Switch Mode

Isekai Romcom Volume 1 Epilog

Epilog

Epilog

 

Keesokan harinya setelah kencan di taman hiburan.

Setelah pengakuanku berhasil, kami pulang seperti biasa.

Ah, tidak… mungkin tidak bisa dibilang biasa.

Aku dan Sei-chan pulang sambil bergandengan tangan!

Wah, aku benar-benar gugup.

Sensasi tangan Sei-chan yang kecil dan lembut masih tak terlupakan bahkan setelah satu hari berlalu.

Tidak, mungkin lebih tepatnya, semua yang terjadi kemarin tak akan pernah kulupakan seumur hidup.

Pakaian manisnya saat pertama kali bertemu sungguh mengejutkan.

Lalu kami menikmati wahana bersama… Ah tidak, jangan ingat-ingat rumah hantu itu.

Ngomong-ngomong, aku benar-benar… sudah berpacaran dengan Sei-chan, ya.

Tanpa sadar, sudut bibirku terangkat.

“Kak, kenapa nyengir-nyengir begitu sambil makan sarapan?”

“Hm? Oh, hanya sedikit teringat sesuatu yang lucu.”

“…Begitu ya.”

Di hadapanku, adikku Rie sedang makan sarapan bersama.

“Terima kasih untuk sarapannya hari ini juga, enak, lo.”

“…Mm.”

Ketika aku berkata begitu, Rie berhenti makan sejenak, tetapi kemudian menjawab sekenanya dan mulai makan lagi.

Tapi, apa hanya perasaanku saja kalau telinganya sedikit memerah?

“Aku juga sudah menyiapkan bekal. Memang sisa makanan semalam, sih.”

“Terima kasih. Kalau makanan semalam berarti nikujaga, ya. Aku suka, jadi senang.”

“…Begitu.”

Ya, ternyata bukan hanya perasaanku. Kali ini pipinya juga memerah.

Rie yang berusaha menyembunyikan-nya terlihat sangat manis, membuatku tersenyum lebar.

Selesai makan, aku dan Rie kembali ke kamar masing-masing untuk bersiap-siap ke sekolah.

Hari ini Senin, jadi hari biasa untuk pergi ke sekolah.

Oh iya, kemarin Sei-chan bilang padaku…

“To-tolong rahasiakan hubungan kita di sekolah.”

Begitulah katanya.

Aku rasa ini adalah hal yang umum di kalangan pelajar, ada pasangan yang mengumumkan hubungan mereka dan ada yang menyembunyikannya.

Mungkin masing-masing punya alasannya sendiri, tapi alasan Sei-chan ingin merahasiakannya adalah…

“Ka-kalau orang lain tahu, aku malu…”

Saat dia mengatakan itu, aku pikir jantungku akan meledak karena dia terlalu manis.

Aku, jika terus berpacaran dengan Sei-chan, mungkin suatu hari nanti akan benar-benar mati dengan deskripsi jantung meledak seperti di manga.

Aku harus berusaha agar itu tidak terjadi… oke?

Sambil memikirkan hal itu, aku berganti seragam dan keluar dari kamar.

“Kak, ayo berangkat.”

“Oke, ayo.”

Hari ini pun aku dan Rie akan pergi ke sekolah dengan bersepeda berdua.

Kami turun dari lantai dua ke lantai satu, mengganti sepatu di pintu masuk, dan tepat sebelum keluar…

“Sudah bawa bekal?”

“Ah, sudah, kok. Terima kasih, ya.”

“Mm… Oh iya Kak, bagaimana kencan kemarin?”

“Eh? Ah, yah… sangat menyenangkan.”

“Begitu ya… Ja-jadi, kalian sudah jadian…?”

Rie bertanya sambil menatapku dengan khawatir.

Sepertinya Rie mengira aku mungkin ditolak oleh teman kencanku.

Yah, kalau kakaknya ditolak, adiknya pun pasti akan merasa sedikit canggung.

Hmm, memang Sei-chan bilang jangan beritahu orang lain, tapi kalau cuma adik sendiri tidak apa-apa, ‘kan?

Lagipula Rie bukan tipe yang akan menceritakannya pada orang lain.

“Ah, kami berhasil jadian, kok, jangan khawatir.”

“Oh… be-begitu ya…”

Lo… kenapa malah tampak lebih murung?

Eh, jangan-jangan Rie berharap aku ditolak?

Sejak kapan dia jadi anak yang berkarakter buruk begitu…?

Kakakamu ini agak terkejut, lo.

“Syukurlah ya, Kakak yang menyatakan perasaan duluan, ‘kan?”

“Ah, iya… Lo, apa aku pernah cerita begitu pada Rie?”

“Kemarin, setelah Kak pergi kencan, aku dengar dari Shigemoto-san.”

“Oh, Yuuichi, ya.”

Benar juga, kemarin setelah aku pergi, Yuuichi masih tinggal di rumah.

“…Pacar Kakak cantik?”

“Hm? Ah, tentu saja, dia sangat manis.”

