Bab 2: Festival Olahraga
Dan akhirnya—hari festival olahraga pun tiba.
Angkatan kami terbagi menjadi delapan kelas, jadi jika dilakukan pertandingan semua melawan semua, akan memakan waktu cukup lama.
Karena itu, hari ini tidak ada pelajaran, dan seharian penuh akan diisi dengan festival olahraga.
Bagi murid yang tidak suka pelajaran dan senang menggerakkan tubuh, ini adalah hari yang bagaikan mimpi.
Dengan kata lain… bagi Yuuichi yang otaknya agak kurang encer tapi kemampuan atletiknya luar biasa, ini pasti hari yang paling membahagiakan.
“Hm? Tsukasa, apa barusan kau mengejekku?”
“Jangan-jangan kau dan Toujoin-san belajar membaca pikiran waktu kecil, ya?”
“Mana mungkin kami belajar hal seperti itu. Lagipula, berarti kau mengakui kalau tadi memang mengejekku, ‘kan?”
“Nah, sekarang giliran kita, lebih baik kita pemanasan dulu.”
“Caramu mengalihkan pembicaraan benar-benar payah.”
Kami sudah berganti pakaian olahraga di sekolah dan keluar ke lapangan.
Pertandingan baseball untuk anak laki-laki diadakan di lapangan luar.
Karena lapangannya cukup luas, dua pertandingan bisa berlangsung secara bersamaan.
Pertandingan sebelum kami sudah selesai, jadi sekarang giliran kami.
Kalau baseball sungguhan, biasanya dimainkan sampai inning kesembilan, tapi kalau dilakukan seperti itu dalam festival olahraga, akan memakan waktu yang sangat lama.
Karena itu, sepertinya pertandingan dibatasi waktu sekitar 30 menit saja.
“Tsukasa, kita pasti menang!”
“Ya, yah… kurasa dengan adanya kau, kita akan baik-baik saja.”
“Apa-apaan itu, kau terdengar tidak bersemangat.”
“Bukan, masalahnya kau terlalu kuat.”
Kami sudah menyelesaikan satu pertandingan sebelumnya.
Hasilnya adalah kemenangan telak. Alasannya, hampir semuanya berkat Yuuichi Shigemoto.
Dia yang menjadi pitcher, dan kecepatan bolanya mencapai 140 kilometer per jam lebih.
Bahkan lebih cepat dari ace kebanyakan SMA.
Memang dia sepertinya tidak bisa melempar bola pecah, tapi kecepatan itu saja sudah cukup melawan para amatir.
Bagi orang yang tidak pernah bermain baseball, kecepatannya bisa membuat mereka enggan berdiri di kotak pemukul.
Dan dia melempar dengan sekuat tenaga di festival olahraga yang kebanyakan pesertanya amatir.
Bola dengan kecepatan 140 kilometer per jam lebih, bahkan anggota klub baseball pun mungkin hanya bisa memukul sebagian kecil saja.
Terutama karena klub baseball di sekolah kami tidak terlalu kuat, jadi yang bisa memukulnya sangat sedikit.
Aku benar-benar kasihan pada tim lawan yang harus memukul bola dari anak ini.
“Shigemoto-kun! Hisamura-kun!”
Saat kami menunggu pertandingan dimulai sambil memikirkan hal-hal seperti itu, terdengar suara dari belakang.
Ketika berpaling, kami melihat Fujise melambai sambil mendekat. Di sampingnya ada Sei-chan.
Hari ini adalah festival olahraga, jadi tentu saja mereka berdua mengenakan pakaian olahraga.
“Kalian akan bertanding sekarang?”
Fujise bertanya demikian, lalu Yuuichi menjawab.
“Iya, kelas kami akan bertanding sekarang. Apa pertandingan basket untuk anak perempuan sudah selesai?”
“Iya, sudah selesai.”
“Menang?”
“Menang, dong! Yah, sebagian besar berkat Sei-chan, sih.”
Fujise berkata begitu sambil menoleh ke arah Sei-chan.
Sei-chan memalingkan wajahnya dengan malu-malu.
“Ah, itu… aku jadi terlalu serius dan mengeluarkan seluruh kemampuanku.”
“Fufufu, benar. Sei-chan memasukkan banyak sekali tembakan, sih.”
Sei-chan sepertinya agak malu karena telah mengeluarkan seluruh kemampuannya, pipinya memerah, sungguh manis.
Omong-omong, ini pertama kalinya aku melihat Sei-chan mengenakan pakaian olahraga dari dekat seperti ini.
Pakaian olahraga lengan pendek dan celana pendek berwarna putih polos, entah kenapa ketika Sei-chan yang memakainya terlihat sangat manis.
Dan juga… yah, sedikit, dadanya jadi terlihat menonjol, sebagai laki-laki aku jadi tidak bisa tidak memerhatikannya.
Karena pakaian olahraganya tipis, tentu saja bagian yang besar akan terlihat menonjol.
Sebaliknya… Fujise, yah, itu, aku sudah tahu dari cerita aslinya, tapi memang cukup sederhana, ya.
“Hisamura-kun? Apa kamu sedang memikirkan sesuatu yang tidak sopan?”
“Tidak, sama sekali tidak, Fujise-sama.”
Tunggu sebentar, kenapa semua orang benar-benar bisa membaca pikiran?
Seingatku, di cerita asli tidak ada setting bahwa semua orang bisa membaca pikiran.
Tapi kali ini memang salahku, aku harus merefleksikan diri.
“Yuuichi, selanjutnya giliran kelompok kalian bertanding, ‘kan?”
“Ah, Kaori.”
Saat kami sedang berbicara, Toujoin-san juga datang.
“Aku juga datang untuk mendukung kelas kalian, atau lebih tepatnya mendukung Yuuichi.”
“Terima kasih, tapi apa tidak apa-apa? Lawan kami di pertandingan selanjutnya adalah kelas Kaori, lo?”
“Aku tidak punya ketertarikan pada anak laki-laki di kelasku yang cukup kuat untuk menahan keinginanku mendukung orang yang kusukai.”
“Be-begitu, ya.”
Yuuichi sedikit tersipu mendengar kata-kata Toujoin-san, tapi sepertinya anak laki-laki dari kelas Toujoin-san juga mendengarnya… semangat mereka terlihat sangat menurun.
Yah, wajar saja, ya. Kalau gadis secantik ini berkata “Kalian tidak cukup berharga untuk kudukung”, tentu saja mereka akan merasa down.
“Muuu… Shi-Shigemoto-kun! Aku juga mendukungmu!”
“Ah, terima kasih, Fujise.”
Seolah ingin bersaing, Fujise juga menyampaikan kata-kata dukungan untuk Yuuichi.
