Switch Mode

Isekai Romcom Volume 2 Chapter 1

Menuju Festival Olahraga

Bab 1: Menuju Festival Olahraga

 

Sore itu, sepulang sekolah, aku pergi ke “Moon Bucks Coffee” bersama Sei-chan.

Kami tidak keluar sekolah bersama, melainkan janjian bertemu di “Moonba”.

Kalau kami keluar sekolah bersama, namaku pasti akan langsung masuk daftar hitam.

Yah, sebenarnya aku juga tidak terlalu paham soal daftar hitam itu.

Seperti biasa, aku memesan es kopi biasa, sementara Sei-chan membeli minuman manis yang mirip dessert.

Ini sudah jelas kencan sepulang sekolah, ‘kan?

Dulu, saat aku masih di dunia sebelumnya, aku bahkan tak pernah bermimpi bisa kencan sepulang sekolah dengan Sei-chan.

Sungguh, aku merasa sangat bahagia.

“Hm? Ada apa?”

Sei-chan mengambil krim di atas minumannya dengan sendok sedotan, lalu membuka mulut kecilnya dan memakannya dengan imut.

Hanya dengan melihatnya saja aku sudah merasa bahagia dan ingin berteriak kegirangan.

“Aku teringat kejadian saat istirahat siang tadi. Kupikir Sei-chan masih tetap tidak suka kalah, ya.”

Sebenarnya aku hanya memerhatikan wajah imut Sei-chan saja.

“Uh… itu, tolong lupakan saja…”

“Hm? Eh, lupakan apa?”

Sei-chan berkata dengan canggung, tapi aku tidak mengerti apa yang harus kulupakan.

“Yah, interaksiku dengan Toujoin. Waktu itu aku juga, bagaimana, ya… terbawa emosi…”

“Bukankah itu bukan masalah? Toujoin-san yang mulai duluan, ‘kan?”

“Memang, sih… tapi, apa kamu jadi ilfeel?”

Sei-chan bertanya sambil sedikit menutupi mulutnya dengan minuman, menatapku dengan pandangan ke atas.

Jantungku langsung berdebar kencang.

Mungkin dia tidak sengaja, tapi itu terlalu imut.

“Mana mungkin aku ilfeel. Menurutku sisi Sei-chan yang seperti itu juga imut, aku suka, kok.”

“Be-begitu, ya… kalau begitu, tidak apa-apa…”

Sei-chan menyesap minumannya lewat sedotan dengan sedikit malu-malu.

“Oh iya, katanya anak laki-laki akan main baseball. Bagaimana dengan Hisamura? Shigemoto bilang kamu jago.”

“Yah, waktu SD aku sempat main baseball, jadi kurasa kemampuanku di atas rata-rata. Tapi tetap saja, aku yang amatir pasti kalah dari Yuuichi.”

Anak itu benar-benar tidak masuk akal. Bagaimana bisa seorang amatir memukul dua home run dari pitcher top tingkat prefektur?

Memang hebat, seperti tokoh utama manga dengan bakat olahraga luar biasa.

Yah, kalau bicara soal itu, Sei-chan dan Toujoin-san juga sama saja.

“Kamu harus melawan Toujoin-san, ‘kan? Tidak apa-apa?”

“Apa maksudmu dengan ‘tidak apa-apa’? Jangan-jangan kamu pikir aku akan kalah?”

“Eh, bukan begitu…”

Aku hanya khawatir karena kalian memutuskan bertanding secara spontan, tapi…

Tak kusangka Sei-chan akan bereaksi seperti ini.

“Aku tidak akan kalah dari nona manja yang hanya bisa bicara itu. Apa-apaan, apa pacarku, Hisamura, berpikir aku akan kalah?”

“Ah… Sei-chan menyebutku sebagai pacarnya…”

“Bu-bukan itu maksudku! Jangan sengaja mengatakannya!”

Tentu saja aku tahu bagian mana yang Sei-chan tanyakan, tapi bagiku, mendengarnya menyebutku sebagai pacarnya membuatku sangat senang dan berdebar-debar.

“Hisamura ‘kan… memang pacarku. Tidak perlu senang berlebihan hanya karena aku mengatakannya…”

“Hehe, benar juga. Tapi tadi aku lihat Sei-chan juga malu-malu saat menyebutku pacar, lo.”

“Ugh… a-aku tidak akan mengatakannya lagi.”

“Eh, jangan begitu. Katakan lagi, dong.”

Aku benar-benar senang saat mendengar kata “Hisamura pacarku” keluar dari mulut Sei-chan.

Kalau tidak bisa mendengarnya lagi, itu sungguh menyedihkan.

“Ka-kalau begitu jangan menggodaku terus. ‘Kan memalukan…”

“Baiklah, aku akan berusaha.”

“…Entah kenapa, aku merasa tidak bisa terlalu percaya saat kamu bilang ‘akan berusaha’ seperti itu.”

“Jadi, kembali ke topik Sei-chan yang akan mengalahkan Toujoin-san. Tentu saja Sei-chan pasti menang, ‘kan?”

“Hei, jangan mengalihkan pembicaraan.”

“Aku tidak mengalihkan, hanya mengembalikan ke topik awal.”

Ya, awalnya kita memang membicarakan itu.

“Mana mungkin Sei-chan, pacarku, kalah dari Toujoin-san, ‘kan?”

“Be-benar juga, tentu saja aku yang akan menang.”

Bagus, berhasil mengalihkan perhatiannya.

Aku senang menggoda Sei-chan karena reaksinya yang imut, jadi aku ingin terus melakukannya.

Tapi aku tidak boleh berlebihan, harus tetap dalam batas yang tidak membuatnya kesal.

“Di kelas kita tidak ada anak perempuan yang pernah ikut klub basket, ‘kan?”

“Ya, termasuk aku, hanya ada yang pernah main sedikit saat pelajaran olahraga.”

Yah, meski Sei-chan hanya pernah main sedikit saat pelajaran olahraga, dia sudah bisa mengalahkan pemain top tingkat prefektur. Jadi kurasa kemampuannya sudah di atas pemain berpengalaman.

“Sepertinya di kelas Toujoin-san ada tiga anggota klub basket.”

“Apa? Benarkah?”

“Iya, aku dengar dari Yuuichi, jadi kurasa tidak salah.”

Yuuichi anggota klub basket, jadi dia tahu sedikit tentang anggota klub basket putri.

Pertandingan basket dimainkan oleh tim beranggotakan lima orang.

Meski Sei-chan lebih kuat dari Toujoin-san, kalau perbedaan kemampuan anggota tim lainnya terlalu jauh, akan sulit untuk memenangkan pertandingan.

“Hmm, begitu ya…”

Sei-chan menyesap minumannya sambil berpikir sejenak.

“Kalau begitu mudah saja. Aku hanya perlu mengalahkan Toujoin dan tiga anggota klub basket itu sendirian.”

“Keren sekali, aku jadi makin suka. Ah, tapi aku memang sudah suka.”

“Ng! Su-sudah kubilang jangan bicara seperti itu…”

Kali ini aku tidak bisa menahan diri, habis Sei-chan terlalu keren, sih.

Yang benar-benar hebat adalah Sei-chan mungkin bisa melakukannya.

“Dalam basket, poin tertinggi didapat dari tembakan tiga angka, ya.”

“Ya, benar.”

Dalam aturan basket, tembakan biasa umumnya bernilai dua poin.

Tapi ada garis setengah lingkaran yang digambar jauh dari ring, dan jika tembakan dari luar garis itu masuk, itu disebut tembakan tiga angka dan bernilai tiga poin.

“Dengan kata lain, meski lawan mencetak dua poin, kalau aku terus memasukkan tembakan tiga angka, aku akan menang.”

“Itu pemikiran yang sangat ekstrem, tapi yah, secara teori memang benar.”

Tentu saja secara angka memang begitu, tapi dalam kenyataan tidak semudah itu.

Tembakan tiga angka dilakukan dari jarak jauh, jadi peluang masuknya lebih kecil.

Bahkan di kalangan profesional, persentase masuk 30% dalam satu pertandingan sudah dianggap bagus.

Memasukkan semua tembakan dalam satu pertandingan biasanya mustahil… tapi.

Bagi kita ini memang kenyataan, tapi ini tetaplah dunia manga “Ojojama”.

Dan Sei-chan memiliki kemampuan fisik tertinggi di antara karakter manga.

Jika dia berusaha keras, mungkin saja dia bisa melakukannya.

“Tapi tidak mungkin aku bisa langsung memasukkan tembakan di hari festival olahraga…”

“Yah, memang benar, sih.”

“…Baiklah, ayo latihan.”

“Eh, latihan? Maksudmu latihan basket?”

“Tentu saja. Festival olahraga ‘kan hari Rabu, kita harus bersiap-siap sampai saat itu.”

“Wah, kamu benar-benar serius, ya.”

“Aku tidak mau kalah dari Toujoin. Dia rival cinta Shiho, jadi dia juga rivalku.”