Kalau ada yang bilang Sei-chan tidak manis, aku akan menghajarnya.

“…Siapa yang lebih manis, aku atau dia?”

“…Eh?”

Aku terkejut mendengar pertanyaan tiba-tiba dari Rie.

Saat aku menoleh ke arahnya, pipinya lebih merah dibanding saat sarapan tadi.

“Ti-tidak jadi, deh! Ayo Kak, kita berangkat!”

Mungkin karena malu, Rie langsung keluar meninggalkanku di pintu masuk.

Aku sama sekali tidak menyangka Rie akan bertanya hal seperti itu…

Tapi kurasa tidak ada gunanya dia keluar duluan, toh kita akan pergi bersama naik sepeda.

Aku pun keluar dan pergi ke tempat sepeda diparkir, Rie sudah duduk di belakang.

“Lu-lupakan saja pertanyaan tadi. Ayo berangkat, Kak.”

“…Haha, baiklah.”

“A-apa yang kau tertawakan!”

“Tidak, aku hanya berpikir Rie memang manis, ya.”

“Uh… Kakak bodoh!”

Saat aku naik sepeda, Rie memukul punggungku, mungkin untuk menyembunyikan rasa malunya.

Aku menerima pukulan itu dengan lapang dada dan mulai mengayuh sepeda.

 

Setelah mengayuh sepeda sekitar sepuluh menit.

Di tempat biasa, tepat sebelum menurunkan Rie di dekat sekolah…

“Hi… Hisamura!”

“Hm? Eh, Sei-chan!?”

Aku menoleh ke arah suara yang memanggil namaku, dan Sei-chan berdiri di sana.

Aku mengerem mendadak dan kepala Rie terbentur punggungku.

“Aduh…!”

“Ah, maaf Rie, kau tidak apa-apa?”

“I-iya, aku tidak apa-apa, tapi… siapa dia?”

“Ah, itu Sei Shimada-chan, pacarku.”

“Oh… jadi dia orangnya…”

Rie berkata demikian sambil menatap Sei-chan dengan sedikit penasaran.

Yah, wajar saja kalau dia tertarik dengan pacar kakaknya.

Sei-chan mendekat ke tempat aku menghentikan sepeda.

“Se-selamat pagi, Hisamura.”

“I-iya, selamat pagi, Sei-chan.”

“Apa dia adikmu yang pernah kau ceritakan?”

“Iya, benar.”

Rie turun dari belakang sepeda dan berdiri di depan Sei-chan.

“Salam kenal, aku Rie.”

“Ah, salam kenal, aku Sei Shimada.”

“Kamu pacar Kakak, ‘kan?”

“Eh… Hisamura, kau sudah memberitahu Rie-san?”

“Ah, itu… maaf, aku sudah mengatakannya.”

“Be-begitu ya, yah kalau adik sendiri, sih… Um, sekali lagi, aku… pa-pacar kakakmu.”

Ugh… Sei-chan, hentikan, apa kau berniat membuatku mati karena gemas sejak pagi?

“Um, terima kasih sudah menjaga Kakak selama ini.”

“Ah tidak, justru aku yang selalu dibantu oleh kakakmu.”

…Entah kenapa posisiku di sini sangat memalukan.

Aku sama sekali tidak menyangka pacar yang baru jadian kemarin akan menyapa adikku di depan mataku seperti ini.

“Tapi benar seperti yang Hisamura katakan, Rie-san memang sangat manis, ya.”

“Uh, Kakak mengatakan hal seperti itu di luar rumah juga…!”

“Ya, dia bilang kau adik yang dibanggakannya.”

“…Kak, jangan mengatakan hal seperti itu di luar rumah.”

“Aku hanya mengatakan apa yang benar-benar kupikirkan.”

“Uh, su-sudah kubilang jangan mengatakan hal seperti itu.”

“Fufufu, memang benar-benar manis, ya.”

Sei-chan juga tersenyum sambil memuji Rie.

“Uh, Shi-Shimada-san juga, tolong hentikan…”

“Panggil Sei saja. Rasanya agak aneh dipanggil dengan nama keluarga oleh adik Hisamura.”

“…Kalau begitu, kamu juga boleh memanggil langsung namaku, Sei-san.”

“Ya, baiklah, Rie.”

Wah, Rie dan Sei-chan cepat sekali akrab.

Syukurlah, karena di cerita asli interaksi mereka tidak terlalu banyak, jadi aku tidak tahu bagaimana kecocokan mereka.

Sepertinya mereka cocok-cocok saja.

“…Ngomong-ngomong, Sei-san tidak memanggil Kakak dengan nama depannya?”

“Eh!? Ah, itu…”

Sei-chan tersipu malu sambil sesekali melirik ke arahku.

“Kakak memanggilmu dengan nama depan… bahkan dengan akhiran -chan.”

“Ah, yah, kurasa begitu.”

Rie menanyakan hal yang cukup mengejutkan.

Aku juga sedikit penasaran dengan cara Sei-chan memanggilku.