“Sialan…! Bajingan itu, bukan hanya didukung oleh Toujoin-sama yang merupakan Madonna kelas kami, tapi juga oleh Fujise-san…!”
“Tak akan kumaafkan, tak akan kumaafkan…!”
“Akan kuhancurkan dia!”
…Entah kenapa semangat tim lawan malah jadi meningkat.
Yah, kalau ada cowok yang didukung oleh cewek-cewek semanis itu, wajar saja kalau anak SMA laki-laki jadi ingin membencinya.
“Oh, sepertinya pertandingan akan segera dimulai.”
Seperti yang dikatakan Yuuichi, seorang murid yang bertugas sebagai wasit meniup peluit dan berteriak, “Tim kelas berikutnya, harap berkumpul!”
“Kalau begitu, aku pergi dulu! Tolong dukung kami, ya!”
“Justru aku yang mendukungmu, jadi aku tak akan memaafkanmu kalau sampai kalah, Yuuichi.”
“Shigemoto-kun, berjuanglah!”
Yuuichi terlihat bersemangat, sambil berkata “Oke!” dia berlari meninggalkan tempat itu.
Yah, dengan adanya dia, kita tak mungkin kalah, sih, jadi kurasa aku akan santai saja.
“Hisamura.”
“Hm? Ada apa, Sei-cha…!”
Karena tak ada orang di sekitar, aku hampir saja memanggilnya Sei-chan dan berusaha menghentikan diriku.
Tapi cara berhentiku barusan bukan karena kemauanku sendiri.
Ketika aku berbalik, wajah Sei-chan begitu dekat sehingga aku menahan napas dan kata-kataku terhenti.
Sangat dekat, sedikit lagi mungkin hidung kami akan bersentuhan.
Sei-chan mungkin juga tidak menyangka akan sedekat ini, aku bisa merasakan sedikit kebingungan darinya, tapi dia melanjutkan kata-katanya dari jarak sedekat itu.
“Aku mendukungmu… berjuanglah.”
Kata-kata itu dibisikkan padaku saat kami saling menatap dari jarak yang sangat dekat.
Lalu Sei-chan menjauhkan wajahnya dengan cepat, wajahnya memerah saat dia menjauh dariku.
Setelah melihatnya pergi, aku merasakan tubuhku mulai memanas… lalu dengan terhuyung-huyung aku berjalan menuju tempat Yuuichi dan yang lainnya berkumpul.
Beruntungnya, sepertinya tidak ada anak laki-laki yang melihat aku dan Sei-chan saling mendekatkan wajah tadi, jadi mereka tidak mengerti kenapa aku terhuyung-huyung.
“Tsukasa! Gawat! Katanya karena aku terlalu kuat di pertandingan sebelumnya, aku dilarang jadi pitcher!”
“…Yuuichi.”
“Ada apa? Tsukasa, kau terlihat terhuyung-huyung? Wajahmu juga merah… ada apa?”
“Aku yang akan jadi pitcher.”
“Eh, kau bisa?”
“Aku pernah main waktu SD. Memang kecepatanku mungkin tak secepat kau, sih.”
“Oh, begitu, ya! Kami sedang bingung siapa yang akan jadi pitcher! Tsukasa, kuserahkan padamu!”
“Yosh! Kita pasti menang!”
“Wah, wah!? Tsukasa, tiba-tiba kau jadi bersemangat sekali, ya.”
“Tentu saja, dasar bodoh! Ayo kita lakukan!”
“Tunggu dulu Tsukasa, sejak kapan karaktermu jadi seperti ini!?”
Karakterku hancur? Masa bodoh dengan itu!
Setelah Sei-chan mengatakan hal seperti itu padaku, mana mungkin aku tidak serius!
Aku akan melakukannya dengan sekuat tenaga!
◇ ◇ ◇
“Hebat ya, Hisamura-kun.”
Shiho yang berada di samping Sei tanpa sadar bergumam demikian saat menyaksikan pertandingan.
“Ya, benar. Tak kusangka Hisamura bisa bermain baseball sebaik itu.”
Sei dan Shiho sedang menonton pertandingan di mana Hisamura berperan sebagai pitcher.
Sei memang pernah mendengar bahwa Hisamura pernah bermain baseball saat SD, tapi dia tak menyangka kemampuannya sebagai pitcher bisa sebaik ini.
Memang kecepatan bolanya tidak secepat Shigemoto, tapi kontrolnya lebih baik dari Shigemoto.
Dan sepertinya dia juga bisa melempar bola melengkung, tim lawan terlihat kewalahan.
Baru saja, pemukul dari tim lawan mengayunkan pukulannya dan meleset terhadap bola yang dilempar Hisamura, menghasilkan strike out dan pergantian serangan.
“Sip!”
Hisamura yang sedikit berkeringat, melakukan selebrasi kecil saat berhasil melakukan strike out.
Shigemoto dan anak laki-laki lain dari kelas mereka mendekati Hisamura dan melakukan high five.
Sei hanya bertepuk tangan pelan, tapi dalam hati dia sangat gembira.
(Bagus, bagus! Kerja bagus, Hisamura!)
Tanpa sadar ujung bibirnya terangkat, tapi saat ini mungkin tak ada yang memerhatikannya.
Shiho yang berada di sampingnya dan gadis-gadis lain dari kelas yang sama juga menonton pertandingan dengan penuh semangat.
Sei bisa mendengar percakapan gadis-gadis sekelas yang ikut mendukung tentang Hisamura.
“Hisamura-kun keren, ya!”
“Iya! Biasanya dia tidak terlalu menonjol di kelas, tapi ternyata dia cukup jago olahraga, ya!”
“Wajahnya juga, meski tidak setampan Shigemoto-kun, tapi cukup tampan, kok. Kira-kira Hisamura-kun punya pacar tidak, ya?”
“Aku belum pernah dengar cerita seperti itu, sih. Mungkin tidak ada kali, ya?”
“Aku jadi ingin mengincar Hisamura-kun, nih.”
(Apa!?)
Mendengar suara seperti itu, tanpa sadar Sei langsung menoleh ke arah gadis yang mengatakannya.
“Eh, serius?”
“Iya, menurutku Hisamura-kun itu tipeku. Lagipula, bukankah gap-nya itu menarik? Biasanya di kelas dia selalu di samping Shigemoto-kun jadi tidak terlalu diperhatikan, tapi ternyata dia cukup keren, ‘kan?”
“Yah, benar juga, sih. Kalau begitu, aku juga mungkin akan mengincarnya.”
(A-apa…!?)
Sei sangat terkejut dalam hati mendengar percakapan gadis-gadis sekelasnya.
