nilai mereka memang bagus. Tapi kalau diurutkan sejelas ini, orang bodoh pun pasti sadar. Kebiasaan seperti ini mencerminkan kondisi organisasi secara keseluruhan. Hazen merasa bisa melihat dengan jelas betapa Kekaisaran sangat mengistimewakan kelas bangsawan tinggi dan keluarga kekaisaran.
“Berikutnya… Hazen Heim. Distrik Garna Utara. Penjaga perbatasan.”
“Siap.”
Pemuda dari kalangan rakyat biasa yang dipanggil terakhir itu menjawab dengan datar. Namun, bisik-bisik di sekitarnya jauh lebih riuh dari sebelumnya. Di sana-sini terdengar tawa mengejek, semua orang tampak tersenyum sinis.
Bukannya ditempatkan di pusat Istana Langit, ia justru ditugaskan di garis depan di daerah. Jelas sekali ini adalah pengasingan.
Distrik Garna Utara adalah wilayah pertempuran sengit di mana lebih dari separuh pejabat yang ditugaskan di sana tewas atau terluka. Secara geografis berbatasan dengan Kadipaten Diold, tapi tidak ada hubungan diplomatik dan relasi mereka juga tidak baik. Mereka terus-menerus saling berebut wilayah, siang dan malam.
Selain itu, kadang-kadang ada serangan dari suku-suku asing yang harus ditangani. Biasanya, daerah berbahaya seperti itu hanya ditugaskan perwira rendah berpangkat letnan ke bawah, hampir tidak pernah ada perwira tinggi yang dikirim ke sana.
Saat Hazen naik ke podium untuk menerima surat tugasnya, seorang bangsawan tinggi tersenyum mengejek dan berbisik.
“Selamat berjuang. Yah, semoga berhasil.”
“Terima kasih.”
Namun, tanpa memedulikan hal itu, Hazen memberi hormat ala kekaisaran dan dengan gagah turun dari podium.
Setelah upacara pengangkatan selesai, Hazen dan Ema keluar ke lorong. Di sana, seorang gadis dengan rambut perak panjang yang mencolok sudah menunggu. Berbeda dengan Ema yang bertubuh kecil dan ramping, gadis ini memiliki tubuh yang terlatih dan dada yang besar.
“Ray Fa! Lama tidak bertemu!”
Ema berlari mendekat dengan gembira, sementara gadis berambut perak itu tersenyum lebar dan dengan lembut mengelus kepala Ema. Ray Fa. Dia berasal dari suku Zexan yang terkenal dengan kemampuan fisiknya yang unggul. Mereka bertiga adalah teman semasa sekolah, dan setelah lulus, Hazen mempekerjakan Ray Fa sebagai pengawalnya.
Pejabat kekaisaran diizinkan untuk membawa sejumlah pengawal sesuai dengan jabatan mereka. Ray Fa mungkin tidak terlalu menonjol dalam hal akademis, tapi kemampuan bela dirinya tidak perlu diragukan lagi.
“Hazen dan Ray Fa akan ke distrik Garna Utara, ya. Langsung dapat penempatan di tempat yang mengerikan.”
“Jangan khawatir. Aku akan melindungi Hazen.”
Ray Fa menepuk dadanya yang besar dengan bangga.
“…Aku sama sekali tidak khawatir soal itu. Dia itu tipe yang tidak akan mati meski dibunuh seribu kali.”
Ema tersenyum kecut.
“Garis depan justru yang kuinginkan. Aku akan segera menunjukkan prestasi dan kembali.”
“Khu khu… Sok kuat sekali.”
Tiba-tiba, seorang pemuda bangsawan bertubuh gemuk dengan wajah menyeringai menyela percakapan mereka.
“Mmm… Kamu Domeita Cares, ‘kan?”
Hazen berusaha keras mengingat namanya. Samar-samar masih tersisa di sudut ingatannya. Dia juga lulusan dari akademi yang sama. Kalau tidak salah, selama di akademi mereka bahkan tidak pernah berbicara.
“Sungguh menyedihkan. Seorang rakyat jelata belajar mati-matian untuk menjadi pejabat kekaisaran, tapi akhirnya ditempatkan di garis depan di daerah. Selamat, ya, atas usaha sia-siamu.”
“…”
Tampaknya dia sudah tidak sabar ingin mengatakan hal ini. Domeita menepuk-nepuk bahu Hazen dengan senyum penuh kemenangan.
“Ema. Aku ditempatkan di Kementerian Perdagangan dan Industri. Bangsawan terkemuka sepertimu sebaiknya jangan terlalu mengurusi rakyat jelata. Pilihlah teman bergaulmu dengan bijak.”
“…Haha.”
Ema hanya bisa tersenyum kecut.
“Dan kau, gadis di sana.”
“I-iya.”
Ray Fa yang dipanggil menjawab dengan sikap tegap.
“Bagaimana kalau kau jadi pengawalku saja? Aku jamin kehidupanmu akan jauh lebih baik daripada pergi ke medan perang dengan gaji kecil.”
“…”
Pemuda bangsawan gemuk itu memandangi tubuh Ray Fa dengan tatapan mesum.
Di tengah situasi itu, Hazen berdiri di depan kedua temannya yang tampak bingung.
“Domeita. Bisakah kau tidak terlalu mengganggu teman-temanku?”
“A-apa katamu?”
“Kau memiliki keuntungan besar sebagai bangsawan terkemuka, tapi mereka memutuskan bahwa kau ‘tidak layak diajak bergaul’ dan memilih berteman denganku yang hanya rakyat jelata. Apa kau mengerti arti dari hal ini?”
Hazen memiringkan kepalanya sambil tersenyum lebar.
“Kuh…”
“Andai aku berada di posisimu dan tertarik pada Ema, aku pasti sudah bunuh diri karena malu. Yah, tapi kau ini orang yang tidak tahu malu, ya, membanggakan diri hanya karena bisa menjadi pejabat kekaisaran berkat status bangsawanmu meski nilaimu sangat buruk. Dalam hal ini, aku agak iri dengan ketebalan kulitmu yang sebanding dengan tubuh bulatmu itu.”
“…!”
Pemuda berambut hitam itu tersenyum cerah, senyum yang terlalu indah dan tanpa beban.
“Ah, dan satu lagi, kurasa Ray Fa juga sama sekali tidak tertarik padamu.”
“B-bagaimana kau bisa tahu hal seperti itu!?”
Wajah Domeita memerah, urat-urat di wajahnya seperti akan meledak saking marahnya.
“Cukup lihat tubuh indahnya yang terlatih itu, sudah jelas, ‘kan? Kalau dia menyukai penampilan sepertimu dengan pipi dan perut yang kendur, dia pasti tidak akan memiliki tubuh seperti itu.”
“…!”
“Jadi begitulah. Silakan berteman dengan orang-orang yang sepikiran denganmu, yang hanya membanggakan status bangsawan. Carilah kekasih yang menyukai penampilanmu dengan perut buncit itu. Dan kalau bisa, jangan pernah, seumur hidup, bahkan sampai kehidupan selanjutnya, berurusan denganku lagi. Aku akan sangat senang. Nah, selamat tinggal.”
Hazen pergi dengan penuh percaya diri, diikuti oleh kedua temannya yang wajahnya pucat pasi.
“Huwawawawa…”
Pemandangan yang sering mereka lihat semasa di akademi. Dia tidak kenal ampun, siapapun lawannya. Begitu menganggap seseorang sebagai musuh, dia akan menghancurkannya tanpa belas kasihan. Karena gaya hidupnya yang seperti itu, Hazen sangat dibenci oleh orang-orang di sekitarnya. Tentu saja, selain mereka berdua, dia tidak punya teman lain, tapi yang bersangkutan sama sekali tidak peduli.
“Ada apa? Kalian tidak enak badan?”
“A-apa yang kau katakan… K-kamu ini…”
“Itu kenyataan.”
“Meskipun itu kenyataan, ada hal-hal yang tidak boleh dikatakan, tahu!?”
“Kenapa kamu selalu menambah musuh!? Suatu hari nanti kamu bisa dikeroyok oleh semua orang, lo!?”
“Haha.”
“…”
Hazen sama sekali mengabaikan kedua temannya yang protes dengan mata berkaca-kaca. Dia sudah tenggelam dalam pemikirannya yang lain.
“Tapi… ini lebih parah dari yang kubayangkan.”
Batang pohon besar bernama Kekaisaran memang sangat tebal dan besar. Namun, sebagai sebuah negara, sudah terlalu matang. Jelas sekali sedang mengalami pembusukan dari akar. Terutama di Istana Langit di pusat, Hazen merasa bisa melihat sekilas betapa dalamnya kegelapan itu. Semoga saja di daerah tidak seperti ini.
“Yah, yang harus kulakukan tidak berubah. Aku hanya perlu melakukan apa yang harus kulakukan.”
“Tapi kamu harus berhati-hati di distrik Garna Utara. Di wilayah itu ada Benteng Argeid yang menjadi kebanggaan Kadipaten Diold.”
“Begitu rupanya. Jadi intinya, aku hanya perlu menaklukkan benteng Argeid itu?”
“Ma-mana mungkin bisa!”
Ema menghela napas panjang. Biar bagaimanapun, itu adalah benteng strategis yang tak tertembus selama lebih dari sepuluh tahun. Konon pasukan Kadipaten Diold yang bertugas di sana adalah prajurit-prajurit elit yang tangguh.
“…Tapi kalau kita tidak merebut benteng itu, kita tidak bisa mengambil wilayah Kadipaten Diold, ‘kan?”
“Tidak semudah itu. Paling-paling yang bisa kita lakukan hanyalah merebut wilayah suku Kumin yang menguasai daerah sekitarnya.”
Suku Kumin adalah suku asing yang menguasai pegunungan di distrik Garna Utara. Mereka bermusuhan baik dengan Kekaisaran maupun Kadipaten Diold, dan kabarnya pertempuran sengit terjadi siang dan malam.
“Aku tidak menganggap remeh pentingnya membasmi suku asing, tapi itu kurang menarik. Lagipula, Kekaisaran lebih fokus pada perluasan dataran daripada daerah pegunungan. Secara strategis, lebih bernilai jika kita bisa merebut wilayah Kadipaten Diold.”