Tentu saja, aku akan lebih senang dipanggil dengan nama depan daripada nama keluarga.

“Itu… a-aku akan memanggilnya begitu nanti… tolong tunggu, ya.”

“…aku mengerti.”

Kalau dipandang dengan mata memohon seperti itu, aku bisa menunggu puluhan tahun.

Tapi suatu hari nanti ketika nama keluarga kami sama… Tunggu, aku harus berhenti berkhayal, kalau dilanjutkan aku bisa mati karena terlalu bahagia.

“…Kakak, Sei-san, bisakah kalian berhenti bermesraan di depanku?”

Rie berkata demikian dengan tatapan sedikit dingin.

“Ka-kami tidak bermesraan!”

“Mengatakan itu bukan bermesraan juga agak…”

“Eh… ki-kita tidak bermesraan, ‘kan?”

“…Begitu ya.”

Sepertinya standar ‘bermesraan’ antara Sei-chan dan Rie berbeda.

Aku juga berpikir tadi kami sedikit bermesraan, tapi…

Bagi Sei-chan, sepertinya itu belum termasuk bermesraan.

Dengan kata lain, ketika Sei-chan benar-benar ingin bermesraan, pasti akan lebih dari ini…

Aku jadi sangat menantikannya.

“Oh iya Sei-chan, ini pertama kalinya kita bertemu di sini, ada apa?”

Tempat ini… adalah tempat di mana kami berpisah saat pulang bersama setelah pergi ke kafe sepulang sekolah waktu itu.

“Ah, itu… aku berpikir kalau menunggu di sini, Hisamura pasti akan lewat…”

“Sei-chan, kamu terlalu manis sejak pagi hari, aku tidak tahan…!”

“He-hentikan, itu memalukan…!”

“…Ini namanya bermesraan, ‘kan?”

“A-aku tidak bermaksud bermesraan!”

Tidak, kupikir tadi Sei-chan yang memulainya.

“Ka-kalau begitu Sei-chan, mau pergi ke sekolah bersama?”

“A-aku memang berniat begitu… tapi bukankah kau akan naik sepeda dengan Rie?”

Ah benar juga, aku tadi naik sepeda berdua dengan Rie.

Yah, kalau begitu kita bisa mendorong sepedanya saja.

“Kalau begitu, biar aku saja yang naik sepedanya sendirian.”

“Eh?”

Rie berkata demikian sambil naik ke sepeda yang kutahan.

“Aku akan pergi duluan dengan sepeda, Kakak dan Sei-san bisa jalan berdua dengan santai.”

“Rie, tidak apa-apa?”

“Tidak masalah, kok. Lagipula kalau aku terus bersama kalian berdua, sepertinya aku bisa muntah gula.”

“Eh? Rie punya penyakit seperti itu? Kamu tidak apa-apa?”

…Sei-chan benar-benar mengira Rie serius dan mendekatinya dengan sangat khawatir.

“Aku belum pernah dengar ada penyakit muntah gula… Apa kamu baik-baik saja?”

“Bukan, Sei-chan, bukan begitu. ‘Muntah gula’ itu semacam ungkapan kiasan.”

“Maksudku, atmosfer di antara kalian berdua terlalu manis sampai-sampai rasanya gula bisa terbentuk dalam tubuhku.”

“Apa!? A-atmosfer yang manis itu maksudnya apa!?”

Ternyata Sei-chan punya sisi polos yang tak terduga.

“Kalau begitu, aku berangkat duluan, ya.”

“Ah, terima kasih ya, Rie.”

Rie bersiap mengayuh sepedanya.

“Terima kasih, Rie. Lain kali kita ngobrol lagi, ya.”

“Ah… i-iya.”

Saat Sei-chan tersenyum dengan sangat keren, Rie menjawab dengan pipi sedikit memerah.

Kemudian Rie mengayuh sepedanya dengan cepat menuju sekolah, seolah-olah melarikan diri.

“…Sepertinya wajahnya memerah, apa dia terkena flu? Apa Rie memaksakan diri?”

“Tidak, kurasa dia baik-baik saja. Ini gara-gara Sei-chan, sih.”

“A-aku? Kenapa?”

“Sei-chan, jangan membuat seluruh keluargaku jatuh hati padamu, ya.”

“A-apa maksudnya!?”

Oh iya, di cerita asli Sei-chan adalah karakter cowok ganteng yang disukai para gadis, ya.

Melihat yang tadi, aku jadi paham.

“Ngomong-ngomong, sebaiknya kita juga berangkat sekarang, kalau tidak nanti kita bisa terlambat.”

“Be-benar juga.”

Lalu kami mulai berjalan berdua dengan pelan.

Dibandingkan saat pulang dari kencan kafe setelah sekolah waktu itu… jelas jarak di antara kami berdua lebih dekat.

Kalau tangan sedikit digerakkan, mungkin akan menyentuh tangan Sei-chan.

Tidak… mungkin kami berdua memang menginginkan itu.

“…Sei-chan, boleh pegangan tangan?”