“Begitu ya pemikiranmu, memang khas Sei-chan.”

“…Lagipula, gara-gara dia aku jadi harus membantu Shiho memasak.”

“…Eh, jangan-jangan itu alasan sebenarnya?”

“Ti-tidak, bukan begitu. Alasan utamanya karena dia rival cinta Shiho, soal masak-memasak itu cuma alasan kecil.”

…Entahlah, dia terlihat sedikit panik, mungkin sebagian besar alasannya memang soal memasak.

“Ya-yah, sudahlah soal itu. Pokoknya, kita harus latihan basket agar tidak kalah dari Toujoin.”

“Latihan, sih, latihan, tapi di mana?”

“Di dekat sini ada Round One, ‘kan. Di sana harusnya ada lapangan basket.”

“Ah, tempat itu, ya.”

Round One adalah fasilitas hiburan di mana kita bisa melakukan berbagai macam olahraga.

Itu adalah tempat yang memiliki fasilitas seperti bowling dan karaoke, dan tergantung cabangnya, ada juga yang punya lapangan basket.

“Oke, ayo kita pergi sekarang.”

“Eh, sekarang juga!?”

“Tentu saja. Festival olahraga ‘kan lusa, jadi kita cuma punya waktu latihan hari ini dan besok.”

“Hebat, ya, benar-benar serius…”

Aku tidak menyangka Sei-chan akan seserius ini…

Mungkin Sei-chan lebih tidak suka kalah daripada yang kukira.

“…Um, Hisamura mau menemaniku?”

Sei-chan bertanya dengan sedikit cemas, suaranya penuh harapan, sambil menatapku dari bawah.

Curang, nih, Sei-chan.

Padahal tanpa ditanya pun, jawabanku sudah pasti.

“Tentu saja aku ikut. Bagaimanapun juga, aku ‘kan pacar Sei-chan.”

“Oh… begitu, ya. Memang hebat pacarku.”

“Ah, gawat, aku mimisan…”

“Kenapa bisa!?”

Karena Sei-chan terlalu imut.

Sudah lama aku tidak mimisan gara-gara Sei-chan.

 

Aku dan Sei-chan keluar dari kafe dan memutuskan untuk pergi ke Round One.

Karena kita harus bergegas, Sei-chan akan naik di belakang sepedaku.

A-aku tidak menyangka akan bersepeda berdua dengan Sei-chan…!

“Bagaimana cara naik yang benar? Ini pertama kalinya bagiku, jadi aku tidak tahu.”

“Duduk menyamping di bagian belakang…”

“Seperti ini?”

“Ya, begitu. Kalau cuma duduk saja tidak stabil, jadi pegang bahuku atau pinggangku…”

Aku baru sadar saat mengatakannya.

Ini berarti Sei-chan harus menempelkan tubuhnya padaku, ya.

Memang harus begitu agar tidak berbahaya, tapi… ini membuatku sangat gugup.

Aku hampir setiap hari bersepeda berdua dengan adikku Rie, tapi Rie hanya meletakkan tangannya di bahuku.

Pernah sekali aku bilang “Lebih stabil kalau tanganmu melingkar di pinggangku”, tapi dia menjawab “…Dasar bodoh”. Aku tidak mengerti.

Tapi kalau tidak salah, Rie sempat melepaskan tangannya dari bahuku sebentar dan sepertinya mau melingkarkan tangannya ke pinggangku, itu bukan hanya perasaanku saja.

“Be-begini?”

Sei-chan meletakkan tangannya di bahuku dan memegangnya pelan.

Tangannya yang lebih lembut dari yang kubayangkan menyentuh bahuku, membuatku berdebar.

Meski sudah beberapa kali bergandengan tangan, tetap saja aku belum terbiasa.

Dan kali ini bahuku yang baru pertama kali disentuh, jadi aku semakin tidak terbiasa.

Kenapa hanya dengan digenggam pelan di bahu melalui seragam, aku bisa merasakan kelembutan tangannya.

“Begini tidak apa-apa?”

“I-iya, tidak apa-apa. Kalau begitu, ayo berangkat.”

Aku mulai mengayuh dengan kuat.

Awalnya aku terlalu gugup dan tidak bisa mengayuh dengan baik, tapi setelah beberapa saat akhirnya aku bisa mengayuh seperti biasa.

Sei-chan sepertinya juga sedikit gugup, tangannya yang memegang bahuku cukup kuat.

“Bagaimana rasanya, tuan putri?”

“Tu-tuan putri!? Apa maksudmu…!?”

“Ah, itu cuma bercanda, jangan terlalu serius.”

“O-oh, begitu, ya… Hmm, tidak buruk juga, wahai pelayanku.”

“Oh, ternyata aku bukan pangeran, ya.”

“Fufu, karena kamu bukan kuda putih, sih.”

Sepertinya dengan percakapan barusan, Sei-chan jadi sedikit lebih rileks.

“Rasanya tidak buruk juga. Mungkin karena kamu terbiasa membonceng Rie setiap hari, ya?”

“Iya, kalau setiap hari membonceng Rie pasti jadi terbiasa. Lagi pula, di tempat Sei-chan duduk ada bantalan empuk khusus untuk berboncengan.”

“Ah, benar juga.”

“Aku membelinya dan memasangnya karena Rie selalu duduk di tempat yang keras.”

Kalau Rie naik setiap hari, memang harus dipasangi bantalan seperti itu.

Aku akan melindungi bokong Rie! …Astaga, aku menjijikkan sekali.

Sei-chan yang tidak mengetahui pikiranku itu, tampaknya sedang menikmati pemandangan yang berlalu di samping kami.

Aku senang melihat Sei-chan terlihat menikmatinya.

Sambil berpikir begitu, aku terus mengayuh sepeda. Ketika lampu lalu lintas di depan tiba-tiba berubah merah, aku mengerem.

“Ah.”

“Ugh!?”

Mungkin karena Sei-chan tidak menyangka aku akan mengerem, dia jadi menabrak punggungku karena hukum inersia.

Sampai sini masih wajar, Rie pun sering begitu.

Tapi… ada satu hal yang sangat berbeda dari Rie.

Yaitu sensasi yang mengenai punggungku, atau lebih tepatnya, perbedaan perkembangan fisik antara Rie dan Sei-chan…

Pokoknya, punya Sei-chan sepertinya lebih besar… Sei-chan duduk menyamping, jadi hanya sedikit yang mengenai punggungku, tapi keberadaannya sangat terasa.

“Maaf, aku menabrak punggungmu. Kamu tidak apa-apa?”

“A-aku tidak apa-apa…”

“Lo, hidungmu berdarah!?”

“Eh, ah, benar juga.”

Aku juga tidak menyadarinya, tapi ketika kusentuh bawah hidungku, ada darah yang keluar.

Sei-chan panik di belakangku sambil mengeluarkan tisu dari tasnya dan memberikannya padaku.

“Terima kasih.”

Aku menerimanya, merobeknya sedikit, membulatkannya, lalu menyumbat lubang hidung yang berdarah.

“Kamu tidak apa-apa? Darahnya keluar saat aku menabrak punggungmu… Eh, memangnya bisa mimisan gara-gara tertabrak di punggung?”

“Kalau kondisinya tepat, mungkin saja mimisan.”

“Kondisi seperti apa itu?”

“Mungkin kondisi di mana aku berboncengan dengan Sei-chan di belakangku.”

“Apa-apaan itu? Jadi maksudmu, lebih baik kita tidak berboncengan lagi?”

“Bukan begitu. Malah, aku ingin Sei-chan terus membonceng di belakangku seumur hidup.”

“Se-seumur hidup itu tidak mungkin… Kalau sudah jadi kakek-kakek, yah, kita tidak tahu apakah masih punya stamina atau tidak…”

Hm? Entah kenapa pembicaraan ini jadi ke arah yang aneh… Yah, sudahlah.

Pokoknya lampu sudah hijau, jadi aku melanjutkan mengayuh sepeda dengan membonceng Sei-chan.

“Kamu benar-benar tidak apa-apa? Kalau mau, aku bisa gantian mengayuh.”

“Sebagai laki-laki, aku tidak bisa membiarkan perempuan yang mengayuh. Tenang saja, mimisanku akan segera berhenti, kok.”

“Kalau begitu ya sudah… Omong-omong, apa kamu juga pernah mimisan saat berboncengan dengan Rie dan dia menabrak punggungmu?”

“Tidak pernah sama sekali. Dia ‘kan adikku, lagipula tidak ada yang menabrak.”

“Hm? Maksudnya apa? Rie tidak menabrak punggungmu?”

“Yah, begitulah kira-kira.”

Karena dia adikku, jadi meskipun dia menabrak, aku tidak akan sampai mimisan saking bersemangatnya.

Rie tidak sebesar Sei-chan, jadi tidak ada yang menabrak.