Dia sama sekali tidak menyangka gadis-gadis lain akan tertarik pada Hisamura seperti ini.
(Sial, ini di luar perhitungan…! Memang benar wajah Hisamura tidak jelek, aku juga… berpikir dia keren, tapi…)
Sei masih mendengarkan dengan seksama percakapan gadis-gadis yang membicarakan Hisamura, tanpa mengarahkan pandangan atau apapun ke arah mereka.
“Eh, bukannya kamu baru saja putus dengan cowok dari kelas sebelah?”
“Kami baru putus beberapa hari yang lalu. Sekarang aku single, jadi tidak masalah, ‘kan?”
“Yah, kurasa tidak masalah, sih, tapi apa tidak terlalu cepat untuk pacaran dengan cowok lain?”
“Bukan berarti aku akan pacaran seumur hidup dengannya. Anggap saja seperti mencoba pacaran dulu.”
(Apa, me-mereka berpikir seringan itu…!)
Sei teringat Shiho pernah bilang bahwa ada pilihan untuk mencoba pacaran meski tidak suka.
Tapi Sei memutuskan untuk tidak melakukan hal yang tidak tulus seperti itu, dan bertekad untuk menjalin hubungan dengan sungguh-sungguh.
(Bukannya aku menolak pemikiran untuk menjalin hubungan seperti itu… tapi entah kenapa aku merasa sedikit kesal kalau Hisamura dianggap sebagai orang yang bisa menjalin hubungan dengan cara seperti itu…)
Setiap orang pasti memiliki pemikiran yang berbeda ketika menjalin hubungan dengan lawan jenis.
Tapi Hisamura, dia benar-benar jatuh cinta padaku, dan menyatakan perasaannya dengan sangat serius…
(A-aku tidak seharusnya mengingat hal itu sekarang…!)
Sei menjadi merah padam sendirian saat menonton pertandingan baseball laki-laki di festival olahraga ini, teringat akan pernyataan cinta Hisamura.
Namun satu hal yang Sei yakini adalah bahwa baik dirinya maupun Hisamura tidak menjalin hubungan dengan perasaan yang sepintas lalu.
(Ugh, aku ingin mengatakan hal itu pada gadis-gadis itu, tapi untuk melakukannya aku harus memberitahu mereka bahwa aku dan Hisamura sedang berpacaran. Itu tidak mungkin…!)
Sementara dia berpikir seperti itu, pertandingan baseball terus berlanjut, dan Hisamura bersiap untuk berdiri di kotak pemukul sebagai batter.
“Sei-chan, Hisamura-kun akan memukul!”
“Ah, i-iya benar.”
“Lihat, Hisamura-kun sedang melihat ke arah kita.”
Seperti yang dikatakan Shiho, sebelum memasuki kotak pemukul, Hisamura memang terlihat sedang melihat ke arah mereka.
Sambil berpikir ‘Jangan melihat ke sini, fokuslah’, Sei juga merasa senang karena Hisamura memandang ke arahnya secara khusus.
Dengan maksud memberi semangat, Sei melambaikan tangan kecil agar tidak terlalu mencolok di mata orang-orang sekitarnya.
Entah pesannya tersampaikan atau tidak, tapi Hisamura terlihat memegang dadanya seolah-olah kesakitan.
“A-ada apa dengan Hisamura, dia memegang dadanya. Apa dia terluka?”
“Hmm, karena itu salah Sei-chan, jadi tidak apa-apa, kok.”
“Ke-kenapa bisa jadi salahku?”
“Yah, karena Sei-chan terlalu imut, sih.”
Sei memiringkan kepalanya, tidak mengerti maksud perkataan itu.
Tepat ketika dia hendak bertanya lagi,
“”Hisamura-kun, semangat~!””
Terdengar suara dukungan yang ceria dari sebelah mereka.
Saat melihat ke arah suara itu, ternyata dua gadis yang tadi membicarakan keinginan untuk menjadikan Hisamura pacar mereka sedang bersorak dengan keras.
Sepertinya suara mereka sampai ke telinga Hisamura yang baru saja akan memasuki kotak pemukul, dia terlihat sedikit terkejut namun tetap memberi anggukan ringan.
“Ahaha, Hisamura-kun imut, ya~”
“Fufufu, benar. Kalau nanti kita mengajaknya ngobrol, mungkin dia akan punya kesan yang baik tentang kita, ya.”
Entah itu hanya main-main atau serius, tapi sepertinya mereka berniat untuk mendekati Hisamura.
“…”
“Sei-chan, Sei-chan, auramu sedikit menyeramkan, lo.”
“…Maaf.”
Tanpa sadar Sei memelototi kedua gadis itu, dan Shiho memperingatkannya.
Sebagai pacarnya, Sei seharusnya berterima kasih karena mereka mendukung Hisamura.
Namun jika mereka ingin menjadikan Hisamura pacar atau mengincarnya, itu cerita lain.
“Shimada-san, bukankah kau tidak bisa bersantai begitu saja?”
Toujoin yang berada di dekat situ untuk mendukung Shigemoto, berbicara pada Sei.
“Uh! Toujoin… apa maksudmu?”
“Ara, kau pasti mengerti, ‘kan? Hisamura-kun akan menjadi populer setelah festival olahraga ini, lo?”
“I-iya, mungkin saja.”
Meskipun penyebabnya adalah karena Sei sendiri yang mendukung dan membakar semangat Hisamura, dia tidak menyangka Hisamura akan menarik perhatian sebanyak ini.
“Betina-betina yang berteriak tadi juga berniat mengincar Hisamura-kun.”
“Kejam sekali menyebut mereka ‘betina’…”
“Perempuan yang berusaha merebut laki-laki orang lain, pantas disebut ‘betina’, kok.”
“…Toujoin, apakah kau… tahu kalau aku dan Hisamura sedang berpacaran?”
Sei bertanya dengan suara pelan sambil memerhatikan sekitarnya.
Seharusnya baik Hisamura maupun Sei tidak memberitahu Toujoin tentang hubungan mereka.
“Tentu saja aku tahu. Siapa pun yang melihat kalian pasti mengerti.”
“Si-siapa pun? Jangan-jangan teman-teman sekelas juga…”
“Tidak, sepertinya teman-teman sekelas tidak tahu. Mereka tidak tahu kalau kalian bersembunyi di balik kami saat istirahat siang dan berpegangan tangan di bawah meja sambil bermesraan, ‘kan?”
“!? Ba-bagaimana kau bisa tahu itu juga…!”
“Aku ada di depan kalian, jadi tentu saja aku tahu. Mungkin Yuuichi tidak menyadarinya, sih.”
Sei tidak menyangka kalau berpegangan tangan saat istirahat siang tidak hanya diketahui oleh Shiho, tapi juga oleh Toujoin.