“Sudah kubilang, itu mustahil. Lagi pula, bukankah itu urusan atasan? Pejabat baru sepertimu biasanya hanya diberi tugas-tugas remeh…”
“Tenang saja. Aku akan melakukan sesuatu.”
“…Entah kenapa aku jadi kasihan pada semua orang yang akan kau temui di distrik Garna Utara, baik pejabat Kekaisaran maupun musuh.”
Mendengar kata-kata Ema, Hazen tersenyum penuh percaya diri.
*
Setelah berangkat dari ibukota dan berkuda selama sekitar 20 hari, mereka tiba di distrik Garna Utara. Biasanya, orang-orang membawa barang-barang mereka dengan kereta kuda, tapi Hazen hanya membawa sedikit barang. Karena itu, mereka tiba jauh lebih cepat dibanding bangsawan pada umumnya.
Seperti yang diharapkan dari benteng yang menjaga perbatasan dengan Kadipaten Diold, benteng itu tampak sangat kokoh. Di sekelilingnya berdiri tembok-tembok tinggi yang menjadi garis batas antara kedua negara.
Mereka segera memasuki benteng. Di sana tidak terlihat sedikitpun hiasan mewah seperti di Istana Langit. Bangunannya sederhana dan mengutamakan efisiensi. Setibanya di depan ruang komando militer, Hazen mengetuk pintu dan masuk. Di dalam, beberapa prajurit sudah berdiri.
“Saya Hazen Heim yang baru ditugaskan di sini. Mohon kerja samanya.”
Hazen memberi hormat dan memperkenalkan diri. Sementara yang lain hanya menatapnya dingin tanpa respon, hanya satu orang, seorang pria tua yang duduk, tersenyum dan menjawab.
“Jadi kau pejabat dari kalangan rakyat biasa itu. Sudah 10 tahun sejak terakhir kali kita punya pejabat sepertimu. Aku Gedol Magno, kolonel yang memimpin tempat ini. Mohon kerja samanya.”
“Mohon bimbingannya.”
“Kau ditugaskan sebagai letnan dua, ya. Kalau begitu kau akan ditempatkan di Peleton 8. Kebetulan ada lowongan di sana.”
“Baik.”
Di Kekaisaran, ada sistem gelar bangsawan dan pangkat militer. Gelar bangsawan adalah status istimewa yang diberikan kepada kaum bangsawan, sementara pangkat militer adalah tingkatan praktis yang diberikan kepada pejabat militer. Tentu saja, Hazen yang berasal dari rakyat biasa tidak memiliki gelar bangsawan, tapi sebagai calon perwira tinggi, dia akan memimpin para bintara seperti pembantu letnan dua, sersan, kopral, prajurit satu, dan prajurit biasa.
“Perkenalan dengan yang lain bisa dilakukan nanti. Kebetulan sekarang kami sedang membahas hal penting. Sampai ada panggilan, lakukan latihan bersama Peleton 8.”
“Saya mengerti.”
“Ada pertanyaan?”
“Tidak ada.”
“Baiklah… berhati-hatilah.”
“Baik.”
Hazen menjawab dan keluar dari ruangan. Beberapa detik setelah menyandarkan kepalanya di pintu, dia mendengar suara-suara dari dalam ruang komando.
“Orang yang tidak ramah, ya. Padahal cuma rakyat jelata. Yah, tapi dia akan segera mati jadi tidak masalah.”
“Tapi Kolonel juga jahat. Menempatkannya di Peleton 8 yang isinya orang-orang bermasalah itu. Aku tidak yakin mereka akan menuruti perintah calon pejabat baru begitu saja.”
“Biar saja. Pasti pusat sengaja mengirimnya untuk itu. Tidak ada yang menginginkan pejabat dari kalangan rakyat biasa. Apalagi yang terlalu berbakat…”
“…”
Setelah mendengar percakapan dan tawa mengejek itu, Hazen mulai berjalan menyusuri lorong. Sepertinya dia tidak terlalu disambut baik. Tapi, langsung melemparnya ke tempat berbahaya seperti ini memang khas militer, cepat dan efektif. Justru cara seperti ini lebih cocok dengan sifat Hazen.
Saat menuju kamarnya, Ray Fa sudah berdiri di depan. Karena sifat pekerjaannya sebagai pengawal yang banyak diam, dia tampak sangat mengantuk.
Hazen masuk ke kamar dan mengambil Gaei di tangannya. Ini adalah tongkat sihir, alat yang digunakan penyihir untuk melepaskan sihir. Bentuknya bervariasi tergantung jenisnya. Gaei berbentuk seperti tongkat pengajar yang tipis dan lentur.
Mereka tiba di lapangan latihan yang ditugaskan. Itu adalah dataran luas tanpa penghalang atau bangunan apapun. Di sana, anggota Peleton 8 sedang melakukan latihan. Jumlahnya sekitar 40 orang, dengan 5 prajurit yang mengawasi. Sepertinya sedang latihan bela diri, tapi gerakan mereka sangat tidak teratur dan kurang koordinasi.
Hazen mendekati salah satu pengawas. Seorang pria paruh baya bertubuh gemuk dengan tatapan sinis.
“Apa ada pembantu letnan dua di sini?”
“Hah? Siapa kau?”
“Hazen Heim. Letnan dua baru untuk Peleton 8.”
“Oh.”
Pria paruh baya gemuk itu tersenyum meremehkan.
“Siapa namamu?”
“Chomo. Aku sersan mayor di sini. Yah, tidak perlu repot-repot mengingatnya, sih.”
“Kenapa?”
Saat Hazen bertanya, Serma[1] Chomo mendekatkan wajahnya dengan senyum sinis.
“Entah kenapa, pembantu letnan dua atau letda[2] yang ditempatkan di sini tidak pernah berumur panjang.”
“Begitu. Aku mengerti maksudmu. Jadi tidak ada pembantu letnan dua, dan kalian para sersan mayor yang memimpin, begitu? Baiklah, Hazen. Kumpulkan semua orang.”
“Hah? Untuk apa?”
“Kau bahkan tidak mengerti hal seperti itu? Ini perintah dari atasanmu.”
“Kau ‘kan baru di sini? Lebih baik diam saja.”
Hazen menjawab sambil terkekeh.
“…Tahan dia.”
Begitu Hazen memberi perintah, Ray Fa segera bergerak ke belakang Chomo dan menahan kedua tangannya.
“Gah… Perempuan sialan! Apa yang kau lakukan!? Lepaskan!”
Hazen meronta-ronta putus asa, tapi karena ditahan dengan kuat, dia tidak bisa bergerak.
“Percuma saja. Baik kekuatan maupun tekniknya jauh lebih unggul darimu.”
“Kuh… Jangan bercanda! Hei! Lepaskan! Lepaskan!”
“Kau baru saja melakukan tiga kesalahan. Pertama, menentang perintah atasanmu, yaitu aku. Kedua, tidak segera memahami maksud perkataanku. Dan terakhir, memberi perintah kepada atasanmu, yaitu aku. Atas ketiga kesalahan ini, kau akan dihukum cambuk.”
Hazen berjalan ke belakang Serma Chomo dan mengayunkan tongkat sihirnya sekuat tenaga ke arah pantatnya.
“Hi-hiiiiiiiiiii!”
Teriakan melengking terdengar, membuat seluruh anggota Peleton 8 menoleh. Sementara itu, Serma Chomo meronta-ronta dengan air liur menetes dari mulutnya. Darah merah mulai merembes dari seragamnya.
Namun tanpa memedulikan hal itu, Hazen melanjutkan dengan pukulan kedua dan ketiga. Seketika, kain robek dan darah menyembur keluar. Serma Chomo memuntahkan busa dari mulutnya, matanya terbalik, dan dia pingsan.
Melihat pemandangan itu, seluruh anggota Peleton 8 terpaku. Tapi pemuda berambut hitam itu tidak peduli. Dia malah tersenyum lebar ke arah mereka.
“Hazen Heim. Letnan dua baru Peleton 8. Mulai hari ini aku atasan kalian. Salam kenal.”
“…”
“Mana jawabannya?”
“Siap!”
Mereka menjawab serempak.
“Kalian juga sersan mayor seperti Serma Chomo ini?”
Hazen menatap empat orang yang sedang mengawasi. Salah satu dari mereka, seorang pria kurus bertubuh kecil, mendekat.
“Ya.”
“Siapa namamu?”
“Dickett.”
Pria kurus bertubuh kecil itu menjawab.
“Apa tujuan latihan ini?”
“Tentu saja untuk pertempuran,” kata Serma Dickett dengan nada sedikit jengkel.
“Begitu. Kalau begitu, ada perubahan. Mulai sekarang sampai matahari terbenam, semua orang harus berlari.”
“…Baiklah. Ayo kalian, cepat lakukan.”
“Jangan salah paham. Kalian para sersan mayor juga harus melakukannya.”
“…Hah?”
“Jika untuk pertempuran kalian hanya bisa melakukan latihan level rendah seperti ini, lebih baik berlari untuk meningkatkan stamina. Dan jika hanya berlari, satu pengawas sudah cukup.”
“…”
Tatapan permusuhan muncul di mata Dickett dan para serma lainnya. Tapi Hazen tidak peduli.
“Jawabannya?”
“…Baik.”
“Yang lainnya?”
Hazen memandang sekeliling. Para serma, meskipun tampak kesal, tetap menjawab.
“Dalam jangkauan pandanganku, lari bolak-balik 30 kali antara pohon di sana dan di sana. Selesaikan dalam waktu kurang dari satu jam. Bagi yang tidak bisa, tambahan 30 kali lagi. Tidak ada kecurangan. Jika ketahuan, akan dihukum cambuk seperti Serma Chomo.”
“…!”
Perintah keras terus berlanjut, dan semua orang dari sersan mayor ke bawah menatap tajam ke arahnya, tapi Hazen tidak peduli. Dia memberi aba-aba mulai dengan datar dan menyuruh mereka berlari.