Ah, sudahlah, jangan diteruskan. Ini menyangkut harga diri Rie… Mungkin sudah terlambat, ya?

Yah, asal tidak kuucapkan, harusnya tidak apa-apa.

Sambil memikirkan hal itu, aku dan Sei-chan terus berboncengan menuju Round One.

…Katanya saat itu Rie bersin, tapi tentu saja aku tidak tahu.

 

Sesampainya di Round One, kami membayar tiket masuk dan menuju ke area olahraga.

Ada banyak olahraga yang bisa dimainkan, seperti futsal, bulu tangkis, bahkan ada batting center.

Tapi aku dan Sei-chan melewati semua itu dan langsung menuju lapangan basket.

Beruntung tidak ada orang lain yang menggunakannya, jadi kami bisa langsung bermain.

“Sudah lama tidak memegang bola basket…”

Sei-chan berkata begitu sambil men-dribble bola dengan ringan… tapi gerakannya sangat keren.

Bukan seperti cara dribble orang amatir yang baru memegang bola lagi setelah lama tidak main.

Dia dengan mudah melakukan teknik leg-through (melewatkan bola di antara kaki) dan behind the back (melewatkan bola di belakang punggung).

Bukankah itu teknik yang tidak bisa dilakukan dengan mudah oleh orang amatir?

Biasanya, orang amatir akan melihat ke bawah saat men-dribble karena tidak bisa melakukannya tanpa melihat bola.

Tentu saja, Sei-chan melakukan teknik-teknik dribble yang sulit tanpa melihat bola sama sekali.

“Hmm, masih belum terbiasa, ya.”

“Serius?”

Aku tanpa sadar bergumam.

Sei-chan bisa mengendalikan bola dengan sangat baik, tapi masih memasang ekspresi tidak puas.

“Sei-chan benar-benar belum pernah main basket?”

“Benar. Hampir semua olahraga, aku hanya pernah melakukannya di pelajaran olahraga sekolah.”

Ini terlalu hebat, aku sampai kehabisan kata-kata.

Padahal hanya berlatih sebanyak yang dilakukan di pelajaran sekolah, tapi dia bisa menjadi cukup kuat untuk mengalahkan atlet tingkat prefektur di hampir semua olahraga.

Sei-chan terus men-dribble bola sambil berbicara denganku, lalu berlari menuju ring.

Kecepatannya sangat tinggi, biasanya orang amatir tidak mungkin bisa berlari sekencang itu sambil men-dribble.

Mungkin Sei-chan belum berlari sekuat tenaga, tapi dengan kecepatan yang hampir maksimal itu dia berlari ke arah ring dan melakukan lay-up shot.

Dia memegang bola dengan tangan kanan, melompat ke arah ring, dan dengan lembut meletakkan bola ke dalamnya.

Gerakannya sangat indah dan keren sekali!

“Yah, wajar saja kalau ini masuk. Masalahnya adalah tembakan tiga angka… Hm? Ada apa, Hisamura?”

Sei-chan bertanya karena aku tiba-tiba memalingkan wajah dengan sangat cepat.

“I-itu, Sei-chan… Kurasa lebih baik tidak melakukan tembakan seperti itu dengan pakaian seperti sekarang.”

Aku dan Sei-chan langsung ke sini setelah sekolah selesai. Dengan kata lain, kami berdua masih mengenakan seragam sekolah.

Seragam berarti… Sei-chan masih mengenakan rok.

Roknya cukup pendek, jadi kalau melompat sekuat tenaga, rok itu bisa tersingkap…

“Eh? Ah…!”

Sepertinya Sei-chan juga menyadarinya. Wajahnya memerah sambil melepaskan bola dan menekan ujung roknya dengan kedua tangan. Meski sekarang menekannya juga tidak ada artinya.

“A-apa kelihatan?”

“Tidak kelihatan. Aku memalingkan wajah tepat sebelum kelihatan.”

“Be-begitu, ya… Kalau begitu, syukurlah.”

“Tapi sepertinya aku melihat sedikit warna merah.”

“Berarti kamu lihat!”

“Maaf!”

Sungguh, itu nyaris sekali. Nyaris saja terlihat.

Ini bukan salahku, mungkin.

Aku benar-benar berusaha memalingkan wajah, tapi sedikit saja terlihat.

Yah, mungkin sambil memalingkan wajah, mataku masih tertuju ke sana.

Kurasa itu wajar sebagai laki-laki.

“Uuh…”

“Maaf, Sei-chan.”

“Tidak, ini salahku karena melompat dengan rok… Hari ini aku juga tidak bawa baju olahraga, jadi sebaiknya kita hentikan saja lay-up shot-nya.”

“Ya, lebih baik begitu.”

Di sini bukan cuma ada aku, tentu saja banyak orang lain juga.

Beruntung saat ini tidak ada orang di sekitar kita, tapi belum tentu nanti juga tidak ada.

Kalau ada orang selain aku yang melihat celana dalam suci Sei-chan… Aku tidak akan memaafkannya, tidak akan membiarkannya pulang hidup-hidup.

Aku juga tidak ingin berbuat dosa, jadi kuharap Sei-chan berhati-hati agar celana dalamnya tidak terlihat.

“Hari ini kita latihan tembakan tiga angka saja lalu pulang. Kalau jump shot, tidak perlu melompat terlalu tinggi, jadi rok tidak akan berkibar.”

“Ya, kurasa tidak apa-apa.”

Kemudian Sei-chan mengambil bola dan menjauh dari ring.

Dia berdiri di luar garis tiga angka, memantulkan bola ringan di tempat.

“Kalau begitu, aku akan berdiri di bawah ring untuk mengambil bola yang Sei-chan tembak dan mengoper kembali.”

“Oh, terima kasih.”

“Aku ke sini memang untuk itu.”

Latihan menembak akan lebih efisien jika ada orang yang mengambilkan bola.

Kalau tembakan meleset, bola akan memantul ke segala arah setelah mengenai ring, jadi akan merepotkan kalau harus menembak dan mengambil bola sendirian.

“Serahkan pengambilan bolanya padaku.”

“Terima kasih. Tapi aku jadi tidak enak kalau membuatmu terlalu banyak bergerak.”

“Ah, itu, sih, tidak masalah.”

“Kalau begitu, jika aku bisa memasukkan semuanya, Hisamura tidak perlu bergerak dari bawah ring, ‘kan?”

Sei-chan berkata begitu sambil tersenyum, lalu melepaskan jump shot dengan form yang indah.

Bola yang dilepaskan melukis busur yang indah, lalu masuk ke dalam ring dengan suara “pash”.

Keren sekali…!

Aku terpana sampai lupa mengambil bola yang jatuh setelah melewati ring.

“Hisamura, bukannya kamu akan mengambilkan bolanya?”

“Ah, ma-maaf.”

“Tidak, tidak apa-apa. Bolanya sudah kembali.”

Seperti yang Sei-chan katakan, bola yang melewati ring sudah kembali ke tempatnya.

Jika bola yang dilempar masuk tanpa menyentuh ring dan berputar dengan indah, bola itu akan kembali ke penembak.

Biasanya, orang amatir tidak mungkin bisa memasukkan tembakan pertamanya dengan begitu indah.

“Selanjutnya aku akan mengambilnya.”

Meski kalau terus seperti tadi, bola akan selalu kembali ke Sei-chan, tapi kecepatannya lambat dan tidak mungkin selalu masuk seindah itu.

Aku juga harus melakukan tugasku dengan baik.

“Ya, tolong, ya.”

Sei-chan berkata begitu dan kembali bersiap melepaskan tembakan tiga angka dengan form yang indah.

Ah… Sungguh…

“Keren sekali…”

“Nng!?”

Tepat saat akan menembak, form Sei-chan jadi berantakan, dan tembakannya membentur ring dengan suara keras lalu memantul.

“Hi-Hisamura, jangan tiba-tiba bicara begitu. Aku jadi kehilangan konsentrasi…”

“Maaf, itu keluar dari mulutku tanpa sadar.”

“Ka-kalau begitu, mau bagaimana lagi… ‘kan?”

Aku pergi mengambil bola yang meleset, lalu melemparkannya kembali ke Sei-chan.

“Tolong jangan terlalu mengganggu, ya.”

“Iya, aku mengerti.”

Pipi Sei-chan sedikit memerah, tapi dia menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri.

Lalu, dia mulai menembak tiga angka lagi.

Satu, dua, tembakan berturut-turut masuk, yang ketiga juga masuk.

Orang amatir mungkin bisa memasukkan satu tembakan karena kebetulan, tapi tiga tembakan berturut-turut sudah bukan lagi tembakan beruntung orang amatir.

Sei-chan benar-benar memasukkannya dengan sengaja.

Namun, tembakan keempatnya meleset, dan Sei-chan mengangguk sekali.

“Aku sudah paham. Mulai sekarang, aku akan memasukkan seratus tembakan berturut-turut tanpa membuat Hisamura bergerak.”