“To-Toujoin, kumohon jangan beritahu siapa pun kalau aku dan Hisamura sedang berpacaran.”
“Kenapa? Kalau aku pacaran dengan Yuuichi, aku akan mengumumkannya dengan bangga, lo.”
“I-itu karena semua orang sudah tahu kalau kau menyukai Shigemoto!”
“Yah, memang benar, sih. Tapi kalau aku berada di posisimu sekarang, aku akan menempel pada Hisamura-kun sampai bukan hanya orang terdekat, tapi orang lain pun tahu.”
“A-apa, itu…!”
“Betina-betina tadi memang terlihat jelas, tapi belum tentu hanya mereka yang mengincar Hisamura-kun, ‘kan? Kalau aku, aku akan pamer sampai semua orang tahu bahwa ‘Hisamura adalah milikku’.”
“I-itu, anu…”
Memang benar kalau melakukan itu, gadis-gadis lain tidak akan mengincar Hisamura lagi.
Tapi bagi Sei, melakukan hal yang memalukan seperti itu rasanya terlalu berlebihan.
Saat mereka sedang berbicara seperti itu, terdengar suara “klink” dari arah pertandingan, diikuti dengan sorak-sorai.
Saat melihat ke sana, tampaknya Hisamura berhasil memukul dan sedang berlari melewati base pertama.
“Wah, sepertinya Hisamura-kun berhasil lagi. Lihat, mungkin akan muncul lebih banyak gadis yang memandang Hisamura-kun dengan tatapan panas selain betina-betina tadi, lo.”
“Ugh…!”
Memang benar tatapan gadis-gadis sekelas terhadap Hisamura sudah berubah.
Meski Sei tidak berpikir semua dari mereka mengincar Hisamura, tapi membayangkan ada gadis yang mengincarnya membuat Sei merasa kesal.
Tapi… Hisamura yang berdiri di base pertama menoleh ke arah mereka.
Lalu dia tersenyum kecil dan membuat pose semangat dengan mengepalkan tangannya.
Sei tersentak melihat gesture itu, merasa senang karena ada perasaan khusus yang ditujukan hanya padanya, dan rasa kesalnya tadi pun menghilang.
Untuk membalas gesture Hisamura itu, Sei pun sekali lagi melambaikan tangannya kecil.
Kali ini Hisamura tidak memegang dadanya, tapi senyumnya yang lebih polos membuat Sei tanpa sadar ikut tersenyum.
“…Kalian mesra sekali, ya, aku jadi merasa bodoh karena khawatir.”
“Ah…”
Toujoin yang menyaksikan interaksi antara Hisamura dan Sei dari samping, berkata demikian sambil menghela napas.
“Yah, meskipun begitu, orang-orang yang tidak tahu kalian berpacaran pasti akan mencoba menarik perhatian Hisamura-kun.”
“Ugh… A-aku tahu.”
“Kalau begitu tidak apa-apa. Nah, aku harus melakukan tugasku.”
Toujoin berkata demikian sambil melangkah maju, lalu berteriak dengan suara keras.
“Yuuichi! Kau harus memukulnya!”
Batter selanjutnya setelah Hisamura adalah Shigemoto.
Ketika Toujoin berteriak seperti itu kepada Shigemoto yang akan memasuki kotak pemukul, Shigemoto tersenyum dan mengangkat tinjunya sambil berseru, “Ou!”
“Shigemoto-kun! Semangat!”
Mungkin karena merasa tidak mau kalah dari Toujoin, Shiho juga berteriak dengan suara yang jarang dia keluarkan untuk memberi dukungan.
Shigemoto juga membalas dengan berteriak “Terima kasih!”
Sepertinya semangat Shigemoto meningkat, tapi semangat lawan juga ikut meningkat.
Alasan meningkatnya semangat lawan, pasti karena rasa cemburu.
Pitcher melempar bola dengan kekuatan penuh, lebih kuat daripada saat melempar ke Hisamura.
Karena dia adalah anggota klub baseball, tentu saja dia bisa melempar bola dengan baik.
Namun, lawannya terlalu tangguh.
Terdengar suara yang lebih keras daripada saat Hisamura memukul, dan bola pun melambung tinggi.
Bola itu melewati kepala pemain outfield dan menghilang ke luar lapangan.
Seketika, sorak-sorai besar terdengar di lapangan sekolah.
“Sudah kuduga, Yuuichi-ku memang hebat! Home run dengan mudahnya!”
“Shigemoto-kun, hebat sekali!”
Toujoin dan Shiho yang menyukai Shigemoto berteriak dengan penuh semangat.
Gadis-gadis sekelas dan dari kelas lain yang menyaksikan juga bersorak dengan riuh.
Bahkan gadis-gadis yang tadi membicarakan tentang mengincar Hisamura pun terlihat lebih berseri-seri dibandingkan saat Hisamura berhasil memukul.
Memang benar home run lebih hebat daripada hit biasa, dan aku tahu Shigemoto lebih populer.
Mungkin sebagai pacar Hisamura, Sei seharusnya merasa lega kalau perhatian gadis-gadis teralihkan ke Shigemoto daripada mengincar Hisamura.
Tapi meskipun begitu…
(Entah kenapa aku merasa kesal… Hisamura-ku juga tidak kalah.)
Pikiran itu membuat ekspresi Sei mengeras.
◇ ◇ ◇
Haah, capek sekali…
Setelah menyelesaikan pertandingan melawan kelas Toujoin-san, aku sedang beristirahat sejenak.
Entah bagaimana aku jadi pitcher, dan meskipun sudah lama tidak melempar, kondisiku cukup bagus.
Yah, ada satu alasan kenapa kondisiku bagus, sih.
Sekarang, sebagai pendinginan setelah pertandingan, aku sedang melakukan lempar tangkap ringan dengan Yuuichi.
Karena tiba-tiba melempar dengan sekuat tenaga tanpa latihan, kalau tidak dirawat dengan baik setelah selesai, bahu atau sikuku bisa rusak.
Yah, mungkin tidak apa-apa, tapi lebih baik berjaga-jaga.
Selesai lempar tangkap ringan dengan Yuuichi, kami menuju ke tempat di mana teman-teman sekelas berkumpul.
Mungkin karena tim baseball laki-laki menang, semua orang berkumpul di sudut lapangan dan mengobrol dengan penuh semangat.
Ketika aku dan Yuuichi tiba, beberapa gadis menyadari kehadiran kami dan mendekat.
“Yuuichi-kun! Home run-mu tadi keren sekali!”
“Bisa memukul bola dari ace klub baseball, kau benar-benar hebat!”
“Oh, terima kasih!”