Matahari terbenam dan latihan berakhir. Sebagian besar bintara berhasil menyelesaikan lari dalam waktu kurang dari satu jam. Mungkin karena mereka sudah terbiasa dengan latihan fisik yang berat. Namun para sersan mayor yang biasanya hanya mengawas dan prajurit yang sering bolos latihan harus berlari tambahan di padang rumput.
“Berlari adalah dasar pertempuran infanteri. Kita akan melakukannya setiap hari sampai kalian memiliki stamina minimal. Itu saja.”
Setelah mengumumkan itu, Hazen pergi dengan gagah. Ray Fa yang mengikuti dari belakang membuka mulut sambil memandang mereka.
“Semua orang menatap tajam ke arah kita, lo? Terutama Serma Chomo itu.”
“Menatap tajam bukan pelanggaran aturan militer, jadi tidak masalah.”
“…Bukan itu maksudku.”
Meskipun berkata begitu, Ray Fa yang sudah sangat mengenal karakter Hazen tidak mengatakan apa-apa lagi.
Kembali ke kamar, Hazen meletakkan barang-barang yang diberikan. Sikat gigi, gelas, dan sisir untuk merapikan rambut bangun tidur. Karena dia tidak membawa apa-apa selain tongkat sihir, kamarnya menjadi sangat sederhana. Sambil berbaring di ranjang single yang agak keras, dia memandangi daftar anggota pasukan ketika terdengar suara ketukan.
“Siapa?”
Hazen bertanya pada Ray Fa yang berada di lorong.
“Serma Chomo.”
“…Suruh dia masuk.”
Pintu terbuka dan seorang pria paruh baya bertubuh gemuk masuk dengan senyum tipis.
“Ano, persiapan pesta penyambutan sudah selesai, jadi saya ingin mengundang Anda.”
“Pesta penyambutan? Tadi sepertinya kalian tidak terlihat menyambutku,” kata Hazen sembari tetap melihat daftar anggota pasukan.
“Ah, tidak. Kami tidak bermaksud bermusuhan dengan Anda. Kurasa ada sedikit kesalahpahaman di antara kita. Jadi, mari kita akrab dengan minum dan makan yang enak.”
“…”
Hazen hampir mengatakan “percuma saja”, tapi dia menahannya. Dari mata Serma Chomo, terlihat jelas permusuhan. Hazen menghela napas dan bangun dari tempat tidur.
“…Baiklah. Acaranya di kantin?”
“Tidak. Ada ruangan tempat para sersan mayor berkumpul.”
“Oke, terima kasih. Jadi aku harus ke sana?”
“Hehe. Saya akan menemani Anda.”
“Hazen. Apa aku juga harus ikut?” Ray Fa menawarkan diri, dan wajah Serma Chomo berubah masam.
“Tidak perlu pengawal. Kita semua rekan satu pasukan, ‘kan? Masa kau tidak percaya pada rekan sendiri?”
“…Hah.”
Hazen tanpa sadar menghela napas. Dia heran bagaimana orang bodoh yang begitu jelas bisa menjadi sersan mayor. Dia menduga Chomo pasti sudah lama menindas bawahannya dan menjadi terlalu percaya diri.
“Tidak apa-apa. Aku akan pergi sendiri.”
“Oh, tolong tinggalkan benda berbahaya itu.”
Serma Chomo mencegah Hazen yang hendak membawa tongkat sihirnya.
“Ini untuk perlindungan diri. Kita tidak tahu apa yang bisa terjadi.”
“Sudah kubilang tidak perlu khawatir. Para sersan mayor berkumpul di sana, jadi kalau ada serangan musuh pun kami akan melindungi Anda. Atau jangan-jangan, Anda takut?”
“…Baiklah. Ayo pergi.”
Pura-pura terpancing provokasi terang-terangan itu, Hazen meninggalkan tongkat sihirnya dan keluar dari kamar.
Saat memasuki ruangan yang ditunjukkan Serma Chomo, empat orang sersan mayor sudah duduk di kursi mereka. Semuanya tersenyum mencurigakan.
“…”
Memandang meja, ada sekitar enam botol anggur. Hidangan mewah yang menggunakan daging dan ikan secara berlebihan juga tersaji. Serma Chomo dengan bangga mengambil sebotol anggur.
“Hehe, hebat, ‘kan? Kusuruh koki membuatnya.”
“…Ya.”
Mungkin dipaksa, pikir Hazen. Benar-benar sia-sia. Yah, tidak bisa menolak undangan begitu saja, pikirnya sambil duduk dengan pasrah.
“Nah. Ini ungkapan perasaan kami. Mari minum bersama.”
Serma Chomo membuka tutup botol anggur dan menuangkannya ke gelas Hazen.
“…”
“Ayo, ada apa? Tidak ada racun di dalamnya. Jangan-jangan Anda takut?”
Serma Chomo menatap Hazen dengan pandangan menantang. Hazen terus menatap matanya sambil memilih botol anggur lain dan membuka tutupnya. Seketika, semua orang di ruangan itu terkejut.
“Tidak, aku tidak enak kalau cuma sendiri. Ayo bersulang. Kalian semua bisa minum, ‘kan? Biar kutuangkan.”
“Eh!? Tidak, tidak, kami akan menuang dan minum sendiri setelah Letda minum.”
“Kenapa sungkan? Ini pesta penyambutan. ‘Bersulang bersama di awal’ itu kebiasaan umum, ‘kan?”
Hazen mengambil gelas Serma Chomo dengan paksa dan menuangkan anggur, lalu menuangkan ke gelas para serma lainnya secara berurutan.
“Nah, mohon kerja samanya mulai sekarang. Bersulang.”
Setelah memberi salam singkat, Hazen meneguk gelasnya sekaligus.
“Anggur yang bagus. Enak sekali… Lo, kenapa? Wajah kalian murung. Apa kalian tidak bisa minum anggur yang dituangkan atasan kalian?”
“…”
“Tenang saja. Tidak ada racun di dalamnya. Tentu saja. Anggur ini ‘kan kalian yang siapkan?”
“…!”
Dengan mata hitam tajam, Hazen menatap wajah para sersan mayor yang memucat.
*
Para sersan mayor tidak bisa menahan keringat yang mengucur. Kenapa dia bisa tahu? Racun ini tidak berasa, tidak berbau, dan tidak mengubah warna. Bahkan tutup botolnya belum dibuka. Tapi atasan di hadapan mereka tanpa ragu menuangkan anggur beracun ke gelas mereka dan tersenyum cerah.
“…Dulu aku pernah mendalami penelitian tentang racun. Aku bisa tahu. Apakah anggur mengandung racun atau tidak… dengan sekali lihat.”
“Hiii!”
“Bercanda, kok.”
Hazen tersenyum lebar.
“Hei, cepat minum. Rasa anggur akan berkurang jika terkena udara.”
“Umm, saya merasa sedikit…”
“Jangan-jangan ada alasan kenapa kalian tidak bisa minum?”
“…!”
Serma Chomo memberi isyarat mata kepada serma lainnya.
Kita harus membunuhnya.
Sekarang, pria ini tidak punya pengawal wanita yang kuat itu, juga tidak membawa tongkat sihir. Kelihatannya dia juga tidak berotot. Kalau kita keroyok dan pukuli sampai mati, lalu membuang mayatnya seperti biasa, kehidupan normal kita akan kembali.
“…Uwaaaaah!”
Serma Chomo, yang sudah membulatkan tekad, berdiri dan menyerang. Para serma lain juga bersiap mengikutinya—
Duk.
“…Eh?”
Dalam sekejap, kepala Serma Chomo jatuh ke lantai.
“Hah… gah…”
Darah segar menyembur deras dari leher tanpa kepala, dan tubuhnya ambruk seperti boneka yang putus talinya. Kepala yang menggelinding seperti bola mengenai lengan kanan Serma Buzz yang pucat pasi dengan mulut menganga.
“Penyihir tidak selalu hanya memiliki satu tongkat sihir. Memang biasanya cuma satu, jadi wajar kalau kalian salah paham. Serma Chomo sudah mati jadi tak perlu dipikirkan, tapi kalian harus ingat ini.”
Sementara itu, sambil membersihkan rambut hitamnya yang berlumuran darah dengan serbet, Hazen tersenyum lebar tanpa beban. Di tangannya ada tongkat sihir pendek dan tipis seperti ranting. Dengan mengayunkan itu, dia memenggal kepala Serma Chomo dalam sekejap.
“Goh… eh… goh… eeh?”
Serma Dickett mengeluarkan suara aneh sambil bergantian melihat kepala dan tubuh Serma Chomo. Dia sama sekali tidak mengerti apa yang terjadi. Selama ini mereka selalu jadi pihak yang membunuh, dan yang lain jadi pihak yang dibunuh. Tapi dalam sekejap, tanpa bisa berbuat apa-apa…
Mengabaikan kebingungan para serma, Hazen dengan tenang menjelaskan senjatanya.
“Namanya Kazakiri. Tongkat sihir untuk perlindungan diri yang selalu kusimpan di balik pakaian. Jika diayunkan, bisa langsung menembakkan bilah angin yang tajam. Karena mudah digunakan dan dibawa, meski kekuatannya kecil tapi sangat berguna.”

“…!”
Orang gila. Dia membunuh tanpa ragu sedikit pun. Bukan hanya kami, pria ini pasti sudah membunuh ratusan orang dengan tenang seperti ini. Semua sersan mayor menyerah, merasa tidak mungkin lagi melawan orang berbahaya seperti ini.
Namun.
“Minum.”
“Hiii!”
Hazen mendekati para serma yang sudah kehilangan semangat bertarung dan tetap menawarkan anggur.
“…Kau juga tidak bisa minum?”
“Hi… hiii…”
Ketakutan luar biasa. Saat Hazen bertanya sambil sedikit memiringkan kepala, Serma Samua bersujud.
“Maafkan kami, maafkan kami, tolong ampuni kami! Yang memasukkan racun itu Serma Chomo! Dia yang menghasut kami…”
“Racun? Jadi ada racun dalam anggur ini? Masa, sih.”