“Kalau bisa begitu, itu luar biasa sekali.”

Kemudian Sei-chan kembali melepaskan tembakan berturut-turut dengan form yang sangat indah.

Sepuluh menit kemudian… Sei-chan tidak berhasil mencapai targetnya.

“Sial, meleset di tembakan ke-72.”

Sei-chan berkata dengan nada kecewa, tapi sebenarnya dia sudah memasukkan bola dengan tingkat keakuratan yang tidak masuk akal.

Bahkan pemain berpengalaman pun tidak bisa memasukkan 71 tembakan berturut-turut.

Memang, kemampuan olahraga Sei-chan tidak bisa dijelaskan hanya dengan kata-kata “refleks yang bagus”. Dia benar-benar berbakat dalam olahraga.

“Itu sudah lebih dari cukup, luar biasa sekali.”

“Tapi dengan begini, memasukkan semua tembakan dalam pertandingan masih hanya mimpi belaka, ya.”

“Ya, mungkin begitu.”

Bahkan pemain basket profesional pun tidak ada yang bisa memasukkan 100% tembakan mereka selama pertandingan.

“Aku ingin latihan sedikit lagi… tapi sudah terlalu malam.”

“Benar, sudah lewat jam 6.”

Memang, kami datang ke sini agak terlambat karena berbincang di kafe sepulang sekolah.

Meski baru sebentar di sini, di luar sudah gelap.

“Tapi aku masih ingin berlatih menembak sedikit lagi.”

“Eh, benarkah?”

“Ya, aku baru saja mulai mendapatkan feeling-nya, sayang kalau berhenti sekarang. Tapi aku tidak enak membuatmu menunggu, Hisamura boleh pulang duluan.”

Sei-chan berkata begitu sambil kembali melepaskan tembakan tiga angka.

Tembakannya masuk dengan indah, aku mengambil bola yang melewati ring dan mengopernya kembali pada Sei-chan.

“Tidak, aku juga akan tetap di sini.”

“Benarkah? Aku senang, tapi kamu tidak perlu memaksakan diri.”

“Aku tinggal karena ingin bersama Sei-chan, jadi tidak perlu khawatir.”

“Be-begitu, ya… Terima kasih.”

Sei-chan melepaskan tembakan lagi untuk menyembunyikan rasa malunya, wajahnya memerah.

Tadi saat dia gugup, tembakannya meleset, tapi kali ini masuk dengan indah.

“Nice shot!”

Aku berkata begitu sambil mengambil bola dan mengopernya pada Sei-chan.

Bagiku, bisa melihat Sei-chan yang keren seperti ini membuatku ingin menemaninya berapa jam pun.

Setelah itu, aku dan Sei-chan terus berlatih menembak di lapangan basket Round One.

 

Sekitar jam 9 malam, aku dan Sei-chan keluar dari Round One.

Tentu saja di luar sudah gelap gulita, kalau tidak ada lampu jalan mungkin tidak akan terlihat apa-apa.

“Lebih baik aku tetap tinggal tadi, jadi saat pulang jadi lebih mudah, ‘kan?”

Aku berbicara pada Sei-chan yang duduk di belakang sambil mengayuh sepeda.

“Aku tidak menyangkal itu… tapi bukan berarti aku ingin kamu tinggal karena ingin diantar pulang.”

“Tentu saja aku mengerti. Eh, tapi apa kamu ingin aku tinggal?”

“Ah… ya-yah, tentu saja lebih menyenangkan berlatih denganmu daripada sendirian…”

“Be-begitu ya,…”

Rasanya seperti terkena pukulan telak.

Aku tidak menyangka Sei-chan akan mengatakan lebih menyenangkan berlatih denganku, jadi aku terlalu senang sampai tidak bisa berkata-kata sejenak.

Setelah itu, suasana jadi sedikit canggung. Aku terus mengayuh sepeda dalam diam, sementara Sei-chan meletakkan tangannya di bahuku.

Meski canggung, suasananya tidak buruk. Hanya saja kami jadi sedikit malu untuk berbicara.

“Oh iya, bagaimana dengan kondisi tembakan basketmu?”

“Ah, ya, tidak buruk, tapi belum cukup untuk memasukkan semua tembakan dalam pertandingan.”

“Yah, itu memang sulit, sih.”

Alasan Sei-chan berlatih basket kali ini adalah untuk mengalahkan Toujoin-san di festival olahraga nanti.

Sei-chan dengan percaya diri mengatakan bisa menang jika memasukkan semua tembakan tiga angka, tapi kurasa itu akan sulit.

“Karena itu, aku berencana untuk berlatih lagi besok.”

“Eh, begitu?”

“Tentu saja. Lusa adalah hari H, mana mungkin aku tidak berlatih sehari sebelumnya.”

“Hebat, ya. Kalau begitu, besok aku akan menemanimu lagi.”

“Benarkah? Itu akan sangat membantu, aku senang.”

“Oke, sampai ketemu besok, ya.”

“…Ya, terima kasih, Hisamura.”

Sei-chan tersenyum sambil mengucapkan terima kasih.

Aku bisa bersama Sei-chan dan dia berterima kasih dengan senyum manis seperti ini, mana mungkin aku tidak membantunya.

Tapi, berlatih sekeras ini karena tidak ingin kalah dari Toujoin-san, apa Sei-chan memang sebegitu tidak suka kalah?

“Sei-chan, bagaimana pendapatmu tentang Toujoin-san?”

“Hah? Kenapa tiba-tiba?”

“Yah, kamu berlatih basket kali ini juga karena tidak ingin kalah dari Toujoin-san, ‘kan? Kamu begitu serius melawannya, jadi aku penasaran bagaimana pendapatmu tentang dia.”

“Hmm… aku tidak membencinya. Awalnya aku menganggapnya sebagai nona muda yang menguntit Shigemoto.”

“Ah, ya, memang begitu, sih.”

Memang kenyataannya begitu, jadi aku tidak bisa membantahnya.

“Aku juga menganggapnya sebagai pengganggu cinta Shiho… tapi aku sadar kalau Toujoin hanya gadis yang kikuk yang menyukai Shigemoto. Sekarang kami juga makan siang bersama, jadi aku tidak membencinya.”

“Begitu, ya.”

“Tapi… terkadang dia menggodaku, itu sedikit menyebalkan. Kamu tidak memberitahunya, ‘kan?”

“Memberitahu apa?”

“Itu… kalau kita… pacaran…”

Aku mendengar suaranya yang malu-malu dari belakang, membuatku ingin berteriak kegirangan, tapi aku menahannya karena sedang mengayuh sepeda.

“Aku tidak memberitahunya. Tapi mungkin dia sudah bisa menebaknya dari suasana di antara kita.”

“Ah, mungkin begitu. Waktu di taman bermain juga, dia bilang…”

“Eh? Kamu berbicara sesuatu dengan Toujoin-san di taman bermain?”

“Ah, tidak… bukan apa-apa!”

“Begitu?”

Sepertinya dia memang berbicara sesuatu dengan Toujoin-san, tapi Sei-chan kelihatannya malu dan tidak akan memberitahuku, jadi aku tidak akan mendesaknya.

Sambil mengobrol seperti itu, kami tiba di tempat di mana aku dan Sei-chan biasa berpisah.

“Kalau begitu, turunkan aku di sini.”

“Tidak, sudah malam begini, aku akan mengantarmu sampai rumah.”

“Aku merasa tidak enak kalau sampai segitunya. Aku tidak apa-apa sampai di sini saja.”

Meski Sei-chan berkata begitu, aku tidak bisa mengalah dalam hal ini.

“Aku tidak bisa membiarkan pacarku pulang sendirian malam-malam begini. Berbahaya, jadi izinkan aku mengantarmu.”

“Be-begitu, ya? Kalau begitu, aku akan menerima tawaranmu.”

“Ya, terimalah. Aku akan senang kalau kamu manja padaku, bukan hanya dalam kata-kata tapi juga dalam sikap.”

“Uh… a-akan kupikirkan.”

“Eh… y-ya, aku akan senang kalau kamu mempertimbangkannya dengan positif.”

Aku tidak menyangka dia benar-benar akan mempertimbangkan untuk bersikap manja, sampai-sampai aku jadi berbicara formal.

Mungkin aku akan mati kalau Sei-chan benar-benar bersikap manja padaku… tapi itu akan jadi kematian yang bahagia.

Sambil berdebar-debar karena percakapan barusan, aku mengantarnya pulang sesuai petunjuknya.

Rumah yang kami tuju adalah rumah biasa.

Tapi karena ini rumah Sei-chan, entah kenapa rasanya jadi rumah yang sangat istimewa.

“Terima kasih untuk hari ini, Hisamura. Kamu menemaniku latihan sampai larut malam begini, dan bahkan mengantarku pulang.”

Sei-chan turun dari boncengan sepeda dan berdiri di sampingku sambil berkata demikian.