Seperti yang diharapkan dari Yuuichi, popularitasnya di antara gadis-gadis sekelas sangat tinggi, jadi dia langsung dikelilingi oleh mereka.
Ketika Yuuichi tersenyum cerah, gadis-gadis di sekitarnya langsung merona.
Wah, memang benar-benar protagonis tampan, ya.
Yah, home run tadi memang benar-benar luar biasa, sih.
“Permisi, bisakah kalian minggir?”
“Ah, To-Toujoin-san… Silakan.”
Toujoin-san datang dan membuat gadis-gadis sekelas minggir dengan senyuman.
Sepertinya gadis-gadis sekelas juga tidak berniat bersaing dengan Toujoin-san.
Yah, memang butuh keberanian untuk menantang Toujoin-san, sih.
Baik dari segi penampilan maupun pengaruh.
“Yuuichi, kerja bagus.”
“Ah, Kaori, terima kasih.”
Dengan mendekatnya Toujoin-san ke Yuuichi, hampir semua gadis menjauh dari sekitar Yuuichi.
Kecuali satu orang, Fujise Shiho.
“Shigemoto-kun, kerja bagus. Ini, handuk dingin.”
“Oh, terima kasih, Fujise. Ah, segar sekali.”
“Fujise-san? Handuk itu milikmu?”
“Tentu saja…”
Menyiapkan handuk dingin untuk Yuuichi, benar-benar seperti manajer yang penuh dedikasi, ya.
Kalau gadis semanis ini menjadi manajer, rasanya tim bisa menjadi sangat kuat.
“Handuk itu, aku akan membelinya berapapun harganya.”
“Eh?”
“Handuk yang menyerap keringat Yuuichi… nilainya sangat tinggi. Kau mengerti, ‘kan?”
“Tidak, aku tidak mengerti sama sekali.”
Bahkan Yuuichi pun menyela perkataan Toujoin-san.
Yah, kurasa hanya Toujoin-san yang mengerti maksudnya.
“Apa-apaan, sih, Yuuichi. Keringatmu bagiku lebih berharga daripada berlian, tahu?”
“Tidak, pasti berlian lebih berharga.”
“Itu tergantung orangnya. Tentu saja kalau bisa, aku ingin langsung menjil… menyerapnya.”
“Tunggu dulu, tadi kau mau bilang ‘menjilat’, ‘kan? Eh, keringat? Dan ‘menyerap’ juga mungkin lebih baik daripada ‘menjilat’, tapi tetap saja itu berbahaya, ‘kan?”
“Tidak apa-apa, aku akan mengonsumsinya dalam jumlah yang tepat, jadi kurasa tidak akan ada gejala putus obat.”
“Sudah kubilang aku tidak mengerti, apa kau salah mengira keringatku sebagai obat berbahaya?”
Memang Toujoin-san itu… bisa dibilang punya selera yang agak aneh, atau mungkin berbahaya…
“Ara, Hisamura-kun, apa ada yang ingin kau katakan padaku?”
“Tidak, tidak ada apa-apa.”
Mungkin lebih baik aku menganggap bahwa pikiranku selalu bisa dibaca.
Terutama saat memikirkan hal-hal yang agak tidak sopan seperti tadi.
“Jadi, Fujise-san, bagaimana? Aku bisa membayar sampai satu miliar, lo.”
“Satu miliar…!?”
Bahkan aku pun tidak bisa menahan suaraku.
Bukankah itu terlalu berlebihan?
Membayar sebanyak itu hanya untuk handuk yang ada keringat Yuuichi.
Kalau itu handuk yang ada keringat Sei-chan bagiku…
Ah, sebaiknya aku berhenti memikirkannya.
Aku bisa jadi punya selera aneh seperti Toujoin-san kalau terus begini.
“Fufufu, maaf, ya, Toujoin-san. Ini handuk favoritku, jadi kurasa aku tidak bisa memberikannya.”
Fujise menolak dengan tersenyum.
Dia dengan mudah menolak tawaran satu miliar.
“Eh, Fujise, ini handuk favoritmu? Apa tidak apa-apa aku memakainya?”
“Iya, tidak apa-apa, kok. Shigemoto-kun, apa keringatmu sudah kering?”
“Ah, iya, rasanya sangat nyaman.”
“Begitu, ya, syukurlah.”
Fujise berkata demikian sambil mengambil handuk dari Yuuichi.
“Kalau mau, aku bisa mencucinya di rumahku dan mengembalikannya…”
“Tidak apa-apa, aku akan mencucinya dengan baik. Aku tidak akan melakukan hal seperti yang Toujoin-san katakan, jadi tenang saja.”
“Ah, iya, tentu saja aku tidak meragukan itu.”
Yah, di cerita asli juga tidak ada adegan seperti itu tentang Fujise, jadi kurasa dia tidak punya selera aneh.
…Tidak ada, ‘kan?
Toujoin-san dan Fujise kembali berdebat seolah-olah memperebutkan Yuuichi, tapi karena aku sudah tidak ada hubungannya lagi, aku meninggalkan tempat itu seperti melarikan diri.
Rasanya aku melihat Yuuichi memberi tatapan “tolong aku” padaku, tapi mungkin hanya perasaanku saja.
Omong-omong, di mana Sei-chan, ya?
Sejak selesai pertandingan, aku belum melihat sosok Sei-chan.
Saat aku melihat sekeliling mencari Sei-chan, aku menemukannya sedikit jauh dari tempat Fujise dan Toujoin-san berdebat.
Ternyata dia cukup dekat.
Ketika aku mulai berjalan ke arah Sei-chan, sepertinya dia menyadari aku mendekat, pandangan kami bertemu dan dia tersenyum kecil padaku.
Manis sekali, aku ingin pacaran dengannya, ah, kami sudah pacaran.
Saat aku berpikir begitu dan hendak menyapa Sei-chan, tiba-tiba…
“Hisamura-kun, kerja bagus di pertandingan tadi!”
“Kamu hebat sekali jadi pitcher! Bolanya sangat cepat! Apa kamu pernah main baseball?”
Dua orang gadis menyela di antara aku dan Sei-chan, berbicara padaku.
“Eh, ah, terima kasih. Aku hanya main baseball waktu SD dulu.”
Aku terkejut karena tiba-tiba diajak bicara, tapi aku tidak bisa mengabaikan mereka jadi aku menjawab.
Omong-omong, siapa mereka, ya?
Aku ingat mereka sekelas denganku, tapi aku tidak ingat nama mereka, maaf.
“Oh begitu! Kamu punya bakat olahraga ya, hebat!”
“Iya, kamu keren sekali tadi!”
“Ah, ahaha, terima kasih.”