“…Ya, boleh, tapi…”

Karena diizinkan, aku menggenggam tangan kiri Sei-chan dengan tangan kananku.

“Ja-jangan langsung digenggam, aku kaget tahu.”

“Eh, tadi kamu bilang boleh, ‘kan?”

“A-aku mau melanjutkan kalimatku. Pegangan tangan boleh, tapi, um… aku malu kalau dilihat orang-orang di sekolah… Jadi saat sudah banyak murid, kita lepas, ya.”

“Hmm, oke. Berarti kita punya waktu sekitar lima menit, ya.”

Kalau begitu, aku akan menghargai lima menit ini sebaik-baiknya.

Tangan Sei-chan memang sangat lembut dan hangat.

Rasanya ingin terus bergandengan tangan seperti ini.

Tapi kalau begitu, tanganku pasti akan berkeringat parah… mungkin sekarang pun sudah parah.

A-apa tidak apa-apa, ya? Asal Sei-chan tidak keberatan, sih…

“Sei-chan, keringat tanganku tidak apa-apa?”

“Ah! Ma-maaf, apa keringat tanganku terlalu banyak!?”

“Eh? Ah, bukan, bukan Sei-chan, tapi tanganku.”

Sepertinya cara bicaraku yang buruk membuatnya salah paham.

“Be-begitu ya. Tidak, itu tidak masalah. Mungkin tanganku juga… um, berkeringat…”

“Kalau keringat Sei-chan, sih, tidak kotor, kok, jadi tidak masalah.”

“Tidak, keringat siapa pun itu kotor…”

Kalau keringat Sei-chan, aku sama sekali tidak keberatan.

Tidak, malah sebaliknya, aku penasaran, seperti baunya.

…Tapi aku tidak akan mengatakannya pada Sei-chan, nanti dikira mesum.

Untuk sementara, karena kami berdua masih sedikit malu, kami berjalan dalam diam.

…Kemarin kami juga bergandengan tangan, tapi hari ini apa boleh sedikit lebih maju?

“Sei-chan, boleh pegangan tangan ala pasangan?”

“Ah… y-ya, boleh saja…”

Setelah mendapat persetujuan lagi, aku melepaskan tangan sebentar, lalu segera menggenggamnya kembali.

Kali ini jari-jari kami saling bertautan, cara bergandengan yang disebut ‘pegangan tangan ala pasangan’.

Dibandingkan dengan genggaman biasa, cara ini terasa lebih intim… dan seperti namanya, rasanya lebih seperti pasangan kekasih.

Kami berdua jadi lebih malu dari sebelumnya, sehingga semakin terdiam.

Tapi… meskipun suasananya agak canggung, aku tetap merasa bahagia.

Aku berharap Sei-chan juga merasakan kebahagiaan yang sama, tapi entahlah.

 

Beberapa menit kemudian, karena jumlah murid di sekitar kami mulai bertambah, kami melepaskan pegangan tangan.

Sebenarnya aku ingin terus bergandengan, benar-benar ingin terus seperti itu, tapi aku mengerti perasaan malu Sei-chan.

Sepertinya dia tidak ingin hubungan kami diketahui di sekolah.

Yah, meskipun kami berjalan berdua ke sekolah, selama tidak bergandengan tangan, mungkin tidak akan terlalu menarik perhatian.

Orang lain juga tidak tahu dari mana kami mulai berangkat bersama.

Tidak aneh bagi teman laki-laki dan perempuan yang kebetulan bertemu di jalan untuk berjalan bersama ke sekolah.

“Ngomong-ngomong, apa kamu sudah memberitahu Fujise kalau kita pacaran?”

“Ya, aku sudah memberitahu Shiho. Semalam saat telepon.”

“Kalian akrab ya, sudah kuduga.”

“Hisamura juga sudah memberitahu Shigemoto?”

“Belum. Dia pingsan kemarin dan terus dirawat oleh Toujoin-san sejak saat itu.”

“Oh iya, benar juga.”

Kemarin, Yuuichi menerima pernyataan cinta dari Toujoin-san dan Fujise, lalu pingsan karena kebingungan.

Melihat itu, Toujoin-san bereaksi berlebihan dan melakukan berbagai pemeriksaan dengan peralatan medis termutakhir.

Berlebihan? Mungkin tidak juga.

Kalau ada orang yang kepalanya berasap lalu pingsan, siapa pun pasti akan sangat khawatir.

Ini dunia manga, jadi hal seperti itu bisa terjadi, tapi kalau di dunia nyata, mungkin orang itu sudah mati.

Setelah berbagai pemeriksaan, ternyata memang tidak ada masalah apa-apa.

Yah, tidak ada masalah itu yang terbaik.

Hari ini Yuuichi mungkin akan masuk sekolah seperti biasa.

Yuuichi yang sudah menerima pernyataan cinta dari Toujoin-san dan Fujise.

Mulai sekarang, mungkin akan ada perkembangan yang tidak kuketahui, berbeda dari cerita aslinya.