Hazen memasang ekspresi seolah-olah baru saja mengetahui hal itu.
“Jangan salah paham. Aku menghukum Serma Chomo sesuai aturan militer karena dia mencoba menyerang atasannya. Pemberontakan dihukum mati. Jika kalian mengakui bahwa anggur ini beracun, aku harus mengeksekusi kalian… sesuai aturan militer, lo?”
“Hii… hii… hii…”
Serma Zerega mengerang sambil meneteskan air liur.
“Kutanya sekali lagi. Apakah anggur ini beracun?”
Pemuda berambut hitam yang berlumuran darah itu bertanya dengan tenang.
“Ti-tidak beracun…”
“Begitu? Syukurlah.”
Hazen tersenyum polos. Melihat ekspresi itu, Serma Buzz yang menjawab merasa lega seolah baru saja lolos dari maut.
“Kalau begitu, kalian bisa minum, ‘kan?”
“Heh?”
Mendengar pertanyaan itu, semua orang memasang ekspresi tidak percaya. Apa yang sebenarnya dikatakan pria ini? Mana mungkin mereka bisa minum. Padahal sudah jelas ada racunnya.
Namun.
“Ini anggur yang dituangkan atasan kalian dan tidak ada racunnya. Tentu saja kalian bisa minum, ‘kan?”
“…!”
Dia memaksa mereka minum. Memaksa mereka meminum anggur beracun yang mereka sendiri siapkan, mencoba membuat mereka bunuh diri.
“Hii… hii… hii…”
Berbagai cairan tubuh mengalir dari tubuh Serma Dickett.
“Sa-saya punya keluarga! Tolong ampuni saya!”
“Maaf, tapi pembicaraan yang menyenangkan itu dilakukan setelah bersulang. Itu hal umum, ‘kan?”
“Hi-hiiiii! Ampuni kami. Tolong ampuni kami!”
“Kau punya keluarga, ‘kan? Andai kau minum anggur ini dan mengalami insiden, menurut aturan militer kekaisaran itu dianggap gugur dalam tugas. Aku juga berniat memberikan kompensasi yang layak untuk bawahan yang gugur.”
“…”
“Tapi jika kau menolak minum anggur ini, berarti kau sudah mencoba meracuniku. Itu jelas-jelas tindakan pengkhianatan. Tentu saja keluargamu tidak akan mendapat kompensasi, dan kau akan segera bernasib sama dengan mantan Serma Chomo ini.”
Hazen memungut kepala Chomo dan tersenyum lebar tanpa beban.
“…Anda benar-benar akan menganggapnya gugur dalam tugas?”
“Ya, tentu saja.”
“…”
Serma Buzz membayangkan istri dan anaknya yang ditinggalkan di kampung halaman. Dia akan mati. Tapi jika keluarganya bisa mendapatkan sedikit uang dari pensiun ahli waris… Dia memejamkan mata erat-erat, menyesali perbuatannya selama ini. Tahun ini dia baru saja menjadi sersan mayor, dan tidak bisa menolak perintah Serma Chomo, hanya mengikuti apa yang diperintahkan. Sekarang dia harus menanggung akibatnya.
“Nah, ayo bersulang? Tolong minum sekaligus, ya, biar semangat.”
“…!”
Semua orang mengangkat gelas dengan gemetar.
“Bersulang!”
Serma Buzz, Samua, dan Zerega meneguk habis isi gelas mereka, sementara Serma Dickett hanya gemetar tanpa menggerakkan gelasnya.
“Kumohon! Tolong aku! Aku tidak mau mati, tidak mau mati, tidak mau ma—”
Sebelum dia bisa memohon untuk ketiga kalinya, kepala Serma Dickett melayang dan jatuh berguling ke lantai.
“Kau tidak pantas jadi prajurit. Berani membunuh orang tapi tidak siap mati.”
Hazen meludahkan kata-kata itu pada tubuh tanpa kepala yang bersujud. Sementara itu, dia menuangkan anggur yang sama ke gelasnya dan menempelkan bibir gelas ke mulutnya di hadapan tiga orang yang terisak kesakitan.
“Tenanglah. Ini hanya anggur biasa.”
“Geh… eeh… eh?”
Ketiga sersan mayor menatapnya dengan ekspresi terkejut.
“Ini trik sederhana. Kalian tidak sadar? Saat kalian fokus pada gelasku, aku menukar posisi anggur beracun. Kalian perlu lebih mengasah kemampuan observasi.”
Hazen mengambil botol anggur beracun dan tersenyum.
“…”
“Mana jawabannya?”
“””Siap!”””
Suara mereka bertiga menjawab serempak dengan sempurna.
“Sampaikan pada sersan ke bawah. Aku bertindak sesuai aturan militer. Tidak ada ampun bagi yang melanggar. Besok, tunjukkan kepala dua orang ini pada semua orang dan pastikan mereka paham… tentu saja, itu tanggung jawab kalian.”
“””Si-siap!”””
Ketiga orang itu segera berdiri dan memberi hormat dengan sikap sempurna.
“Bagus. Kalau begitu, aku akan keluar sebentar untuk membersihkan diri. Selama itu, silakan nikmati makanan dan anggur yang enak tanpa sungkan.”
Hazen berkata demikian lalu pergi.
*
Malam itu, Hazen bermimpi. Sosoknya sebelum mendapatkan tubuh baru. Bayangan yang terlihat di permukaan air menunjukkan lengan dan kaki yang kurus kering, bahkan untuk berdiri saja sudah sulit.
Saat itu dia menyadari.
Ini adalah gambaran sesaat sebelum kematian.
Tubuh yang telah melewati waktu 200 tahun di benua lain.
“Inikah akhir dari orang yang disebut-sebut sebagai penyihir terkuat sepanjang sejarah? Menyedihkan sekali.”
Terdengar suara muridnya yang sudah lama tidak didengar. Yang terbaring adalah dirinya sendiri, meringkuk sambil memegangi dada. Tersengal-sengal kesakitan karena serangan, berusaha meraih obat.
Kematian yang memalukan. Tapi itu tidak masalah. Itulah proses penuaan. Semua orang menua dan mati. Itulah hukum alam.
Namun, Hazen sedang melakukan percobaan.
Sebuah percobaan yang mempertaruhkan nyawa dan jiwanya sendiri.
Hasilnya, entah bagaimana pun tidak masalah.
Apakah dia ditakdirkan untuk mati?
Atau…
Apakah dewa atau iblis yang tersenyum?
Hasilnya adalah…
Iblis yang tersenyum.
Hazen terbangun dalam tubuh yang muda.
Ini adalah kejadian tiga tahun yang lalu.
*
Pukul 5 pagi. Hazen terbangun karena sinar matahari. Dia langsung menuju wastafel, menggosok gigi dengan teliti, membasuh wajah dengan air dingin, dan berganti pakaian dengan cekatan. Dalam waktu kurang dari 5 menit, persiapannya selesai dan dia menuju ruang makan.
Dia mampir ke dapur dan memberi instruksi kepada juru masak. Makanan harus dibagi rata tanpa memandang pangkat. Boleh tambah dua kali. Minum alkohol maksimal tiga gelas di malam hari. Makan adalah dasar dari latihan. Ini juga waktu istirahat bagi para prajurit. Mereka harus mendapatkan porsi yang cukup dan bisa sedikit bersantai.
Sepertinya para juru masak sudah mendengar tentang kejadian kemarin. Mereka mengangguk setuju meski dengan wajah takut.
Pukul 7 pagi. Ketika sampai di lapangan latihan, semua sudah berbaris rapi. Semua menunjukkan ekspresi tegang. Sepertinya setelah kejadian kemarin, mereka tidak punya niat untuk membangkang lagi.
“Baik, latihan dimulai.”
Hazen memberi instruksi dengan datar. Pertama, seperti kemarin, dia menyuruh mereka berlari terus-menerus.
“Hal terpenting dalam pertempuran adalah kecepatan bergerak. Lemak berlebih. Pertama-tama, kita harus menghilangkan ini.”
“…Baik.”
Serma Zerega menjawab sambil menahan sakit ketika lemak di pinggangnya dicubit keras.
Berbeda dengan kemarin, semua orang bisa menyelesaikan lari dalam waktu kurang dari satu jam.
“Bagus. Sekali lagi.”
“…Baik!”
Mereka mengulangi apa yang diperintahkan tanpa protes. Satu jam lagi. Beberapa orang gagal. Mereka disuruh berlari tambahan.
“Yang lain, lakukan squat, sit-up, dan back-up. Berpasangan, siksa tubuh rekanmu. Ini untuk membuat tubuh bergerak lebih cepat. Gerakan sekejap bisa menentukan hidup atau mati.”
“Baik!”
Jawaban mereka mulai lancar. Mereka memang orang-orang yang biasa berada di garis depan pertempuran. Mungkin mereka punya insting untuk mengikuti yang kuat agar bisa bertahan hidup.
Latihan pagi selesai dan waktunya makan siang. Menu hari ini adalah ikan kukus yang disebut abito. Hampir semua orang makan dengan lahap, mata mereka berbinar. Tapi ada beberapa orang yang tidak bisa makan. Mungkin karena latihan yang berat membuat mereka kehilangan nafsu makan. Hazen memberi mereka istirahat lebih lama dan menunggu sampai nafsu makan mereka kembali.
“Makan adalah dasar untuk membangun tubuh. Dalam keadaan darurat, kita mungkin tidak bisa makan selama beberapa hari. Kalian harus makan.”
“Baik!”
“Jangan berpikir kalian bisa bolos. Karena kalian istirahat lebih awal, latihan kalian akan mundur. Repetisinya tetap sama dengan anggota lain.”
“Dimengerti.”
Sore hari. Mulai dari sini, mereka berlatih menggunakan pedang. Latihan praktik berpasangan. Pasangan diganti setiap 5 menit. Di tengah latihan ini, ada satu orang yang menonjol, menangkis pedang dengan lembut.
“Serma Buzz.”
“Ya!”
“Kau ahli dalam ilmu pedang?”
“Ya!”
“Kalau begitu, giliranmu mengajar. Pilih dua orang lagi yang berbakat dan suruh mereka mengajar juga.”