Aku senang dipuji, tapi entah kenapa rasanya ada maksud tersembunyi yang membuatku takut.
Lagipula, mereka bilang aku punya bakat olahraga, padahal aku hanya main baseball waktu SD, dan bisa tampil bagus karena pengalamanku di antara orang-orang yang tidak berpengalaman.
Dibandingkan dengan Yuuichi yang bisa dengan mudah memukul home run dari pitcher ace klub baseball meski dia amatir, kemampuan atletikku biasa saja.
Dan juga Sei-chan… benar juga, aku tadi mau bicara dengan Sei-chan.
Aku berpikir begitu sambil tetap berbicara ringan dengan dua gadis ini, lalu melirik ke arah Sei-chan.
“Uh!”
“Hm? Ada apa, Hisamura-kun?”
“Ti-tidak, bukan apa-apa.”
Aku hampir saja bersuara, itu bahaya.
Karena Sei-chan ada di belakang kedua gadis ini, mereka tidak bisa melihatnya… tapi Sei-chan sedang memelototi mereka berdua dengan tatapan yang agak menakutkan.
Suasananya mirip seperti saat Toujoin-san mengusir gadis-gadis di sekitar Yuuichi.
Eh, jangan-jangan Sei-chan… cemburu?
Bohong, eh, serius?
Yah, mungkin tidak baik mengatakan ini… tapi aku merasa sangat senang.
Saat aku berpikir begitu dan memandang Sei-chan, dia menyadari tatapanku.
Sei-chan terkejut, pipinya memerah, dan dengan canggung dia memalingkan wajahnya lalu pergi menjauh seolah-olah melarikan diri dariku.
Aku tidak tahu apakah dia benar-benar cemburu atau tidak, tapi mungkin dia malu karena aku melihat sikapnya tadi.
“Maaf, aku baru ingat ada urusan.”
“Eh, ah, iya.”
Setelah meminta maaf pada gadis-gadis yang mengajakku bicara, aku mengejar Sei-chan.
Sei-chan tidak pergi terlalu jauh, dia ada di pinggir lapangan sekolah, di tempat yang teduh karena terhalang bayangan gedung sekolah.
Tempat itu tidak terkena sinar matahari sehingga sejuk, cocok untuk beristirahat setelah bergerak.
Sei-chan bersandar di dinding di sana.
Meski hanya bersandar di dinding, apapun yang dia lakukan selalu terlihat indah, memang Sei-chan.
“Sei-chan, kerja bagus.”
“Hisamura… kamu juga, kerja bagus.”
Ketika aku menyapanya, Sei-chan menjawab sambil menunduk tanpa menatap mataku.
Ada beberapa siswa di sekitar, tapi mereka sibuk dengan percakapan masing-masing, jadi tidak ada yang memerhatikan aku dan Sei-chan.
“Apa kamu melihat penampilanku tadi? Karena Sei-chan mendukungku, aku bisa berusaha lebih keras dari yang kukira.”
“Tentu saja aku melihatnya. Itu… kamu keren sekali…”
“Uh!? Te-terima kasih…”
Aku tidak menyangka Sei-chan akan memujiku secara langsung seperti itu, jadi aku tergagap saat mengucapkan terima kasih.
“Aku tahu kamu pernah main baseball, tapi tidak kusangka kamu sehebat itu.”
“Yah, aku tidak terlalu hebat, kok. Tadi itu karena Sei-chan mendukungku, jadi adrenalinku terpacu.”
“Be-begitu, ya… Gadis-gadis di kelas juga sepertinya melihatmu dengan pandangan baru. Bukankah itu bagus?”
“Ng?”
Kenapa tiba-tiba membicarakan gadis-gadis di kelas… Ah, mungkin maksudnya dua gadis yang tiba-tiba mendekatiku tadi?
“Aku senang kalau penilaian gadis-gadis di kelas meningkat, tapi aku tidak terlalu tertarik. Yang kupedulikan hanya apakah penilaian Sei-chan terhadapku meningkat atau tidak.”
“Uh… Tentu saja meningkat. Kamu sudah berusaha keras untukku. Bahkan jika hasilnya tidak bagus pun, aku akan tetap senang.”
“…Te-terima kasih.”
Aku sangat senang, dia terlalu manis…!
Rasanya seperti terus-menerus terkena pukulan balik.
Tidak, mungkin Sei-chan juga malu, jadi rasanya seperti saling memukul telak satu sama lain.
Aku juga sempat mengalihkan pandanganku karena tidak bisa melihat ke arah Sei-chan, lalu kembali melihatnya.
Ternyata Sei-chan juga melihat ke arahku pada saat yang sama, pandangan kami bertemu.
Sejenak kami berdua terlihat canggung… lalu tidak tahan dan tertawa bersama.
“Ahaha, entah kenapa tadi itu lucu, ya.”
“Fufufu, benar. Itu momen yang aneh.”
Percakapan ringan seperti ini, bahkan percakapan yang tidak berarti pun, terasa menyenangkan jika dilakukan dengan Sei-chan.
Suasana canggung yang sempat terasa tadi langsung berubah menjadi hangat.
“Bukankah sebentar lagi pertandingan basket putri?”
“Ah, benar juga. Kalau begitu, ayo kita ke gedung olahraga.”
Apalagi pertandingan berikutnya adalah melawan kelas Toujoin-san.
Selama ini kelas kami selalu menang dengan mudah berkat Sei-chan, tapi melawan kelas Toujoin-san mungkin tidak akan semudah itu.
“Pertandingan berikutnya melawan Toujoin-san, ya.”
“Iya, benar. Mungkin ini akan jadi lawan terberat di festival olahraga kali ini.”
“Berjuanglah, Sei-chan.”
Sei-chan sudah berlatih kemarin dan dua hari yang lalu untuk mengalahkan Toujoin-san.
Terutama latihan tembakan tiga angka, dan di akhir latihan dia hampir tidak pernah meleset.
Aku tidak menghitung berapa kali dia berhasil memasukkan bola secara beruntun, tapi rasanya sudah mencapai seratus kali.
“Karena Hisamura sudah banyak membantuku, aku pasti akan menang demi Hisamura.”
“Uh…!”
Dia mengatakan hal itu dengan santai sambil tersenyum kecil.
Ini bukan sekadar pukulan balik, tapi pukulan telak yang tak terduga ke wajahku.
“Kamu terlalu keren…!”
Aku tanpa sadar bergumam seperti itu sambil menutupi wajahku dengan kedua tangan.
“Apa!? Ja-jangan tiba-tiba mengatakan hal seperti itu!”
Sei-chan berkata demikian padaku dengan malu-malu.
Sambil bercakap-cakap seperti itu, aku dan Sei-chan berjalan menuju gedung olahraga.