“Aku yang ingin bersamamu, jadi tidak usah dipikirkan. Lagipula aku juga senang bisa melihat Sei-chan main basket.”

“Be-begitu? Kalau begitu syukurlah… ng…”

Sei-chan berdiri tepat di sampingku, menatapku seolah ingin mengatakan sesuatu.

Tapi pipinya memerah dan dia menutup mulutnya.

“Hm? Ada apa?”

“Ti-tidak, anu, terima kasih banyak untuk hari ini. Itu sangat membantu.”

“Ya, aku juga senang, kok.”

“Kalau begitu, sampai besok.”

“Sampai besok, selamat malam.”

Setelah berkata begitu dan saling melambaikan tangan, aku mulai mengayuh sepedaku.

…Sei-chan yang melambaikan tangan dengan malu-malu, imut sekali.

Sambil memikirkan hal itu dan betapa menyenangkannya hari ini, aku pulang ke rumah.

 

◇ ◇ ◇

 

Setelah Hisamura pulang, Sei masuk ke rumah dan makan malam yang sudah terlambat.

Dia lupa kalau belum makan malam sampai lewat jam 9 malam.

“Aku sudah berbuat hal yang tidak pantas…”

Kalau dia belum makan, berarti Hisamura yang menemaninya juga belum makan.

Membuatnya menemani latihan basket begitu lama dan melewatkan makan malam, Sei merasa semakin bersalah.

(Tapi kalau dia… karena baik hati, pasti akan bilang tidak apa-apa.)

Sei tersenyum geli memikirkan hal itu.

Hisamura terlalu baik hati, jadi Sei bisa dengan mudah membayangkannya berkata begitu.

(Dasar dia itu… kalau aku perempuan jahat, dia bisa dimanfaatkan sebagai pria yang mudah diatur.)

Karena dia orang yang sangat baik dan lembut, kalau orang yang disukainya adalah wanita terburuk, kemungkinan besar dia akan dipermainkan.

Sei membayangkan hal seperti itu, tapi entah kenapa dia merasa kesal dengan imajinasinya sendiri.

(Yah, aku tidak akan pernah melakukan hal seperti itu. Aku bukan wanita jahat seperti itu. Mungkin karena itulah Hisamura… me-menyukaiku… dan aku juga benar-benar me-menyukai Hisamura, makanya kita pacaran…)

Meski hanya berbicara dalam hati, wajah Sei memerah.

Tapi karena masih di ruang keluarga dan ibunya ada di sana, dia tidak bisa bertingkah malu-malu.

Sei berusaha untuk tidak terlalu memikirkan Hisamura sampai dia selesai makan dan kembali ke kamarnya.

 

Sambil berendam di bak mandi, Sei memikirkan kembali kejadian hari ini.

Karena sudah lama tidak berolahraga serius, tubuhnya sedikit lelah.

Di saat seperti ini, mandi terasa lebih nyaman dari biasanya, jadi Sei berendam lebih lama.

“Ah… nyaman sekali.”

Dia menghela napas lega sambil berendam sampai bahu.

Sambil berendam, dia memijat lengan dan kakinya yang telah bekerja keras hari ini.

Ini dilakukannya agar tidak merasa pegal-pegal keesokan harinya.

Saat memijat diri dalam bak mandi… ada satu hal yang membuatnya penasaran.

“…Apa ini sedikit lebih besar lagi?”

Dua buah setengah lingkaran yang mengambang tepat di bawah pandangannya.

Menurutnya, sepertinya itu sedikit lebih besar dari sebelumnya.

Sejak masuk SMP, itu mulai membesar, dan sekarang sudah mencapai ukuran yang siapa pun akan menilainya “besar”.

Sejujurnya, bagi Sei ini sangat mengganggu.

“Tapi kalau aku bilang begini, Shiho selalu marah…”

Bagi yang tidak punya, mendengar yang punya mengatakan “tidak butuh” itu sangat menyebalkan.

Dia ingat pernah sekali bercanda, “Aku ingin memberikan setengahnya padamu”, dan Shiho menunjukkan ekspresi paling menakutkan yang pernah dia lihat.

Meski sedang berendam, mengingat hal itu membuatnya merinding.

Sejak saat itu, dia berusaha untuk tidak membicarakan hal seperti itu dengan Shiho.

“…Kira-kira Hisamura lebih suka yang mana, ya?”

Sei yang tanpa sadar bergumam begitu, langsung memerah karena malu.

“Ti-tidak, bukan berarti aku peduli mana yang dia suka…!”

Meski dia berkata begitu… akan jadi bohong kalau bilang dia tidak penasaran.

(A-aku pernah dengar kalau laki-laki umumnya suka yang besar… tapi aku juga pernah dengar ada yang suka yang kecil. Hisamura termasuk yang mana, ya…)

Tentu saja sebagai pacar Hisamura, dia akan senang kalau sesuai dengan selera Hisamura.

Tapi untuk masalah ini, tidak ada yang bisa dilakukan dengan usaha.

Lagipula, mungkin ada usaha untuk membuat yang kecil jadi besar, tapi tidak ada usaha yang bisa membuat yang besar jadi kecil.

(Untuk tahu seleranya, aku harus bertanya langsung… ta-tapi mana mungkin aku bisa menanyakan hal seperti ini!)

Tentu saja, hubungan mereka belum cukup dekat untuk bisa menanyakan hal seperti ini.

Meski sudah hampir sebulan mereka pacaran, hubungan mereka masih sangat polos, baru sampai tahap berpegangan tangan.

(Ta-tapi… ka-kami sudah pernah berpegangan tangan ala pasangan kekasih, sih…)

Tanpa sadar dia tersenyum, lalu sadar dan membenamkan diri lebih dalam ke bak mandi untuk menyembunyikan senyumannya.

Saat pulang dari Round One hari ini, karena mereka naik sepeda berdua, tentu saja mereka tidak bisa berpegangan tangan.

Tapi daripada berpegangan tangan, dia lebih dekat dengan punggung Hisamura dan meletakkan tangannya di bahunya

Ini pertama kalinya dia memerhatikan Hisamura dari belakang, dan ternyata punggungnya lebih besar dari yang dia bayangkan. Rahasia kecilnya adalah bahwa dia sedikit berdebar melihat bahu Hisamura yang kekar, sesuatu yang tidak dimiliki perempuan sepertinya.

Jarak mereka cukup dekat hingga dia bisa merasakan kehangatan tubuh Hisamura, dan itu memberikan sensasi berdebar yang berbeda dari berpegangan tangan, yang juga menyenangkan.

Dan di akhir, ketika Hisamura mengantarnya pulang… Sei sempat berpikir untuk bersikap manja sedikit.

Karena saat mereka naik sepeda berdua, Hisamura bilang “Aku akan senang kalau kamu manja padaku”.

Alasan dia tidak melakukannya adalah karena dia tidak tahu bagaimana caranya bersikap manja, dan tentu saja karena malu untuk melakukannya tiba-tiba.

Tindakan manja yang terpikir olehnya saat itu adalah meminta Hisamura mengelus kepalanya.

Sei yang tidak punya pengalaman berpacaran, teringat adegan di manga shounen yang dia sukai karena pengaruh kakaknya, di mana gadis dielus kepalanya.

Heroine yang malu-malu tapi senang saat kepalanya dielus oleh tokoh utama.

Itulah yang terbayang di kepala Sei saat dia ingin bersikap manja pada Hisamura.

Tapi tiba-tiba meminta “Elus kepalaku” itu sulit, jadi dia tidak bisa mengatakannya.

“…Mungkin lain kali akan kucoba.”

Dia berkata begitu dengan pipi memerah sambil berendam sampai bahu.

Tiba-tiba, smartphone yang diletakkan di pinggir bak mandi berbunyi.

“Wah!?”

Dia terkejut dan berteriak, tapi kemudian tenang dan mengambil smartphone tahan air itu sambil tetap berendam.

Bunyi itu karena ada pesan RINE masuk.

Dia membuka aplikasi untuk melihat siapa yang mengirim pesan, dan ternyata dari Shiho.

Isinya…

[Oh iya, hari ini kamu pergi ke kafe dengan Hisamura-kun, ‘kan? Ada apa?]

“Apa maksudnya dengan ‘ada apa’?”

Sei tanpa sadar mengucapkannya, tapi dia tetap membalas pesan itu.

[Ya, kami pergi. Aku tidak tahu maksudmu ‘ada apa’, tapi setelah ke kafe kami pergi ke Round One bersama.]

Pesannya langsung dibaca, dan beberapa detik kemudian balasan datang.

[Kalian bermain cukup lama, ya! Menyenangkan?]

[Lebih tepatnya dia menemaniku latihan basket, tapi ya, menyenangkan.]

[Latihan untuk festival olahraga? Sampai jam berapa?]

[Sampai jam 9 malam.]

[Wah!? Sei-chan hebat bisa latihan selama itu, tapi Hisamura-kun juga baik sekali mau menemani sampai selesai.]