“Baik!”
Serma Buzz menjawab dengan suara gembira. Setelah itu, mereka melakukan latihan koordinasi serangan bertiga dengan satu orang mengenakan baju zirah berat. Di sini juga Serma Buzz, serta Pratu[3] Sarima dan Pratu Abanda yang dia pilih, berperan sebagai instruktur.
Matahari terbenam dan tanda latihan selesai dibunyikan. Seketika semua orang ambruk. Sepertinya mereka sudah mencapai batas.
“Kerja bagus. 30 menit lagi waktunya makan. Istirahat 15 menit, lalu segera ke ruang makan. Boleh tambah dua kali, dan boleh minum alkohol maksimal tiga gelas.”
“Eh? Umm, untuk semua orang?”
Seorang prajurit baru bertanya dengan ekspresi terkejut.
“Bulan ini Peleton 8 tidak bertugas jaga. Tapi, minum berlebihan adalah tanggung jawab kalian sendiri. Dan aku tidak akan mengurangi intensitas latihan karena kondisi badan buruk. Semua orang akan menjalani latihan dengan intensitas yang sama.”
“…Baik!”
Prajurit baru itu menjawab dengan suara cerah. Para sersan mayor menatap Hazen dengan ekspresi rumit. Mungkin selama ini Serma Chomo dan yang lain telah memonopoli minuman keras.
Hazen meninggalkan lapangan latihan dan kembali ke kamarnya. Saat sedang membaca buku di waktu luang, makanan diantar. Dia makan satu porsi dengan cepat, lalu menyuruh mengantarkan dua porsi tambahan. Itu dia berikan kepada Ray Fa. Gadis itu memiliki otot yang padat. Karena itu, dia membutuhkan energi dua kali lipat.
Setelah makan, dia memanggil Prajurit Dua Edal. Dia adalah yang paling berbakat sebagai pegawai sipil di regu ini. Hazen memeriksa sekilas dan menutup dokumen yang telah dia siapkan sebelumnya tentang waktu dan lokasi pertempuran dengan Kadipaten Diold serta waktu dan lokasi serangan suku Kumin.
“Dokumen yang bagus. Tidak ada masalah. Tolong lanjutkan mulai besok.”
“Eh, Anda sudah membacanya?”
“Kurang lebih. Aku ahli membaca cepat. Kau juga sebaiknya berlatih. Jika bisa membaca satu halaman dalam satu detik, itu akan menghemat banyak waktu dalam hidup.”
“…Haha.”
Prajurit Dua Edal tersenyum kecut. Hazen memiringkan kepala, berpikir apakah dia mengatakan sesuatu yang aneh.
“Omong-omong, bisakah kau melakukan analisis juga? Tolong prediksi lokasi kemunculan suku Kumin.”
“Dimengerti.”
“Jika kau merasa belum dibayar untuk pekerjaan tambahan ini, beritahu aku. Aku akan mempertimbangkan dan mengaturnya.”
“Tidak perlu… ini juga bagian dari tugas saya.”
“Tugas harus dibayar. Latihan rutin, penjagaan, dan pertempuran yang dilakukan semua orang sudah termasuk dalam gaji. Ini adalah pekerjaan tambahan. Karena itu, kau harus menerima bayaran tambahan.”
Hazen menasihati Prajurit Dua Edal yang ragu-ragu. Sistem gaji yang transparan. Hazen tidak suka cara memotivasi orang dengan janji samar-samar tentang promosi. Kemampuan dan hasil. Jika mengelola bawahan dengan mempertimbangkan dua hal itu, seharusnya akan lebih sedikit orang yang tidak puas.
Prajurit Dua Edal menunjukkan ekspresi terkejut dan bingung, tapi kemudian tersenyum dan mengangguk.
“Saya mengerti. Saya terima dengan senang hati.”
“Tidak perlu berterima kasih. Ini adalah penghargaan atas pekerjaanmu. Cukup banggalah pada kemampuan dan usahamu sendiri.”
“Tidak, saya tetap berterima kasih kepada Letda. Selama ini… saya tidak pernah dipuji.”
“…Aku tidak punya hak untuk menghapus perasaan yang kau rasakan. Lakukan sesukamu.”
“Baik. Saya akan melakukannya sesuka saya.”
Setelah mengatakan itu, Prajurit Dua Edal pergi.
Satu minggu telah berlalu sejak Hazen ditempatkan di distrik Garna Utara. Suatu sore, di tengah latihan, dia dipanggil ke ruang komando. Di sana, para perwira atasannya sudah berkumpul.
“Anda memanggil saya?”
Ketika Hazen bertanya, Kolonel Gedol mendekatinya sambil tersenyum.
“Aku terkejut. Ternyata kau masih hidup.”
“Saya sudah menyerahkan laporan harian setiap hari.”
Mendengar jawaban itu, mata pria kecil yang tampak gugup di ujung kiri bergerak sedikit. Kolonel Gedol berbalik melihat pria itu.
“Benarkah? Letnan Mospitza?”
“Tidak sampai ke saya.”
“Begitu, ya. Yah, kau memang sibuk.”
Kolonel Gedol kembali menghadap Hazen.
“Maaf, ya.Peleton 8 itu isinya preman semua, sulit mencari orang yang bisa mengendalikan mereka. Tapi kami dengar kau berhasil melatih mereka dengan baik, jadi kami mengubah pandangan kami tentangmu. Maaf sudah mengujimu seperti ini.”
“Tidak masalah.”
Hazen menjawab tanpa mengubah ekspresinya sama sekali.
“Kalau begitu, kuperkenalkan atasanmu langsung. Ini Letnan Mospitza. Dia sedang bertugas di tempat lain, jadi ini pertemuan pertama kalian, ya?”
“Ya. Salam kenal. Saya Hazen Heim.”
“…Sebelum perkenalan. Boleh aku bertanya sesuatu?”
Letnan Mospitza menatap tajam dengan mata gugupnya.
“Silakan.”
“Kudengar pada hari pertama penugasanmu, kau membunuh dua bawahanmu, Serma Chomo dan Serma Dickett.”
“Benar.”
“Aku tidak menerima laporan itu darimu.”
“Tidak, saya sudah menulis dan melaporkannya di jurnal harian.”
“Karena itulah aku bilang aku tidak menerima jurnal harian itu.”
“Kalau begitu, dari mana Anda tahu tentang kematian Serma Chomo dan Serma Dickett?”
Saat Hazen bertanya, alis Letnan Mospitza bergerak sedikit.
“Aku mendengarnya dari bawahan lain secara lisan. Biasanya, informasi penting harus disampaikan secara lisan, dan menurutku seharusnya begitu. Bukankah begitu?”
“Benar sekali.”
“Lalu kenapa kau tidak melaporkan secara lisan?”
“Karena saya menilai itu bukan hal penting.”
“Bukan kau yang menentukan itu.”
“Kalau begitu, tolong baca jurnal hariannya. Isinya ada di sana, jadi Letnan bisa menilai sendiri apakah itu penting atau tidak.”
“…Apa katamu!?”
Suara Letnan Mospitza meninggi.
“Jika penilaian kepentingan tidak diserahkan pada kebijaksanaan bawahan, maka lakukanlah seperti itu. Karena melaporkan semua isi secara lisan itu sia-sia. Saya pikir akan lebih efisien jika Anda membaca jurnal hariannya.”
“Bukan itu maksudku!”
“Lalu apa yang ingin Anda katakan?”
Hazen menunjukkan ekspresi bingung. Dia bertanya-tanya kenapa atasannya ini begitu marah dan kehilangan kendali. Dia hanya menjawab sesuai dengan peraturan militer.
“Hal seperti itu seharusnya bisa kau pahami secara naluriah! Tidak ada laporan lisan sama sekali? Kau bahkan tidak menganggapnya penting!?”
“Ya. Baik secara naluriah maupun menurut peraturan militer, saya menilai itu tidak penting.”
“Kalau begitu, nalarmu yang tidak normal. Kau sudah membunuh dua bawahanmu, lo? Wajar kalau ini dianggap upaya penyembunyian.”
“Ini bukan penyembunyian. Saya sudah menulis dan melaporkannya di jurnal harian.”
“Sudah kubilang aku tidak menerimanya!”
Letnan Mospitza menggebrak meja dengan kasar.
“Saya menulisnya seminggu yang lalu. Yang menerimanya adalah Pembantu Letnan Dua Gaby dari Peleton 5.”
“Oh. Bagaimana kalau dia bilang tidak menerimanya?”
“Saya meminta tanda tangan dan tanggal penerimaan. Jika dia berbohong, saya akan menyerahkan bukti itu.”
Pada dasarnya Hazen tidak memercayai orang lain. Meski dianggap merepotkan, dia selalu mencatat dengan teliti setiap penyerahan laporan.
“…”
Letnan Mospitza terdiam dengan keringat mengalir di dahinya. Sementara itu, Hazen masih menunjukkan ekspresi bingung. Dia masih tidak mengerti apa yang sebenarnya ingin dikatakan atasannya ini.
“Kalaupun Pembantu Letnan Dua Gaby tidak menyerahkannya, ini sudah seminggu yang lalu. Jika Anda langsung menanyakannya, bukankah dia akan segera menanganinya?”
“…Aku sibuk. Aku biasa membacanya sekaligus di akhir pekan.”
“Jurnal harian? Anda membaca dokumen yang mungkin berisi informasi penting seminggu kemudian, lalu melaporkannya ke atasan?”
Hazen menunjukkan ekspresi terkejut, dan Letnan Mospitza kembali terdiam.
“…Ku ku ku.”
Mungkin dari perwira atasan lain. Terdengar tawa mengejek dari sekitar, dan pria kecil yang gugup itu wajahnya memerah.
“Peleton 8 sedang tidak bertugas bulan ini! Tentu saja aku membaca laporan dari regu yang sedang bertugas menjaga perbatasan. Aku hanya membaca laporan dari regu yang sedang tidak bertugas di akhir pekan. Ini masalah prioritas! Itu wajar, ‘kan!?”
Letnan Mospitza menjelaskan dengan suara yang sangat keras.