Sesampainya di gedung olahraga, Sei-chan pergi ke arah lapangan, sementara aku naik ke balkon lantai dua.
Karena gedung olahraga tidak seluas lapangan luar, para pendukung harus naik ke lantai dua.
“Sei-chan, aku mendukungmu.”
“Ya, terima kasih.”
Setelah percakapan terakhir itu, aku dan Sei-chan berpisah.
Aku pergi ke tempat di mana anak laki-laki dari kelasku berkumpul di balkon lantai dua dan bertemu dengan Yuuichi.
“Oh, Tsukasa, kau datang. Pertandingan akan segera dimulai.”
“Ya, mungkin ini akan jadi pertandingan paling sengit di festival olahraga kali ini.”
“Tentu saja. Di kelas kita ada Shimada, dan di pihak lawan ada Kaori.”
Kedua tim belum pernah kalah dalam beberapa pertandingan sebelumnya, selalu menang dengan selisih yang besar.
“Menurutmu siapa yang akan menang, Yuuichi?”
“Delapan puluh persen kemungkinan, kelas Kaori. Shimada memang kuat, tapi dalam basket ada batas seberapa jauh satu orang bisa berpengaruh.”
Tim lawan tidak hanya punya Toujoin-san, tapi juga tiga anggota klub basket putri, sementara di tim kita tidak ada satupun.
“Meski begitu, karena mereka sekelas, aku ingin mereka berjuang.”
“Apa tidak apa-apa kalau kau tidak mendukung Toujoin-san?”
“Hmm, ini situasi yang sulit. Karena mereka tim lawan, rasanya sulit untuk mendukung mereka.”
Memang benar, kali ini mereka melawan kelas kita, jadi biasanya akan sulit untuk mendukung tim lawan meskipun ada teman dekat di sana.
“Tapi dalam situasi seperti ini, Toujoin-san tetap mendukungmu, ‘kan?”
“Ah, benar juga.”
“Yah, dia memang spesial, sih.”
Toujoin-san menganut paham Yuuichi nomor satu, jadi sepertinya dia benar-benar tidak peduli dengan anak laki-laki di kelasnya sendiri.
“Daripada mendukung tim lawan, bukankah tidak apa-apa kalau hanya mendukung Toujoin-san saja?”
“Benar juga, ini ‘kan hanya acara kecil di sekolah, tidak perlu terlalu kaku.”
“Ini hanya dukungan biasa.”
“Kalau begitu, nanti aku akan menyemangati Kaori dari sini.”
Kalau Yuuichi menyemangati Toujoin-san, orang seperti dia pasti akan berjuang mati-matian.
Seperti aku tadi.
Tidak, kalau dibandingkan antara aku yang berjuang keras karena disemangati Sei-chan dan Toujoin-san yang berjuang keras karena disemangati Yuuichi, dalam hal semangat juang, aku pasti menang.
Karena aku sudah berjuang sekeras itu saat disemangati Sei-chan, ya.
“Omong-omong, Tsukasa, bagaimana menurutmu?”
“Hm? Apanya?”
“Tentu saja, menurutmu siapa yang akan menang, kelas kita atau kelas Kaori?”
Aku memang bertanya pada Yuuichi, tapi aku belum menjawabnya sendiri.
Tapi tentu saja, jawabanku sudah pasti.
“—Karena ada Sei-chan, sudah pasti kelas kita yang akan menang.”
“Ah, kau menyebutnya ‘Sei-chan’.”
“Anggap saja itu tidak terjadi, maksudku Shimada, ya, Shimada.”
Itu adalah panggilan yang seharusnya tidak kugunakan kecuali saat kami berdua saja.
“Lagipula, kalau kau berani memanggilnya ‘Sei-chan’, akan kuhajar kau.”
“Itu tidak adil!?”
◇ ◇ ◇
Sebelum pertandingan dimulai, ada sesi latihan tembakan ringan.
Sei melakukan beberapa tembakan tiga angka untuk memastikan perasaan tembakannya.
Semua tembakannya masuk seperti tersedot ke dalam ring.
“Sip.”
Setelah memastikan bahwa perasaan tembakannya tidak buruk, Sei mendengar suara petugas berteriak “Berbaris!”, jadi para pemain utama berkumpul di tengah lapangan.
Tentu saja Sei termasuk dalam pemain utama, jadi dia pergi ke tengah lapangan.
Yang berbaris di depannya adalah tim lawan, dan salah satunya adalah… Kaori Toujoin.
“Halo, Shimada-san. Sudah siap untuk kalah?”
Toujoin berkata dengan wajah penuh percaya diri, seolah-olah mencoba memancing Sei.
“Aku hanya siap untuk menang. Bagaimana denganmu, sudah siap menangis di pelukan Shigemoto?”
“Wah, kalau persiapan itu, aku sangat ingin melakukannya. Tapi sayang sekali, karena itu tidak mungkin terjadi, aku tidak mempersiapkannya.”
“Kalau begitu, sebaiknya kau mulai mempersiapkan mentalmu dari sekarang. Shigemoto pasti akan menyembunyikan wajah menangismu meskipun tanpa persiapan.”
“Benar, Yuuichi pasti bisa melakukan itu dengan mudah. Tapi bagaimana denganmu, Shimada-san? Apakah kau sudah siap untuk menangis di pelukan orang itu?”
“A-aku tidak punya rencana untuk melakukan hal seperti itu dengannya, setidaknya untuk saat ini.”
“Hee, begitu ya, untuk saat ini, ya.”
“Ugh…!”
Dalam pertengkaran ringan sebelum pertandingan ini, tidak bisa dipungkiri bahwa Sei merasa kalah di akhir oleh Toujoin.
Pertandingan basket dimulai dengan jump ball antara perwakilan kedua tim.
Tentu saja Sei yang akan melakukannya karena dia tinggi dan memiliki lompatan yang bagus, dan sepertinya Toujoin juga akan melakukan jump ball untuk tim lawan.
Hanya mereka berdua yang masuk ke dalam lingkaran tengah, dikelilingi oleh anggota tim lainnya.
“Omong-omong, kita belum menentukan hukuman untuk yang kalah, ya.”
“Hukuman?”
Sei sedikit bingung dengan usulan tiba-tiba dari Toujoin.
“Pertandingan sebesar ini akan membosankan jika tidak ada taruhannya, ‘kan? Bagaimana kalau yang menang bisa memerintah yang kalah untuk melakukan sesuatu?”
“…Yah, boleh saja. Toh, aku tidak akan kalah.”
“Fufufu, aku sudah memutuskan apa yang akan kuperintahkan padamu jika aku menang.”
Bersamaan dengan Toujoin mengatakan itu, wasit meniup peluit dan melempar bola ke udara.