[Ya, itu sangat membantu.]

[Apa kamu berterima kasih dengan ciuman?]

“Hah!?”

Sei berteriak keras di bak mandi melihat pesan dari Shiho.

Suaranya bergema di kamar mandi, membuatnya panik dan menutup mulutnya dengan tangan.

Dia mengetik lebih cepat dari sebelumnya, menekan layar dengan kuat.

[Tidak!]

[Eh, jangan-jangan kalian belum pernah berciuman?]

[Mana mungkin! Kami baru pacaran sebulan!]

[Iya, sih, tapi kupikir dengan kemesraan Sei-chan dan Hisamura-kun, kalian sudah melakukannya.]

“Ke-kemesraan katamu…!”

Dia tidak menyangka Shiho berpikir seperti itu tentang mereka.

Sei berusaha tidak menunjukkan kegelisahannya dalam pesan.

[Kami tidak bermesraan atau apa pun.]

[Tapi kadang-kadang kalian berpegangan tangan saat makan siang, ‘kan?]

“Ba-bagaimana dia bisa tahu!?”

Dia tidak menyangka hal itu ketahuan.

Saat istirahat makan siang di sekolah, belakangan ini mereka makan berlima, dan Hisamura duduk di sebelah Sei.

Minggu lalu, setelah selesai makan dan sedang mengobrol, tiba-tiba Hisamura menggenggam tangannya di bawah meja.

Awalnya dia sangat terkejut, sampai-sampai siapa pun yang melihatnya pasti tahu ada sesuatu yang terjadi.

Dia langsung menegur Hisamura dengan suara pelan, tapi anak itu tidak jera dan kadang-kadang masih menggenggam tangannya.

Meski mereka makan berlima dan menjadi pusat perhatian seisi kelas, orang-orang lebih memerhatikan Shigemoto, Shiho, dan Toujoin, jadi Sei dan Hisamura tidak terlalu diperhatikan.

Dan karena mereka makan di kursi paling belakang, tidak ada siswa lain di sisi tempat Sei dan Hisamura duduk.

Jadi meski mereka berpegangan tangan di bawah meja, tidak ada yang bisa melihatnya.

Hisamura memanfaatkan hal itu untuk menggenggam tangan Sei dan menikmati reaksinya.

[Itu Hisamura yang memaksa menggenggam tanganku… kami tidak berpegangan tangan!]

Dia mengirim pesan yang terdengar seperti alasan.

[Eeh, tapi kalian juga pernah berpegangan tangan ala pasangan kekasih, ‘kan? Sei-chan juga pernah melakukannya duluan, ‘kan?]

“Ba-bagaimana dia bisa tahu…! Jangan-jangan Hisamura yang cerita!?”

Memang benar, hari Jumat minggu lalu, Sei menggenggam tangan Hisamura duluan sebagai balasan.

Reaksi Hisamura sangat menarik, dan Sei merasa puas karena berhasil membalas, tapi setelah itu Hisamura langsung membalas dengan pegangan tangan ala pasangan kekasih.

Dia tidak menyangka Shiho tahu tentang hal itu.

[Aku hanya menggenggam tangannya sekali! Itu pun karena dia terus melakukannya padaku, jadi aku hanya membalas… Soal pegangan tangan ala pasangan kekasih, itu Hisamura yang melakukannya!]

[Ahaha, ternyata benar Sei-chan juga pernah menggenggam tangannya duluan. Bahkan kalian sudah berpegangan tangan ala pasangan kekasih.]

[Eh, apa maksudnya?]

[Yang kutahu hanya kalian berpegangan tangan di bawah meja, lo. Soal Sei-chan menggenggam tangan duluan atau pegangan tangan ala pasangan kekasih, itu baru saja Sei-chan yang memberitahuku.]

…Hal seperti ini pernah terjadi sebelumnya.

“Aku terjebak lagi…!”

Sambil tetap berendam, dia menelepon Shiho seperti sebelumnya.

Setelah nada dering berbunyi dua kali, telepon tersambung.

“Halo, Sei-chan?”

“…Shiho, kamu menjebaiku lagi. ya.”

“A-ahaha, maaf, ya. Tapi ‘kan Sei-chan sendiri yang cerita, jadi menurutku aku tidak terlalu salah…”

“Oh, begitu. Jadi Shiho tidak perlu lagi belajar memasak dariku, begitu?”

“Maafkan aku Sei-chan, aku yang salah.”

Shiho langsung meminta maaf.

Meski diajar oleh Sei yang pandai memasak, Shiho sama sekali tidak bisa melakukannya dengan baik. Apalagi kalau harus belajar sendiri.

Kalau berlatih sendiri, mungkin butuh bertahun-tahun sampai dia bisa memasak dengan baik.

“Oh iya Sei-chan, suaramu terdengar aneh di telepon, kamu sedang di mana?”

“Di kamar mandi. Hari ini aku berolahraga cukup keras, jadi aku berendam agak lama.”

“Oh, begitu… Boleh kita video call?”

“Boleh saja, tapi untuk apa?”

“Ah, tidak ada alasan khusus, cuma pengin saja.”

Karena tidak ada alasan untuk menolak, Sei menyetujui usulan Shiho untuk beralih ke video call.

Sambil berendam, dia memegang ponsel secara vertikal agar wajahnya terlihat.

“Begini cukup?”

“Ya! Sei-chan, lama tidak bertemu!”

“Kita baru bertemu di sekolah tadi, baru beberapa jam yang lalu.”

“Ahaha, benar juga, ya. …Kuh!”

“Ada apa?”

Sei bertanya heran karena Shiho di layar tiba-tiba memasang wajah masam.

“Tidak… Sebenarnya itu tujuanku mengajak video call, tapi ternyata melihatnya langsung terlalu menyakitkan bagiku…”

“Maksudmu apa?”

“Maksudku dua gunung yang mengapung di air itu, Sei-chan!”

“Ah! Ke-kenapa kamu ingin melihat itu…!”

Mendengar hal itu, Sei malu dan menutupi dadanya dengan tangan yang tidak memegang ponsel.

“Habisnya… Kudengar Shigemoto-kun suka dada besar…”

“Oh… Iya, ya, Toujoin memang pernah bilang begitu.”

Minggu lalu di taman bermain, saat Shiho dan Toujoin menyatakan perasaan mereka pada Shigemoto.

Memang Toujoin bilang begitu, dan Shigemoto juga tidak terlalu menyangkalnya.

Itu cara membongkar rahasia yang cukup kejam, Sei sedikit kasihan pada Shigemoto.

“Makanya aku ingin dadaku sedikit lebih besar, jadi aku ingin tanya caranya pada Sei-chan!”

Shiho berkata begitu sambil mendekatkan wajahnya ke kamera, bertanya dengan semangat yang seolah bisa terasa panasnya.

“Toujoin-san juga besar, tapi Sei-chan lebih besar, ‘kan!”

“A-aku tidak pernah membandingkannya, jadi aku tidak tahu…”

“Tenang saja! Aku sudah membandingkannya dengan penglihatanku! Sei-chan pasti lebih besar!”

“Kenapa kamu begitu yakin?”

“Setelah bertahun-tahun memandangi dan iri dengan dada orang lain… entah kenapa aku jadi bisa tahu.”

“Be-begitu, ya…”

Melihat Shiho memandang jauh, Sei memutuskan untuk tidak bertanya lebih lanjut.

“Lagipula Sei-chan, dadamu jadi lebih besar lagi dari sebelumnya, ‘kan?”

“Ba-bagaimana kamu bisa tahu?”

“Berkat penglihatanku yang sudah terasah bertahun-tahun, meski aku sendiri tidak terlalu senang dengan kemampuan ini.”

Sepertinya Shiho bahkan bisa mengetahui pertumbuhan dada Sei, matanya benar-benar bisa melihat ukuran dada dengan akurat.

“Jadi Sei-chan, aku ingin tanya, apa rahasianya agar dada bisa besar!?”

“Ra-rahasia agar dada bisa besar?”

“Iya! Sebelumnya aku sudah bertanya pada Toujoin-san dengan menahan malu. Katanya, ‘Sejak kecil aku selalu membayangkan Yuuichi memijatnya sambil melakukan pijat payudara. Berkat itu dadaku tumbuh sebesar ini dan jadi bentuk tubuh yang disukai Yuuichi!'”

“Betapa memalukan pembicaraan kalian itu…”

Tapi Sei juga kagum pada Toujoin yang sudah berusaha keras sejak kecil dengan kesadaran seperti itu.

“Makanya sejak seminggu yang lalu, aku juga melakukan pijat sambil membayangkan Shigemoto-kun yang… memijatnya.”

“Kalau malu, tidak usah dikatakan, Shiho.”

“A-aku tidak apa-apa! Jadi intinya, aku ingin tahu cara agar dada bisa besar dari Sei-chan yang lebih besar dari Toujoin-san!”