“Kalau begitu, memang bukan informasi penting, ‘kan?”
“Apa katamu?”
“Saya menilai itu bukan informasi penting, dan Letnan juga mengabaikan informasi dari regu yang sedang tidak bertugas. Meski Anda mendengarnya secara lisan dari anggota regu lain, Anda tidak menanyai saya saat itu juga, dan tidak membaca jurnal hariannya. Pandangan saya dan Letnan sama.”
“Ugh… Aku hanya menilai tidak ada urgensinya! Bukan berarti aku tidak menganggapnya penting!”
“…”
Hazen bertanya-tanya kenapa atasannya begitu marah, dengan wajah merah padam, mata melotot, dan tubuh gemetar. Padahal tadi dia dengan bangga mengatakan “Ini masalah prioritas!”
“Lagipula, kau tidak merasa apa-apa setelah membunuh dua bawahanmu?”
“Tidak. Karena saya personel militer. Jika perlu membunuh sesuai peraturan militer, saya akan membunuh.”
“Aku tak hasib pikir. Orang dengan etika yang tidak normal sepertimu menjadi perwira yang memikul tanggung jawab kekaisaran.”
“…Maksud Anda, ‘Utamakan etika daripada peraturan militer’?”
“A-aku tidak bilang begitu!”
“Lalu, apa sebenarnya yang ingin Anda katakan?”
“Kuh…”
Letnan Mospitza terdiam untuk ketiga kalinya. Melihat situasi ini, Hazen menghela napas. Sungguh waktu yang terbuang sia-sia. Padahal militer seharusnya berdasarkan aturan yang rasional dan keputusan yang logis.
Hazen sendiri tidak punya dendam pada letnan itu. Mendapat permusuhan dari atasan hanya akan merepotkan. Dia sudah cukup merasakannya dulu. Karena itulah dia bahkan mengikuti ujian perwira agar tidak mengalami hal seperti itu lagi, tapi ternyata tidak ada bedanya.
Dia berharap bisa meredakan kemarahan letnan itu dan menjalin hubungan baik.
Keheningan Letnan Mospitza berlanjut, menciptakan suasana tidak menyenangkan. Di tengah situasi itu, Kolonel Gedol memberi saran sambil menatap keduanya.
“Yah, Letda Hazen. Kami paham kau tidak berniat menyembunyikan apapun. Tapi karena Letnan Mospitza menganggap ini ‘penting’, bagaimana kalau kau jelaskan di sini sekarang?”
“Baik, saya akan menjelaskan. Mereka dieksekusi sesuai peraturan militer karena berencana meracuni atasan mereka.”
“Mana buktinya?”
Letnan Mospitza menuntut dengan bersemangat.
“Mereka tertangkap basah. Saat saya menyelidiki anggur beracun, Serma Chomo melawan dan menyerang saya. Itu setara dengan pengakuan. Serma Dickett juga mengakui kesalahannya.”
“Jadi karena itu kau mengeksekusi bawahanmu?”
“Saya menganggap bukti situasional itu sudah cukup.”
“Itu ‘kan hanya versimu. Mana bukti objektifnya?”
Letnan Mospitza menatap tajam sambil berdecak.
“Racun ditemukan di kamar Serma Chomo.”
“Jangan bilang kau yang melakukan penyelidikan itu?”
“Saya meminta Pembantu Letnan Dua Thomas dari Peleton 6 untuk menyaksikannya.”
“Kuh… Bagaimana dengan kamar Serma Dickett?”
“Tidak ditemukan racun. Mungkin karena Serma Chomo adalah dalangnya.”
“Jadi kau mengeksekusi orang yang bukan dalang juga?”
“Ya. Menurut peraturan militer, baik dalang maupun bukan, keduanya pantas dihukum mati.”
“Tapi bukankah itu terlalu kejam?”
“Tidak. Ini sesuai peraturan militer.”
Saat itu Hazen merasa khawatir. Mungkinkah Letnan Mospitza ini tidak memahami peraturan militer?
“…Tapi pada akhirnya kau telah mengurangi dua anggota regu kita. Bagaimana kau akan bertanggung jawab?”
“Dari segi kualitas regu, justru meningkat. Selama bisa menjalankan peran sebagai militer dengan baik, berkurangnya personel bukan masalah.”
“Bagaimana kau membuktikannya?”
“Ada tiga pilihan. Audit. Latihan simulasi. Kinerja di medan perang. Yang paling nyata adalah menunjukkannya melalui kinerja di medan perang.”
“Percaya diri sekali. Tapi itu butuh waktu. Bagaimana jika harus membuktikannya sekarang? Tentu saja, aku ingin mendengar penilaian objektif, bukan pendapat subjektifmu.”
Letnan Mospitza berkata dengan nada menang.
“Kolonel Gedol.”
“Ya?”
“Siapa yang memberikan penilaian positif terhadap Peleton 8 yang Anda sebutkan tadi?”
“…Mayor Yuela. Dia kebetulan melihat latihan kalian dan mengatakan semangat dan koordinasi kalian lebih baik dari regu manapun.”
“Terima kasih. Letnan Mospitza, Mayor Yuela memimpin pasukan yang sama sekali berbeda dari regu kita yang berada di bawah Mayor Lambal. Saya rasa ini cukup sebagai penilaian objektif, bagaimana menurut Anda?”
“…”
Letnan Mospitza terdiam dengan wajah pucat pasi. Hazen bertanya-tanya kenapa. Padahal dia sudah menjawab dengan cepat. Memberikan penjelasan yang seharusnya memuaskan.
Hazen sendiri tidak punya pengalaman berada di militer negara besar. Tapi dia yakin tidak salah bertindak sesuai budaya hierarki dan peraturan militer. Sebenarnya apa yang salah?
“Apakah kesaksian Mayor Yuela tidak cukup? Ada masalah dengan kredibilitasnya? Atau kualifikasinya?”
“A-aku tidak bilang begitu! Ba-baiklah, kuakui. Memang kualitasnya tidak menurun.”
“Begitu. Kalau begitu tidak ada masalah, ‘kan?”
“Ta-tapi! Tapi! Tetap saja kau telah mengorbankan dua nyawa. Mereka pasti punya keluarga, ‘kan?”
“Mungkin saja.”
“Apa kau tidak merasa bersalah?”
“Tidak.”
“Tidak merasa tidak enak pada keluarga mereka?”
“Tidak.”
“Kenapa? Apa kau tidak merasa bersalah pada keluarga prajurit yang gugur? Bagaimana dengan tanggung jawabmu?”
“Mereka bukan gugur dalam tugas. Melanggar peraturan militer sama dengan pemberontakan. Karena itu, tidak ada kewajiban atau tanggung jawab untuk memberi kompensasi pada keluarga mereka.”
“…”
Letnan Mospitza kembali terdiam. Hazen benar-benar bingung, sebenarnya apa yang diinginkan pria ini?
“…Apakah maksud Anda kita harus memperlakukan pelanggar peraturan militer sama dengan prajurit yang gugur?”
“Aku tidak bilang begitu!”
“Lalu apa sebenarnya yang ingin Anda katakan?”
“Kuh…”
Melihat Letnan Mospitza kembali terdiam, Hazen mulai merasa jengah. Dia mulai berpikir mungkin ada masalah dengan kualifikasi Letnan Mospitza ini.
Merasa percuma melanjutkan pembicaraan ini, Hazen memutuskan untuk sedikit membantah.
“Saya sudah memeriksa catatan. Sepuluh letnan dua dan pembantu letnan dua Peleton 8 yang ditempatkan di sini semuanya meninggal dalam keadaan mencurigakan.”
“…Apa maksudmu? Kau mau bilang karena itu perbuatan Serma Chomo jadi harus dimaklumi?”
“Bukan. Saya ingin tahu bagaimana Letnan Mospitza memandang tanggung jawab atas hilangnya sepuluh personel dari regu?”
“…Penyebabnya tidak diketahui karena kematian mereka mencurigakan.”
“Sepuluh kematian mencurigakan tapi penyebabnya tidak bisa diungkap? Bukankah itu masalah?”
“Ma-masalah katamu? Hei, kau! Apa maksudmu!?”
Letnan Mospitza jelas panik seraya melihat sekeliling.
“Seharusnya sejak korban pertama, bisa dilakukan tindakan untuk mengurangi kemungkinan penyebab sebelum korban kedua jatuh. Begitu juga untuk korban ketiga dan seterusnya, seharusnya tidak sampai ada sepuluh korban. Kalau tidak melakukannya, berarti sangat tidak kompeten… atau sengaja membiarkannya. Saya hanya bisa membayangkan salah satu dari dua kemungkinan itu.”
Pernyataan tegas Hazen membuat suasana di sekitarnya sedikit riuh.
“Jangan bercanda! Ini penghinaan terhadap atasanmu, tahu?”
“Kalau begitu, apakah ada alasan jelas lainnya?”
“… A-aku tidak hanya mengawasi Peleton 8. Aku juga harus mengatur dan mengelola regu-regu lain, jadi tidak punya waktu untuk itu.”
“Apakah Anda memerintahkan penyelidikan penyebabnya?”
“…”
Wajah Letnan Mospitza semakin memucat.
“Jangan-jangan, Anda bahkan tidak melakukan itu? Padahal 10 orang meninggal?”
“Te-tentu saja aku melakukannya.”
“Kalau begitu, boleh saya lihat dokumen hasil penyelidikannya?”
“Ke-kenapa aku harus memperlihatkannya padamu!?”
“Untuk memastikan ‘bukti objektif’ yang baru saja Anda minta dari saya, Letnan.”
“I-itu tidak bisa langsung kukeluarkan.”
“Di mana tempat penyimpanannya? Jika Anda beritahu, saya akan mencarinya sendiri.”
“… Aku lupa.”
“Lupa? Anda lupa di mana menyimpan dokumen kasus kematian mencurigakan 10 orang?”
“…”
Ketika Letnan Mospitza melihat sekeliling, semua orang tersenyum kecut seolah tidak peduli. Sepertinya dia memutuskan untuk diam karena merasa situasinya tidak menguntungkan.