Aku hanya akan mengawasi perkembangan kisah cinta Yuuichi dan mereka berdua.

Sebagai sahabat Yuuichi, aku berniat membantunya sedikit.

“Ja-jangan bilang-bilang kalau kita pacaran di sekolah, ya.”

“Iya, aku mengerti.”

“Baguslah… tapi Shigemoto sepertinya akan bertanya macam-macam.”

“Ah… dia memang tipe yang seperti itu, sih.”

Dia tipe yang tanpa maksud jahat akan menanyakan hal-hal yang ingin dirahasiakan, bahkan di depan umum.

Kalau keadaan memburuk, aku akan memukulnya agar diam.

 

Setelah menikmati momen bahagia berangkat sekolah berdua dengan Sei-chan, kami tiba di sekolah.

Aku dan Sei-chan sekelas, jadi kami langsung masuk ke kelas yang sama.

“Ah, Sei-chan, selamat pagi. Hisamura-kun juga, selamat pagi.”

“Oh, Shiho, selamat pagi.”

“Pagi.”

Fujise yang berada di dekat pintu kelas menyapa kami.

“Fufufu, kalian datang ke sekolah berdua?”

Mungkin karena kami masuk kelas bersama, Fujise bertanya seperti itu.

“Ti-tidak, kami hanya kebetulan bertemu di sana. Iya ‘kan, Hisamura?”

“…Iya. Kami hanya kebetulan bertemu.”

“Fufufu, begitu ya~”

“He-hei, Shiho, sebenarnya kau tahu ‘kan…!”

Sei-chan mulai berbicara dengan suara pelan kepada Fujise.

Aku yang berada di dekat mereka bisa mendengarnya dengan jelas.

“Aku tahu kok. Habisnya kemarin Sei-chan banyak berkonsultasi denganku.”

“Ja-jangan katakan itu di sini! Kalau ada yang mendengar…”

“Tidak apa-apa. Tidak ada yang mendengar, kok.”

Fujise berkata demikian sambil melirik ke arahku.

Orang ini, dia tahu aku bisa mendengarnya tapi tetap berbicara.

Sepertinya Sei-chan mengira aku juga tidak bisa mendengar mereka.

“Kamu ‘kan bingung mau mengirim pesan RINE ke Hisamura-kun atau tidak untuk janjian berangkat sekolah bersama.”

“I-iya, sih…”

“Kamu bilang itu salah satu hal yang ingin kamu lakukan kalau punya pacar.”

Ja-jadi begitu…!

Aku juga sebenarnya ingin berangkat sekolah bersama setiap hari, tapi ternyata Sei-chan juga berpikir begitu, aku sangat senang.

Lagipula, semalam dia berkonsultasi seperti itu dengan Fujise, manis sekali.

“Shi-Shiho, kita tidak tahu siapa yang mungkin mendengar…!”

“Fufufu, aku mengerti. Rahasia ya kalau Sei-chan bilang ingin punya baju couple jika punya pacar.”

“Su-sudah kubilang, jangan katakan itu di sini…!”

Saat Sei-chan mengatakan itu, pandangan kami bertemu.

Wajah Sei-chan yang sudah memerah karena malu jadi semakin merah.

“Hi-Hisamura…! Kamu dengar pembicaraan tadi…!?”

“Ti-tidak, aku tidak mendengar-nya…?”

“Be-benarkah? Sumpah?”

“…Bagaimana kalau cincin couple saja?”

“Ternyata kamu dengar!”

Setelah itu, aku dimarahi oleh Sei-chan yang wajahnya merah padam.

Kenapa Fujise tidak dimarahi, tapi malah aku yang kena marah.

Pokoknya aku harus siapkan cincin seharga tiga bulan gaji… ah, tidak, ini bukan saatnya.

 

Setelah itu, kami mengikuti pelajaran seperti biasa, dan tibalah waktu istirahat siang.

“Yo, Yuuichi.”

Seperti biasa, aku makan siang bersama Yuuichi di dekat jendela kelas.

Aku duduk di kursi depan, Yuuichi di belakangku, dan kami makan bekal.

“Yo, Tsukasa. Makasih ya untuk kemarin. Meskipun kita tidak bertemu di taman hiburan, kamu mengawasi kencanku dengan Fujise, ‘kan?”

“Ah… soal itu…”

Oh iya, aku belum memberitahu Yuuichi kalau Toujoin-san datang ke sana gara-gara aku.

Sambil makan bekal seadanya, aku menjelaskan situasi saat itu.

“Eh, jadi begitu.”

“Ya, maaf ya. Malah jadi mengganggu.”

“Tidak, tidak apa-apa. Hasilnya, yah… aku juga senang bisa mendengar perasaan Kaori.”

“Meledaklah sana.”

“Tiba-tiba sekali!?”

“Kau, cobalah pikirkan situasimu dengan kepala dingin. Teman masa kecil sejak SD yang cantik dan nona muda berdada besar, dan gadis paling populer di sekolah kita menyatakan cinta padamu bersamaan… Kalau ada orang lain dalam situasi yang sama denganmu, apa yang akan kau lakukan?”