“Begitu, ya… Shiho, ini agak sulit untuk dikatakan, tapi…”

“Tidak apa-apa Sei-chan, sesulit apa pun aku akan melakukannya!”

Sei ingin memberikan informasi yang berguna pada sahabatnya yang bertekad untuk membuat dadanya lebih besar agar tidak kalah dari Toujoin.

Tapi kali ini…

“Aku tidak pernah berusaha khusus untuk membuat dadaku besar… Ini tumbuh besar secara alami.”

“…Eh?”

Suara Shiho tiba-tiba menjadi pelan.

“Punya Ibuku juga besar, jadi kupikir ini… keturunan…”

“…Jadi, kamu sama sekali tidak melakukan apa-apa? Padahal bahkan Toujoin-san saja melakukannya?”

“Ya, aku tidak pernah melakukan apa pun untuk membuat dadaku besar.”

“…”

“Shi-Shiho? Apa kamu masih mendengarku?”

Sei memanggil Shiho yang tidak bergerak sama sekali di layar, khawatir kalau-kalau sambungan telepon terputus.

“…Cih.”

“Eh, Shiho, barusan kamu berdecak…”

“Hm? Ada apa, Sei-chan?”

“Tidak, barusan kamu berdecak…”

“Ahaha, mana mungkin aku melakukan itu. Iya ‘kan, Sei-chan?”

“I-iya, mungkin aku salah dengar…”

Shiho di layar tersenyum, tapi matanya tidak ikut tersenyum. Sei memutuskan untuk tidak menanyakan lebih lanjut.

“Jadi Sei-chan tidak melakukan apa-apa khusus untuk dadamu, ya.”

“I-iya, begitulah. Maaf aku tidak bisa membantumu.”

“Tidak apa-apa, kok. Aku yang minta maaf, ya, tiba-tiba mengganggu saat kamu sedang mandi.”

“Tidak, aku yang meneleponmu duluan tadi. Tidak apa-apa.”

“Kalau begitu sampai besok, ya, Sei-chan.”

“Ya, sampai besok.”

Sei mengakhiri panggilan dengan Shiho, tapi… dia jadi sedikit takut untuk bertemu Shiho besok.

 

◇ ◇ ◇

 

Sehari sebelum festival olahraga, hari ini pun aku dan Sei-chan datang ke Round One sepulang sekolah.

“Hisamura, apa kamu benar tidak apa-apa? Hari ini juga aku berencana latihan lama.”

“Tentu saja, aku senang bisa bersama Sei-chan. Lagipula aku juga senang melihat Sei-chan main basket.”

“Be-begitu, ya. Terima kasih, Hisamura.”

Kami kembali meminjam lapangan basket, dan Sei-chan mulai berlatih.

Karena sudah direncanakan untuk latihan hari ini, Sei-chan berganti pakaian dengan baju yang mudah dipakai untuk berolahraga.

Bukan seragam olahraga sekolah, sepertinya dia membawa pakaian olahraga dari rumah.

Celana jersey hitam dan kaus lengan pendek hitam yang agak longgar.

Penampilannya yang sporty sangat cocok, keren sekali.

“Kenapa, Hisamura? Ada yang aneh dengan pakaianku?”

“Tidak, sama sekali tidak. Malah terlalu keren sampai aku bingung.”

“Ka-kamu berlebihan.”

Padahal aku sama sekali tidak bermaksud berlebihan.

Sei-chan sama sekali tidak menyadari pesonanya sendiri, dia terlalu keren.

Rasanya aku sudah untung hanya dengan bisa melihat Sei-chan berolahraga dengan penampilan seperti ini.

Kemudian Sei-chan melakukan pemanasan ringan sebelum mulai melakukan tembakan tiga angka.

Dia memasukkan semua tembakannya tanpa meleset, jadi aku sama sekali tidak bergerak dari bawah ring.

Benar-benar hebat.

“Baiklah, Hisamura, bisakah kamu melakukan sedikit defense?”

“Defense?”

“Tidak ada gunanya kalau aku bisa memasukkan tembakan tiga angka dalam keadaan bebas. Aku harus bisa memasukkannya saat ada yang melakukan defense dengan baik.”

“Aku mengerti.”

Memang, saat melawan Toujoin-san nanti, pasti sulit untuk mendapatkan kesempatan menembak tanpa penjagaan sama sekali.

Berlatih dengan mempertimbangkan situasi pertandingan, memang hebat Sei-chan.

“Baiklah, tapi aku tidak terlalu jago, lo?”

“Ya, tidak apa-apa.”

Setelah itu, aku berusaha keras melakukan defense terhadap Sei-chan, tapi… aku tidak menyangka tidak bisa menghentikan satu tembakan pun.

Dia sangat cepat, tembakannya akurat, apa dia tidak terlalu kuat?

“Terima kasih, Hisamura. Berkat kamu, latihanku jadi bagus.”

“Hah… hah… Syukurlah kalau begitu.”

Lagi pula, kenapa Sei-chan sama sekali tidak terengah-engah?

Padahal dia yang lebih banyak bergerak, ‘kan?

Sepertinya dia berkeringat, tapi entah kenapa terlihat segar dan keren.

Memang beda, ya, Sei-chan yang punya kemampuan atletik terbaik dalam cerita “Ojojama”.

“Kalau latihan lebih dari ini, mungkin kelelahannya akan tersisa sampai besok. Sebaiknya kita akhiri sampai di sini saja.”

“Iya, benar. Sei-chan, bagaimana kondisimu?”

“Aku merasa tidak akan meleset satu tembakan pun dalam pertandingan besok.”

“Keren sekali…”

Serius, dia benar-benar tidak akan meleset, ya, luar biasa.

Aku sangat suka sisi Sei-chan yang keren seperti itu juga.

Kami keluar dari lapangan basket, tapi waktu baru lewat jam 6 sedikit.

“Hisamura, terima kasih sudah menemaniku. Aku ingin membalas budimu.”

“Aku menemanimu karena aku suka, jadi tidak perlu membalas budi, kok.”

“Tidak, kamu sudah banyak membantuku. Izinkan aku melakukan sesuatu.”

Hmm, bagiku, bisa bersama Sei-chan saja sudah seperti balasan budi.

Ah, kalau begitu…

“Kalau begitu, apa kamu masih punya waktu setelah ini?”

“Setelah ini? Yah, hari ini juga aku sudah bilang ke keluargaku kalau tidak perlu makan malam, jadi aku punya waktu sampai sekitar jam yang sama dengan kemarin.”

Berarti kita bisa bermain sampai sekitar jam 9 malam, ya.

“Kalau begitu, bagaimana kalau kita bermain sebentar di Round One? Waktu kencan bersama Sei-chan bisa jadi balasan budinya.”

“Apa itu cukup?”

“Tentu saja, tidak ada balasan budi yang lebih baik dari ini.”

Bisa menghabiskan waktu bersama Sei-chan adalah hadiah terbaik bagiku.

“Pertama-tama, ayo kita makan dulu. Kamu pasti lapar setelah berolahraga, ‘kan?”

“Benar juga. Kemarin aku bahkan tidak menyadari kalau aku lapar sampai pulang.”

Hebat juga, ya, bergerak sebanyak itu tapi tidak menyadari lapar sampai lewat jam 9 malam.

Kemudian kami memutuskan untuk bermain sebentar di Round One.

Kami makan malam seadanya di restoran keluarga, tapi sepertinya Sei-chan memang lapar, dia makan cukup banyak.

Yah, aku juga makan sebanyak itu, sih, tapi saat selesai memesan pada pelayan,

“A-aku boleh makan sebanyak ini, ‘kan? Toh, bukan kamu yang mentraktir.”

Katanya dengan pipi memerah, yang menurutku sangat imut.

Tentu saja tidak apa-apa, malah aku ingin terus melihat Sei-chan makan seumur hidupku, bahkan kalau harus membayar untuk melihatnya.

Dia juga memesan dessert, dan melihatnya makan dengan lahap juga sangat imut.

Kami keluar dari restoran keluarga sekitar jam 7 lewat. Kalau mau bermain sampai jam 9, mungkin lebih baik bermain sesuatu yang lebih mudah daripada karaoke atau bowling.

“Mau ke game center?”

“Game center, ya, aku belum pernah ke sana.”

“Oh, ya? Apa kamu tidak suka?”

“Bukan, hanya saja belum pernah ada kesempatan. Karena belum pernah, aku ingin mencobanya.”

“Begitu, ya, kalau begitu ayo pergi.”

Di Round One juga ada game center, dan ada cukup banyak mesin game.

“Sei-chan main game tidak?”

“Aku hampir tidak pernah main. Hanya pernah main game smartphone sedikit.”

Kami sampai di game center, tapi aku melihat Sei-chan sedikit mengerutkan dahi.

“Kamu tidak apa-apa? Suara game center memang berisik.”

“Sedikit. Tapi kalau segini masih tidak apa-apa.”

“Area game musik memang berisik. Mau menjauh sedikit?”