Tentu saja, jika mempertanyakan tanggung jawab atas hal ini, atasan Letnan Mospitza yang membiarkannya juga ikut bertanggung jawab. Tapi mereka juga sibuk. Artinya, mereka tidak menganggap ini penting. Sebenarnya, Hazen sendiri juga tidak menganggap ini penting sama sekali.
Namun, pria gugup di hadapannya ini mempermasalahkan hal itu dan mulai membuat keributan. Kalau begitu, dia harus mengeluarkan bukti yang dianggapnya penting.
“Letnan Mospitza. Anda telah kehilangan 10 orang. Dan Anda lupa di mana menyimpan dokumen yang Anda sengaja kirim orang untuk menyelidikinya?”
“A-aku hanya tidak ingat sekarang! Tidak seperti kau, kompi kami punya banyak tugas!”
“Jadi kalau punya banyak tugas, boleh mengabaikan hilangnya 10 nyawa?”
“Be-benar! Aku memimpin lebih dari 200 bawahan. Sepuluh orang dari itu bahkan tidak sampai 10%! Kau pikir berapa banyak yang gugur setiap hari? Aku tidak punya waktu untuk mengurusi hal-hal sepele seperti itu!”
“Kalau begitu, bisakah Anda menjaga ucapan Anda?”
“… Apa?”
Mendengar kata-kata itu, Letnan Mospitza menunjukkan ekspresi tidak percaya, dan orang-orang di sekitar mulai ribut.
“Menurut logika Anda, 10 kematian mencurigakan itu jumlah yang tidak berarti dibandingkan jumlah yang gugur, jadi pemahaman Anda adalah ‘tidak masalah jika kurang dari 10%’ dari jumlah bawahan, ‘kan? Kalau begitu, Peleton 8 saya hanya kehilangan 2 orang dari 40 anggota. Ini juga kurang dari 10%, sama seperti kerugian yang Anda sebut. Jadi, tidak ada alasan untuk meminta pertanggungjawaban saya.”
“Hah… Kuh…”
Letnan Mospitza tampak sangat kacau sampai tidak bisa berkata apa-apa lagi. Namun Hazen tidak berhenti menyerang. Dengan mata hitam pekatnya, dia menatap tajam seolah menusuk ke dalam hati Letnan Mospitza.
“Jika Anda tetap mengatakan ini ‘penting’, saya tidak keberatan jika ada penyelidikan eksternal. Tentu saja, kasus Anda juga akan diselidiki… secara menyeluruh.”
“Hiii… Hah… I-itu… Ah…”
Saat wajah Letnan Mospitza berubah pucat pasi, Kolonel Gedol yang tidak tahan melihatnya akhirnya turun tangan sambil tersenyum kecut.
“Sudah, cukup. Persoalan kali ini tidak ada masalah seperti yang dikatakan Letda Hazen. Sepertinya Letnan Mospitza juga sedikit emosional. Kita akhiri sampai di sini. Tidak ada dendam. Kalian tetap atasan dan bawahan, jadi tidak apa-apa ‘kan, Letnan?”
“… Ya…”
Letnan Mospitza mengeluarkan suara rintihan yang hampir tidak terdengar seperti jawaban.
“Letda Hazen juga tidak keberatan, ‘kan?”
“Tentu saja. Letnan Mospitza, sekali lagi mohon kerja samanya.”
Hazen tersenyum cerah dan mengulurkan tangannya.
Setelah keluar dari ruang komando, Ray Fa berdiri dengan wajah khawatir.
“Aku dengar banyak teriakan dari dalam?”
“Ah, itu Letnan Mospitza, atasanku. Sepertinya dia agak sensitif, jadi kita harus hati-hati.”
“… Tapi tadi tidak terdengar seperti kau berhati-hati.”
“Oh, ya?”
Padahal Hazen merasa sudah sangat berhati-hati dan berbicara dengan sopan.
“Yah, percuma saja mengatakan hal seperti itu pada Hazen.”
“Tidak begitu. Berkomunikasi dan menyesuaikan diri dengan atasan juga tugas seorang prajurit.”
“… Justru karena kau tidak mengerti itulah yang membuatnya sia-sia.”
Ray Fa mengeluh, tapi Hazen sama sekali tidak mengerti maksudnya jadi dia mengabaikannya.
Beberapa hari kemudian, saat sedang latihan, Pembantu Letnan Dua Gaby dari Peleton 5 berlari menghampiri.
“Letda, ada panggilan darurat untuk para letnan dua dan pembantu letnan dua. Suku Kumin muncul. Kita diminta berkumpul di ruang rapat besar.”
“Baik.”
Hazen segera berbalik dan pergi bersama Pembantu Letnan Dua Gaby.
Saat memasuki ruang rapat besar, sebagian besar letnan dua dan pembantu letnan dua sudah berkumpul.
“Lama sekali! Apa yang kalian lakukan!?”
Letnan Mospitza jelas-jelas berteriak ke arah mereka.
“Kami tidak terlambat. Kami datang secepat mungkin.”
“Diam!”
Saat Letnan Mospitza berteriak dan hendak memukul pipi Hazen, Ray Fa memutar pergelangan tangannya.

“Ka-kau! Lepaskan!”
“… Ray Fa. Jangan hancurkan pergelangan tangannya.”
Begitu Hazen memberi perintah, wajah Letnan Mospitza berubah.
“Hiiik, le-lepaskan. Lepaskan.”
Meski dia terus meronta dan meminta dilepaskan, Ray Fa tidak melepaskannya. Dia hanya diam dan terus memegang pergelangan tangan Letnan Mospitza. Akhirnya, ketika Hazen memerintahkan “Lepaskan”, Ray Fa segera melepaskannya.
“Maaf, ya. Pengawal saya bukan anggota militer, jadi dia tidak menerima perintah dari Letnan. Saya memerintahkannya untuk hanya melaksanakan perintah saya sebagai pengawal pribadi.”
“A-apa katamu?”
“Tentu saja, jika saya melakukan kesalahan, saya akan menerima hukuman. Dalam kasus itu, saya akan memerintahkan Ray Fa untuk tidak menghalangi. Tapi saya tidak berniat menerima teguran tidak masuk akal berdasarkan penilaian yang tidak jelas seperti tadi. Juga, untuk tindakan kekerasan yang tidak beralasan dan tidak masuk akal, saya menilai tindakan perlindungan Ray Fa sudah tepat dan tidak akan menghentikannya.”
“…”
Bibir Letnan Mospitza bergetar hebat.
“Mohon hati-hati. Ray Fa bisa menghancurkan tangan orang biasa dalam waktu kurang dari satu detik.”
“…”
Keringat mengalir deras di dahi dan punggung Letnan Mospitza. Meskipun Hazen sudah memperingatkan dengan sangat sopan, sepertinya Letnan Mospitza masih sulit memahaminya.
“Daripada itu, mari segera mulai rapatnya. Kita sudah membuang-buang waktu dengan perdebatan tidak penting.”
“… A-aku tahu. Di mana posisi kemunculan suku Kumin?”
“Sekitar 3 kilometer dari perbatasan selatan,” jawab Pembantu Letnan Dua Asalak dari Peleton 4.
“Ada desa Kanahal di dekat situ. Berapa jumlah mereka?”
“Sekitar 100 orang.”
“… Peleton 8. Kalian jadi pasukan pelopor untuk mempertahankan desa. Kami akan memantau situasi dan memberikan bantuan jika diperlukan.”
“Dimengerti.”
Hazen menjawab dengan cepat dan segera meninggalkan ruang rapat besar.
“Kau tidak perlu mendengar detail strateginya?” tanya Ray Fa yang mengikuti dari belakang.
“Tidak perlu. Yang lebih penting adalah tiba di medan perang secepat mungkin.”
Mereka tiba di lapangan latihan dengan berkuda dari kandang kuda.
“Berkumpul di titik selatan 55 barat 37. Prada[4] Edal, periksa lokasinya dan pimpin pasukan infanteri. Serma Buzz, ambil alih komando dan bersiap.”
“Siap!”
Saat Hazen memacu kudanya, semua orang mulai berlari seolah tersentak. Tentu saja, karena kecepatan kuda, para prajurit tertinggal jauh. Namun Hazen tidak peduli dan terus berlari. Komandan yang memimpin di garis depan bisa menjadi semacam bendera pemimpin.
Setelah sekitar 5 menit, Hazen melihat musuh dari suku Kumin. Secara refleks, dia bersembunyi di semak-semak dan menghentikan kudanya. Empat menit kemudian, pasukan infanteri tiba dengan menggunakan Hazen sebagai penanda.
“Waktu yang bagus.”
“Hah… hah… Terima kasih,” jawab Serma Buzz dengan terengah-engah.
Hazen terus mengamati suku Kumin. Mereka sedang dalam perjalanan. Masih belum jelas apakah desa-desa di sekitar sudah terkena dampaknya.
Suku Kumin adalah suku asing yang tinggal di pegunungan di daerah ini. Mereka memiliki kaki dan pinggang yang kuat, dan ahli menggunakan kapak tangan. Mereka mengenakan bulu binatang dan mengecat setengah tubuh mereka. Karena telah lama tinggal di tanah ini, mereka dianggap sebagai penduduk asli sini.
“Apakah ada penyihir di antara mereka?”
“Dari yang saya lihat, mungkin satu orang. Pria dengan mahkota besar itu,” Prajurit Dua Edal menunjuk.
“Apa alasannya?”
“Mahkota adalah simbol kepahlawanan bagi suku Kumin. Tapi saya tidak tahu tongkat sihir apa yang dia miliki.”
“Baiklah. Kalau begitu, aku akan memancingnya keluar. Jika dia tahu aku juga komandan, dia mungkin akan datang sendirian. Begitu kita mengalahkan penyihir suku Kumin, kita akan menyerang dari dua sisi.”
“Siap.”
Pertarungan antar penyihir sering menjadi duel satu lawan satu. Bagi mereka yang tidak bisa menggunakan sihir, dibutuhkan keterampilan tinggi atau jumlah yang banyak untuk melawan seorang penyihir. Pasukan suku Kumin di sini setara dengan satu kompi dalam ukuran militer kita. Komandan mereka mungkin setara dengan pangkat letnan dua.