“…Menusuknya dari belakang di jalan malam.”

“Tuh, kau paham. Hati-hati di jalan malam, ya.”

“Tunggu dulu, aku bercanda. Aku tidak akan menusuk dari belakang di jalan malam, tapi aku pasti akan cemburu.”

“Ya, benar. Makanya hati-hati saat berjalan di malam hari.”

“Sudah kubilang itu bercanda.”

“Ara, tidak perlu khawatir. Kalau ada yang mencoba menusuk Yuuichi dari belakang, aku akan memusnahkan mereka. Jadi tenang saja berjalan bersamaku di malam hari.”

“…”

Saat aku dan Yuuichi sedang mengobrol, tiba-tiba terdengar suara perempuan dari dekat kami.

Kami berdua menoleh, dan tentu saja, di sana berdiri Kaori Toujoin.

“Selamat siang, Yuuichi, Hisamura-kun.”

“Y-yo, Kaori.”

“Se-selamat siang, Toujoin-san.”

Apa Toujoin-san punya teknik menghilangkan hawa keberadaan?

Aku sama sekali tidak menyadari kehadirannya sampai dia menyapa.

Dibandingkan dengan kemarin saat dia bertekad tidak akan mengganggu kencan, penampilannya sekarang jauh lebih bersinar.

Begitu dia masuk ke kelas ini, hampir semua mata tertuju padanya.

“Yuuichi, hari ini aku membuat bekal. Kamu mau makan, ‘kan?”

“Eh, serius? Ngomong-ngomong Kaori, kamu bisa masak?”

“Tentu saja, tidak ada yang tidak bisa kulakukan.”

Memang benar, di cerita asli pun kemampuan memasak Toujoin-san setara dengan koki profesional.

Yuuichi menerima bekal itu dan membukanya, terlihat makanan yang sangat menggugah selera.

“Wah, keren!”

“Fufufu, mulai besok aku akan membuatkannya terus. Yuuichi bisa makan banyak, ‘kan?”

“Ya, segini, sih, masih sanggup.”

“Eh, jadi mulai besok Toujoin-san akan datang ke kelas ini dan makan bersama?”

“Ya, itu rencanaku. Apa aku mengganggu?”

“Ti-tidak, aku, sih, tidak apa-apa.”

Aku tidak menyangka Toujoin-san akan bertindak sejauh ini.

Mungkin ini strategi untuk menaklukkan Yuuichi lewat perutnya.

Kalau begitu, bagaimana dengan kandidat pacar Yuuichi yang satunya…

“Ba-bagaimana ini, Sei-chan? Apa aku juga harus membuat bekal?”

“Tidak, kurasa kamu harus latihan dulu, Shiho.”

Terlihat Fujise yang memandang ke arah kami dengan cemas, dan Sei-chan yang wajahnya sedikit pucat.

Ya, Fujise adalah… tipikal heroine yang payah dalam memasak.

Dia seperti heroine di manga komedi romantis yang sering membuat makanan seperti dark matter.

Aku penasaran bagaimana itu bisa terjadi. Apa dia menggunakan bahan makanan misterius?

Biasanya dia tidak ceroboh sama sekali, tapi entah kenapa saat memasak dia bisa melakukan kesalahan dasar seperti salah memasukkan gula dan garam.

Akibat berbagai kesalahan itu, hasilnya bisa jadi sup krim yang seharusnya putih malah jadi hitam pekat.

Sebaliknya, Sei-chan yang terkadang menunjukkan sisi cerobohnya, dalam hal memasak dia sangat sempurna dan ahli… begitu menurut cerita aslinya.

Aku penasaran dengan masakan Fujise yang payah, tapi lebih dari itu, aku sangat ingin mencicipi bekal buatan Sei-chan.

Kalau bisa memilih hidangan terakhir sebelum mati, aku pasti akan memilih masakan Sei-chan.

“Sei-chan, maukah kau mengajariku lagi nanti?”

“…Te-tentu saja. Tapi saat memasak, tolong ikuti semua instruksiku, kumohon.”

“Ya, terima kasih!”

…Mereka berbicara seperti itu di sana, tapi aku sangat khawatir.

Kemampuan memasak Fujise begitu buruk sampai-sampai Sei-chan tidak langsung menjawab ketika diminta mengajari memasak.

Padahal Sei-chan adalah teman yang sangat peduli, sampai-sampai dia rela pergi ke taman hiburan sendirian untuk mengawasi kencan Yuuichi dan Fujise.

Hanya karena masalah memasak, dia sampai ragu-ragu seperti itu.

“Yuuichi, Hisamura-kun, boleh aku duduk di sini?”

“Ya, silakan.”

“Tentu, duduk saja.”

Toujoin-san duduk di dekat kami dan membuka bekalnya.

Sepertinya isi bekalnya sama dengan yang diberikan pada Yuuichi.