Sei-chan punya kemampuan fisik yang tinggi secara keseluruhan, jadi mungkin pendengarannya juga lebih baik dari orang biasa.

Kalau tidak bisa main game musik…

“Pernah main crane game?”

“Apa itu? Crane yang dipakai di lokasi konstruksi?”

“Eh, kamu benar-benar tidak tahu?”

Aku tidak menyangka dia bahkan tidak tahu tentang mesin permainannya sendiri.

“Itu, lo, permainan di mana kamu mengangkat hadiah dengan crane.”

“…Oh, jadi kamu bisa mendapatkan hadiah dengan mengangkat dan memasukkannya ke lubang. Sepertinya menarik. Ada banyak mesin permainan, boleh main yang mana saja?”

“Ya, kita bisa melihat-lihat hadiah mana yang kamu inginkan.”

“Aku mengerti… Banyak hadiah karakter anime dan manga, ya.”

“Itu populer, sih.”

Kalau berbicara tentang crane game, figur anime pasti populer.

Lalu boneka besar… Ah iya, kebetulan kita lewat, yang seperti ini.

“…”

Sei-chan berhenti di depan mesin itu.

Sebuah boneka beruang besar yang imut duduk dengan santai di dalam crane game.

“Sei-chan, kamu mau mengambil itu?”

“Ah, yah, kalau dari semua hadiah di crane game ini, kurasa ini yang paling berguna.”

Apa gunanya boneka beruang sebesar setengah badan manusia?

Yah, Sei-chan tidur sambil memeluk guling, jadi mungkin akan digunakan untuk itu.

Aku tahu ini dari cerita aslinya, tapi Sei-chan yang menggunakan guling itu terlalu imut sampai membuatku gemas.

“Kalau begitu, ayo kita ambil ini.”

“Ya… tapi sepertinya ini sulit?”

“Hmm, karena ukurannya besar, sih.”

Aku mencoba memasukkan uang terlebih dahulu dan memainkannya sebagai contoh untuk Sei-chan.

Ini tipe crane game di mana crane bergerak selama tombol ditekan, dan berhenti saat dilepas tanpa bisa digerakkan lagi.

Aku juga tidak terlalu jago, jadi saat mencoba sekali, crane hampir tidak bergerak sama sekali.

“…Apa ini bisa diambil?”

“Ku-kurasa bisa kalau berusaha. Barangkali tidak mungkin mengangkatnya, jadi lebih baik mencoba mengaitkan dan menggulingkannya.”

“Begitu, ya, boleh aku mencoba?”

“Tentu saja, silakan.”

Sei-chan juga memasukkan uang dan mencoba meniru gerakanku.

Alih-alih mencoba mengangkatnya seperti yang kulakukan, dia memposisikan crane untuk mengaitkan dan menggulingkan boneka, lalu melepaskan tombol.

Boneka bergerak lebih banyak dari sebelumnya, mendekati lubang jatuh.

“Oh, jadi begini caranya. Baiklah, aku mengerti.”

“Kalau pakai koin 500 yen bisa main enam kali, lebih hemat satu kali main. Mau pakai yang ini?”

“Ya, terima kasih. Aku akan mendapatkannya dalam enam kali ini.”

“Semangat.”

Kemudian Sei-chan bermain enam kali, berusaha menjatuhkan boneka beruang itu, tapi…

Karena bonekanya besar, sulit untuk menggerakkannya, jadi tidak mudah untuk menjatuhkannya.

“Sial, sekali lagi! Kali ini aku yang akan memasukkan 500 yen!”

“I-iya, semangat, ya.”

Sei-chan bermain lagi, dan boneka itu perlahan-lahan mendekati lubang.

Namun, saat tinggal selangkah lagi, boneka itu tidak jatuh.

“Sial, aku sudah tidak punya koin lagi…!”

“Aku masih punya koin 100 yen.”

Aku berkata begitu sambil memasukkan koin 100 yen ke mesin.

“Terima kasih, Hisamura. Kali ini aku pasti berhasil…!”

Entah kenapa suasananya jadi mirip manga olahraga, seperti “Aku pasti akan mencetak gol dengan bola yang dipercayakan teman-teman padaku”, padahal ini cuma crane game, ‘kan?

Sei-chan mengerahkan konsentrasinya di saat penting ini, dan berhasil mendapatkan boneka itu di kesempatan terakhir.

“Sip…!”

Sei-chan membuat pose kemenangan kecil, entah kenapa imut sekali.

Tapi syukurlah, kalau tidak berhasil kali ini, aku harus menukar uang kertas 1000 yen.

Sei-chan mengambil boneka dari lubang pengambilan dan tersenyum senang.

Tapi kemudian dia seperti menyadari sesuatu dan berkata “Ah”.

“Ini, siapa yang akan membawanya pulang, aku atau Hisamura?”

“…Eh?”

“Memang aku yang berhasil mendapatkannya, tapi Hisamura membayar lebih dari setengah uangnya. Jadi kupikir akan jadi masalah siapa yang akan membawanya pulang…”

“Tidak, tidak! Aku tidak apa-apa, Sei-chan saja yang bawa pulang.”

Aku tidak menggunakan guling saat tidur, dan kalau aku membawa pulang boneka beruang seimut ini, aku tidak tahu apa yang akan dikatakan Rie.

“Sei-chan yang memainkan dan mendapatkannya, jadi Sei-chan yang seharusnya membawanya pulang.”

“Tapi kalau begitu, padahal Hisamura yang mengeluarkan uang…”

“Aku juga tidak ada gunanya membawanya pulang, dan pasti lebih baik kalau Sei-chan yang menggunakannya sebagai guling.”

“Begitu, ya… Eh? Tu-tunggu, kenapa kamu tahu kalau aku berniat menggunakannya sebagai guling?”

Ah, gawat, keceplosan.

“Um… Kupikir tempat untuk meletakkan boneka sebesar ini cuma di tempat tidur, jadi kupikir mungkin akan digunakan sebagai guling.”

“Ugh, memang kalau dipikir-pikir memang begitu… Aku memang berniat menggunakannya sebagai guling.”

Syukurlah, aku bisa lolos dengan tipis.

“Apa… kamu jadi ilfeel? Masih menggunakan guling padahal sudah SMA.”

“Eh? Tidak sama sekali, malah menurutku itu sangat imut.”

“I-imut yang itu entah kenapa tidak membuatku senang. Maksudmu imut seperti anak kecil, ‘kan?”

“Hehe, mungkin begitu.”

“Ugh, kubilang, ya, aku bisa tidur tanpa guling. Hanya saja aku lebih nyaman tidur kalau ada guling…”

Itu malah semakin imut.

Gadis cool seperti Sei-chan bisa tidur lebih nyenyak dengan guling, gap moe-nya terlalu kuat.

“Aku mengerti, kok, Sei-chan. Kamu ingin tidur nyenyak, ya.”

“A-apa kamu benar-benar mengerti?”

“Tentu saja, aku mengerti kalau Sei-chan itu imut.”

“Ka-kamu pasti mengejekku!”

Sambil mengobrol seperti itu, aku dan Sei-chan menikmati kencan kami di game center.

Saat pulang, aku kembali mengayuh sepeda dengan Sei-chan duduk di belakang sambil memeluk guling bonekanya.

Ketika duduk sambil memeluknya, boneka itu lebih tinggi dari Sei-chan, membuatnya terlihat seperti tenggelam di dalamnya.

“Sei-chan, kamu tidak apa-apa?”

“Tidak masalah.”

Tentu saja benda sebesar itu tidak muat di keranjang sepeda, jadi Sei-chan memegangnya erat-erat.

Pemandangan itu benar-benar kekanak-kanakan, membuatnya terlihat lebih imut dari Sei-chan yang biasanya.

“…Hisamura, apa kamu tidak sedang nyengir?”

“A-aku tidak nyengir, kok. Lagipula Sei-chan duduk di belakang, jadi tidak mungkin bisa melihat wajahku yang di depan, ‘kan?”

“Memang, tapi entah kenapa aku bisa merasakannya.”

Yah, memang benar aku sedikit nyengir karena Sei-chan terlalu imut, tapi aku tidak menyangka dia akan menyadarinya.

Sambil berusaha mengalihkan pembicaraan, aku mengantar Sei-chan pulang ke rumahnya.

“Terima kasih, Hisamura. Hari ini juga kamu sudah membantuku berlatih.”

“Aku juga senang, kok. Lagipula aku jadi tahu kalau Sei-chan sangat suka boneka.”

“A-aku tidak terlalu suka! Aku hanya merasa nyaman saja!”

Alasannya yang semakin menggemaskan membuatku ingin tersenyum lagi.

“Sampai jumpa, Sei-chan. Besok, ayo semangat di festival olahraga, ya.”

“Ya, benar.”

Aku dan Sei-chan berpisah sambil tersenyum satu sama lain.

Comment

Options

not work with dark mode
Reset