Hazen meninggalkan Peleton 8 dan muncul dari semak-semak lain.
Beberapa detik kemudian, salah satu anggota suku Kumin menyadari kehadirannya. Untuk melakukan serangan dari dua sisi, Hazen sengaja membuat jarak dengan membiarkan musuh mengejarnya.
Tiba-tiba, cincin es melayang dari belakang. Hazen mengendalikan kudanya dengan tali kekang untuk menghindarinya, tapi cincin kedua dan ketiga terus menyerang.
“Hmm, jadi itu kemampuan tongkat sihirnya.”
Penyihir suku Kumin menciptakan es berbentuk kapak dari ujung tongkat sihirnya dan melemparkannya. Es itu berputar dengan kecepatan tinggi membentuk cincin.
Hazen berhenti menghindar dan mengayunkan tongkat sihirnya, Gaei, secara vertikal. Tiba-tiba, angin kencang muncul dari bayangannya, mengubah arah cincin es yang lewat di samping Hazen.
Gaei memiliki kemampuan untuk mengendalikan bayangan dan angin. Meskipun tongkat sihir ini dibuat dengan harga murah saat di akademi dan kekuatannya tidak tinggi, Hazen menyukai kegunaannya yang luas.
Selanjutnya, Hazen mengayunkan Gaei ke kiri dan kanan, menciptakan banyak bayangan tipis seperti kertas dari bayangannya sendiri. Bayangan-bayangan kertas itu menyerang penyihir suku Kumin.
Penyihir suku Kumin kebingungan menghadapi gerakan tidak teratur bayangan kertas yang terbawa angin dan akhirnya terjerat.
Hazen kemudian mengangkat Gaei ke langit.
Itu adalah sinyal bagi Peleton 8 untuk memulai serangan. Di depan ada Hazen si penyihir, di belakang ada Peleton 8. Meskipun jumlah musuh dua kali lipat, serangan dari dua sisi berjalan sesuai rencana.
Pasukan suku Kumin menyerang Hazen. Mungkin mereka berniat mengandalkan jumlah untuk membebaskan penyihir mereka. Hazen segera memutar kudanya, menjaga jarak yang tepat sambil memutar Gaei. Banyak pusaran bayangan muncul. Saat dia mengarahkan tongkatnya ke depan lagi, pusaran-pusaran bayangan itu menyerang.
“Guaaah!”
Para prajurit suku Kumin terpental. Dengan membentuk jalur angin menggunakan bayangan, Hazen menciptakan tekanan angin berputar di sekitarnya. Meskipun bukan serangan langsung, sihir ini efektif untuk menghancurkan formasi musuh.
Pasukan Peleton 8 menyerang formasi suku Kumin yang sudah kacau. Karena strategi disusun berdasarkan latihan sehari-hari, gerakan semua anggota lancar tanpa hambatan. Mereka terus mengalahkan para prajurit suku Kumin satu per satu.
Hasil pertempuran sudah jelas. Suku Kumin mulai melarikan diri. Ketika Hazen mengangkat tangannya tinggi-tinggi, seluruh Peleton 8 bersorak gembira.
“Para sersan mayor, periksa kerugian kita.”
“Siap!”
Para sersan mayor menjawab dengan penuh semangat perintah yang diucapkan dengan tenang itu.
“Lima orang luka ringan, tidak ada yang luka berat, tidak ada korban jiwa.”
“Begitu.”
Setengah dari suku Kumin tewas, setengahnya melarikan diri. Ini bisa dibilang kemenangan besar. Hazen mendekati penyihir suku Kumin yang masih terikat oleh bayangan kertas.
“Bisakah kau berbicara?”
“Uru! Nariaga! Korra!”
Sepertinya itu bahasa suku Kumin. Hazen memungut tongkat sihir di tanah sambil berpaling ke Serma Buzz.
“Tangkap dia.”
“Eh? Kita tidak membunuhnya?”
“Perlakukan tawanan dengan baik. Mungkin kita bisa menggunakannya untuk negosiasi.”
“Dimengerti.”
“Jika dia melakukan kekerasan, hukum sesuai peraturan militer. Jangan lupa memperlakukannya sebagai prajurit.”
“Si-siap!”
30 menit kemudian, kompi yang dipimpin Letnan Mospitza tiba.
“Anda terlambat. Pasukan musuh sudah dihancurkan.”
“… Kau bertindak sendiri?”
“Ya.”
“Kenapa tidak meminta instruksi!?”
Letnan Mospitza berteriak dengan wajah merah padam.
“Jika kami menunggu, pasukan suku Kumin akan menyerang desa terdekat. Karena itu, kami memutuskan untuk bertarung sendiri.”
“I-itu hanya hasil akhirnya saja! Untuk apa pasukan pelopor dikirim!? Tugas kalian adalah memberikan informasi kepada kami, bukan!?”
“Saya menilai tidak akan sempat jika harus meminta instruksi.”
“Bukan kau yang berhak menilai!”
“… Saya beranggapan bahwa sebagai pasukan pelopor yang ditugaskan, kami memiliki wewenang untuk mengambil keputusan di lapangan. Ini sama seperti hubungan antara Istana Langit Kekaisaran dan kami, penjaga perbatasan distrik Garna Utara. Pernyataan Letnan sepertinya menyangkal hal itu, apakah tidak apa-apa?”
“Kuh… Aku tidak bilang begitu!”
“Kalau begitu, apa sebenarnya yang ingin Anda katakan?”
Hazen bertanya dengan ekspresi bingung, tapi Letnan Mospitza terdiam. Hasil pertempuran adalah kemenangan telak tanpa korban jiwa. Hazen mengira tujuan mengirimnya sebagai pasukan pelopor adalah untuk “memanfaatkan karakteristik pasukan infanteri guna bersembunyi dan melakukan serangan mendadak”.
Tentu saja, mereka menunggu pasukan utama sampai batas waktu terakhir, tapi pergerakan mereka terlalu lambat hingga baru tiba 30 menit kemudian.
“Omong-omong, kenapa butuh waktu selama ini?”
“Ka-karena kalian tidak memberikan informasi, kami juga tidak bisa bergerak!”
“Informasi apa?”
“Ma-macam-macam lah. Seperti ukuran pasukan suku Kumin.”
“Bukankah karena sudah ada informasi itu makanya pasukan pelopor dikirim?”
“Su-sudah kubilang macam-macam, ‘kan! Misalnya berapa banyak penyihir mereka.”
“Meskipun ada berapa pun penyihirnya, bukankah tindakan ‘mencegah serangan ke desa’ tidak berubah? Kalau begitu, bukankah lebih baik menilai situasi setelah bergabung?”
“… Kau! Kudengar kau berduel dengan penyihir suku Kumin!?”
Tiba-tiba Letnan Mospitza mengalihkan topik. Apakah masalah sebelumnya sudah dianggap selesai?
“Ya, benar.”
“Kau ingin merebut semua prestasi? Karena itu kau memutuskan untuk menyerang sendirian sebagai pasukan pelopor?”
“Saya melakukannya karena itu strategi terbaik.”
“Ma-ka-nya! Itu ‘kan hanya hasil akhirnya saja?”
“Kalau begitu, boleh saya tahu? Strategi apa yang Letnan perkirakan selain serangan mendadak yang saya lakukan?”
“…!”
Letnan Mospitza kembali terdiam. Kemudian, keheningan canggung menyelimuti tempat itu. Hazen bertanya-tanya ada apa sebenarnya.
“Po-pokoknya, apa yang akan kau lakukan jika kalah dalam duel itu?”
“Saya tidak akan kalah. Jika Anda meragukan kemampuan saya, bagaimana kalau kita berduel?”
“A-apa katamu?”
Letnan Mospitza mundur beberapa langkah.
“Saya yakin Letnan sangat kuat, jadi saya ingin belajar satu atau dua hal dari Anda.”
“… Kenapa kau pikir aku kuat?”
Dia melirik dengan ekspresi yang tampak tidak keberatan.
“Dari ucapan dan tindakan Letnan selama ini, saya menyimpulkan Anda tidak kompeten. Jadi saya berpikir mungkin Anda naik ke posisi itu berkat kemampuan Anda sebagai penyihir.”
“Ku-ku-kurang ajar kau!”
Letnan Mospitza berteriak dengan wajah ungu.
“Ah, maafkan saya. Saya keterlaluan mengatakan Anda tidak kompeten. Karena kecerdasan Anda sangat rendah, kepribadian Anda licik, etika Anda buruk, dan Anda sama sekali tidak punya toleransi, saya menilai Anda pasti sangat kuat.”
“…”
Ketika Hazen menjawab dengan tegas, Letnan Mospitza terdiam untuk ketiga kalinya. Entah kenapa, para komandan peleton di sekitar juga menahan napas sambil menatap ke arah mereka. Di tengah situasi itu, Pembantu Letnan Dua Gaby dari Peleton 5 angkat bicara dengan canggung.
“Umm, bukankah itu agak tidak sopan?”
“Menunjukkan fakta bukan termasuk ketidaksopanan. Saya hanya melaporkan fakta berdasarkan analisis objektif.”
“… Be-begitu, ya.”
“Letnan. Jika tidak ada pertanyaan lagi, saya permisi. Kami harus memeriksa kerusakan di desa-desa sekitar.”
Ketika Hazen berbalik dan kembali ke Peleton 8, semua anggota memasang ekspresi terkejut.
“Ada apa? Apa terjadi sesuatu yang tidak terduga?”
“Tidak… hanya saja. Anda tetap menjadi Letnan Dua Hazen terhadap siapa pun.”
Serma Buzz menjawab dengan suara bergetar.
“Apa maksudmu? Tentu saja, itu hal yang wajar.”
“… Biasanya, itu tidak wajar.”
“Begitukah? Yah, setiap orang punya perbedaan dengan orang lain, jadi mungkin memang begitu. Yang lebih penting, mari kita periksa kerusakan di desa-desa sekitar.”
Hazen memberi perintah dengan suara lantang dan memacu kudanya.