“Fufufu, dengan membuka bekal yang sama seperti ini, rasanya kita seperti sudah jadi keluarga ya, Yuuichi.”

“…Be-begitukah?”

“Ya, benar. Aku sebagai istri, dan Yuuichi sebagai suami… Ah, mungkin saja tahun depan saat ulang tahun Yuuichi, ini bisa jadi kenyataan, lo.”

“…Ba-bagaimana, ya.”

…Toujoin-san benar-benar agresif.

Ini masih di dalam kelas saat istirahat siang, ‘kan?

Di sekitar kita banyak murid lain, ‘kan?

Sejak Toujoin-san masuk, semua orang sudah memasang telinga, ‘kan?

“Ka-kamu dengar yang barusan…?”

“Ternyata memang benar, mereka berdua sudah bertunangan…”

Para murid di sekitar berbisik-bisik seperti itu.

…Bisakah kalian membicarakan hal seperti itu setelah orangnya pergi, atau setidaknya dengan suara yang tidak terdengar oleh yang bersangkutan?

Suara kalian terdengar jelas sampai sini.

“Ara, kami belum bertunangan, kok.”

Tentu saja Toujoin-san juga mendengarnya, tapi aku tidak menyangka dia akan menanggapi. Aku dan murid-murid lain terkejut.

“Oh… be-begitu ya.”

Seorang murid laki-laki di sekitar kami berkata demikian.

“Ya, benar. Tapi… keinginanku untuk menikah dengan Yuuichi adalah fakta.”

“Eeeh!?”

Karena Toujoin-san mengatakannya terus terang, bukan hanya laki-laki itu, tapi semua orang di sekitar terkejut dan bersuara.

Di antara murid perempuan, ada yang bersorak gembira.

“Tu-tunggu, Kaori! Di tempat seperti ini…!”

“Ara, bukankah ini salah Yuuichi yang selama ini tidak menyadari perasaanku?”

“Ma-maaf soal itu…!”

Wah, Toujoin-san benar-benar kuat.

Kalau begini, mungkin rumor akan menyebar ke seluruh sekolah lagi.

Rumor bahwa Kaori Toujoin mencintai Yuuichi Shigemoto dan ingin menikahinya.

Terlebih lagi, kali ini bukan rumor palsu yang disebarkan Toujoin-san sebelumnya, melainkan cerita nyata dengan banyak saksi mata.

Dibandingkan rumor sebelumnya, ini pasti akan menyebar lebih cepat.

Kalau begitu… tidak akan ada kesempatan bagi Fujise.

“Tu-tunggu sebentar…!”

Saat aku memikirkan hal itu, sebuah suara bergema di seluruh kelas.

Ketika aku menoleh, Fujise yang tadinya duduk jauh dari kami berdiri dan mendekat.

Di tengah perhatian seluruh kelas, Fujise berkata dengan wajah merah padam.

“A-aku juga…! Aku juga menyukai Shigemoto-kun! Aku tidak akan kalah dari Toujoin-san!”

Sejenak hening—lalu kelas dipenuhi teriakan.

“Eeeeeeeh!?”

“Fu-Fujise-san juga menyukai Shigemoto!?”

“Tidak mungkin!? Dua gadis tercantik di sekolah, keduanya menyukai Shigemoto!?”

“Cinta segitiga! Ini cinta segitiga! Luar biasa!”

Sungguh kegaduhan yang luar biasa.

Terutama para lelaki, mereka berteriak dan meratap karena cemburu.

Yah, aku bisa memahami perasaan mereka.

Kalau tidak ada Sei-chan, mungkin aku juga akan berada di pihak mereka.

“Tu-tunggu, Fu-Fujise, kenapa kau mengatakannya di sini…!”

“Ha-habisnya, kalau tidak kukatakan sekarang, nanti tersebar rumor lagi kalau Shigemoto-kun adalah tunangan Toujoin-san…!”

“Fufufu, kau punya nyali juga ya, Fujise-san. Pantas menjadi rivalku.”

Entah sejak kapan Toujoin-san juga berdiri, tersenyum dan menatap tajam ke arah Fujise.

“Maaf ya Fujise-san, tapi sejak aku lahir ke dunia ini, aku belum pernah kalah sekali pun.”

“Kalau begitu bagus, deh, karena kali ini kamu akan kalah untuk pertama kalinya, jadi bisa jadi lebih kuat lagi.”

“Kalaupun aku kalah sekali atau dua kali dalam hidup, itu pasti bukan di sini.”

“Itu belum tentu, lo, hidup ini tidak bisa ditebak.”

…Wah, kalian berdua benar-benar panas, ya.

Kelas yang tadinya gaduh seketika hening mendengar percakapan mereka berdua.

Mereka tersenyum satu sama lain, tapi justru itu yang lebih menakutkan.

“Shigemoto-kun, Hisamura-kun, boleh aku makan siang bersama kalian?”

“Eh, ah, bo-boleh saja.”

“Kalau Yuuichi tidak keberatan, aku tidak punya hak untuk menolak.”

“Terima kasih.”

“Ara, kau tidak menanyakan pendapatku?”

“Ah, maaf, aku lupa soal Toujoin-san. Tidak apa-apa ‘kan kalau aku bergabung?”

“…Fufufu, silakan saja.”

Seram, ini benar-benar menakutkan.

Eh, apa aku harus makan siang di tengah situasi mencekam ini?

“Yuuichi, mulai besok boleh aku makan sendirian di kantin?”

“Jangan, kumohon, tetaplah di sini.”

“…”

“Hei, katakan sesuatu.”

Aku benar-benar bingung, haruskah aku meninggalkan Yuuichi…

“Ah, Sei-chan! Sei-chan juga, ayo ke sini makan bersama!”

“…Shiho, aku senang kau tidak melupakanku, tapi kau yakin mengajakku ke situ?”

“Iya, ayo makan bersama?”

“…Haah, baiklah.”

Eh, Sei-chan juga akan bergabung dengan kelompok ini?

Kalau begitu, jika aku tetap di sini, aku bisa terus bersama…

“Yuuichi, mana mungkin aku mengkhianatimu. Ayo makan bersama.”

“Ya, kau benar-benar keterlaluan.”

Apanya yang keterlaluan, aku berniat tinggal demi Yuuichi.

Karena kami akan makan berlima, posisi duduk kami sedikit berubah.

Kami mengumpulkan kursi dan meja di sekitar.

Di depanku ada Yuuichi, di kedua sisinya duduk Toujoin-san dan Fujise.

Dan di sampingku… ada Sei-chan.

“Sei-cha… Shimada, mohon bantuannya.”

“…Ya, mohon bantuannya.”

Hampir saja aku memanggilnya Sei-chan di depan banyak orang di kelas.

Sei-chan menatapku tajam dengan pipi memerah, maafkan aku.

“Yuuichi, bagaimana bekalku? Enak?”

“Ah, iya, enak, kok.”

“Fufufu, syukurlah.”

“Shigemoto-kun, lain kali aku juga akan membuat bekal. Maukah kamu memakannya?”

“Te-tentu saja, aku menantikannya.”

Yuuichi tidak tahu kalau Fujise tidak bisa memasak.

Karena itu dia benar-benar menantikannya, tapi… apa akan baik-baik saja, ya?

“…Haah.”

Mendengar percakapan itu, Sei-chan menghela napas pelan agar tidak terdengar oleh tiga orang di depannya.

Ya, sepertinya memang tidak akan baik-baik saja.

Kelihatannya akan sulit bagi Sei-chan untuk mengajari Fujise memasak sendirian…

Aku mendekatkan mulutku ke telinga Sei-chan dan berbisik.

“Sei-chan.”

“Eh! A-ada apa…?”

Mungkin karena aku tiba-tiba berbicara di dekat telinganya, Sei-chan tersentak kaget.

“Aku akan bantu mengawasi masakan Fujise.”

“Hm… kau tahu? Kalau Shiho itu… sangat payah dalam memasak?”

“Yah, aku bisa menebaknya dari reaksimu.”

Sebenarnya aku tahu dari cerita aslinya, sih.

“Be-begitu ya… Aku senang kalau kau mau membantu. Dulu kami pernah membuat kue bersama… tapi aku masih tidak mengerti kenapa shortcake bisa jadi hitam.”

“…Aku tidak tahu apakah kehadiranku bisa membantu, tapi ya, aku akan berusaha.”

Mungkin memang tidak mungkin, tapi setidaknya aku akan berusaha agar tidak ada yang mati.

 

Di depan aku dan Sei-chan, Yuuichi tampak kebingungan terjebak di antara Toujoin-san dan Fujise.

Susah juga ya jadi pria populer, ditambah lagi tatapan tajam dari para lelaki di sekitar.

Aku benar-benar berharap dia berhati-hati agar tidak ditusuk dari belakang saat berjalan di malam hari.

Mungkin mulai sekarang, ketiga orang ini akan terus menjalani komedi romantis mereka.

Aku akan mengawasi mereka sebagai sahabat Yuuichi dan sebagai penggemar manga ini.

Dan… Sei-chan yang duduk di sampingku, tersenyum kecil sambil memperhatikan ketiga orang di depan kami.

Seharusnya dia juga bergabung dengan mereka bertiga dan menjadi heroine pendukung yang menyukai Yuuichi.

Tapi takdir itu telah kuubah.

Mulai sekarang, akulah yang akan membuatnya bahagia.

“…Hm? A-ada apa, kenapa menatapku terus?”

“Tidak… bukan apa-apa.”

“Begitukah?”

“Ya, aku hanya sedang melihatmu saja.”

“Uh… ja-jangan mengatakan hal seperti itu di tempat seperti ini.”

“Hehe, maaf maaf.”

Ah, memang benar… aku menyukai Sei Shimada.

Aku tidak sabar menjalani kehidupan SMA bersama dia mulai sekarang.

Comment

Options

not work with dark mode
Reset