“—Kau harus mengumumkan bahwa kau sedang berpacaran dengan Hisamura-kun.”
“Apa!?”
Sei yang terkejut dengan perkataan Toujoin, kehilangan timing untuk melompat dan kalah dalam jump ball.
Dan pertandingan pun dimulai.
Begitu pertandingan dimulai, tim Toujoin langsung mencetak angka pertama.
Tiga dari lima pemain mereka adalah anggota klub basket, ditambah lagi ada Kaori Toujoin yang memiliki kemampuan atletik luar biasa.
Menghentikan serangan mereka terlalu sulit. Mereka bisa dengan mudah melakukan tembakan.
Lalu giliran tim Sei menyerang.
Setelah membawa bola ke setengah lapangan, bola dioper ke Sei.
Sei menerima bola di luar garis tiga angka.
Tentu saja, yang menjaga Sei adalah Kaori Toujoin.
“Perintah yang kau sebutkan tadi… apa kau benar-benar berniat melakukannya?”
Sei bertanya sambil tetap memegang bola, sementara Toujoin di depannya sudah menurunkan postur tubuhnya agar bisa bergerak dengan cepat.
“Tentu saja. Aku tidak pernah berbohong.”
“Ugh… begitu, ya, kalau begitu aku tidak boleh kalah.”
Sei berkata demikian sambil tetap memegang bola, mencari waktu yang tepat untuk menyerang.
Namun karena Toujoin menjaga dekat dengan Sei, dia tidak bisa melakukan tembakan tiga angka.
(Dia berniat menghentikan tembakan tiga angkaku…)
Seperti yang Sei pikirkan, Toujoin memang waspada terhadap tembakan tiga angka Sei.
Itulah sebabnya dia menjaga dari dekat agar Sei tidak bisa menembak.
(Shimada-san ingin mencetak lebih banyak poin dengan tembakan tiga angka. Kalau begitu, aku hanya perlu mencegahnya menembak.)
Toujoin berpikir demikian sambil terus menjaga.
Dan kemudian—Sei mulai bergerak.
Dia melangkah satu langkah seolah-olah akan melewati Toujoin dari samping, dan mulai men-dribble ke arah ring.
Ketika penjaga berada dekat, memang lebih sulit untuk menembak, tapi juga lebih mudah untuk dilewati.
Namun dengan kemampuan fisik Toujoin, bahkan anggota klub basket biasa pun sulit untuk melewatinya dengan mudah.
Tapi kemampuan fisik Sei melebihi Kaori Toujoin.
Sei berusaha melewati Toujoin dalam sekejap.
“Ugh…!”
Toujoin bereaksi tepat waktu terhadap kecepatan Sei, dan berusaha mengikuti Sei dari samping.
Namun… ketika Toujoin berusaha mengikuti, Sei yang hanya melangkah satu langkah dan men-dribble sekali, tiba-tiba mundur ke belakang.
“Apa!?”
Toujoin sama sekali tidak menduga hal itu, dan terpisah dari Sei.
Sei sudah masuk ke posisi menembak, dan Toujoin yang terpisah tidak bisa menghentikannya.
Sei melepaskan tembakan dengan form yang indah, bola melambung tinggi membentuk busur yang cantik dan masuk tepat di tengah ring.
Poin yang dicetak adalah tiga angka.
Dengan kata lain, tempat Sei menembak berada di luar garis tiga angka.
(Step back, tembakan tiga angka…!)
Teknik melangkah satu langkah ke depan, men-dribble sekali dan langsung mundur ke belakang untuk menembak, disebut step back.
Melakukan gerakannya saja mudah, tapi menyelesaikan tembakan setelahnya sangatlah sulit.
Karena posisi tubuh menjadi lebih sulit dari biasanya, menembak menjadi lebih menantang.
Jika itu menjadi tembakan jarak jauh seperti tembakan tiga angka, tingkat kesulitannya akan semakin meningkat.
Tembakan sesulit itu berhasil dilakukan dengan mudah melawan Kaori Toujoin.
Sejenak setelah bola masuk, suasana hening… lalu ledakan sorak-sorai memenuhi gedung olahraga.
“Shimada-san keren sekali…!”
“Dia sangat cepat! Apa itu benar-benar gerakan seorang amatir?”
“Hei, kau anggota klub basket, ‘kan? Bisakah kau melakukan hal yang sama?”
“Tidak, mustahil melakukan step back three point shot dengan penjagaan seketat itu.”
Semua penonton, baik laki-laki maupun perempuan, terkagum-kagum dengan permainan Sei barusan.
“Kau benar-benar melakukannya, ya…”
Tembakan tiga angka yang paling diwaspadai dan dijaga ketat agar tidak bisa dilakukan, ternyata bisa dilakukan dengan mudah.
“Ini baru permulaan. Jangan patah semangat hanya karena ini, Toujoin.”
Sei berkata demikian sambil tersenyum menantang.
“Keren…! Sei-chan, benar-benar Sei-chan…! Aku jatuh cinta… tidak, aku sudah jatuh cinta, tapi aku jatuh cinta lagi…!”
“Tsukasa, suara monologmu agak keras.”
Percakapan seperti itu terjadi di balkon lantai dua, tanpa sepengetahuan Sei maupun Toujoin.
Pertandingan basket di festival olahraga ini berlangsung selama dua puluh menit.
Dalam pertandingan basket sesungguhnya, satu babak berlangsung sepuluh menit dan diulang empat kali, tapi tentu saja mereka tidak punya waktu atau stamina untuk melakukan itu.
Pertandingan antara kelas Sei dan kelas Toujoin telah menyelesaikan babak pertama yang berlangsung sepuluh menit.
Skor saat ini adalah 20-15, dengan kelas Toujoin yang memimpin.
Memang sulit bagi Sei untuk menghadapi seorang diri melawan tiga anggota klub basket dan Toujoin.
Tidak, jika Sei terus menyerang sendirian, mungkin dia bisa menang.
Tapi ini adalah pertandingan festival olahraga. Tentu saja ada siswi lain selain Sei, dan mereka juga harus diberi kesempatan menerima operan.
Dalam pertandingan yang bertujuan untuk bersenang-senang, jika Sei terus memegang bola, tentu saja siswa lain akan merasa bosan.
Bola dioper ke Sei sekali setiap beberapa kesempatan, dalam sepuluh menit babak pertama mungkin sekitar lima kali.
Dan dalam lima kesempatan itu, Sei selalu berhasil mencetak angka melawan tim Toujoin.
Tiga tembakan tiga angka dan dua tembakan dua angka, total tiga belas poin.
Dari 15 poin yang dicetak tim Sei, 13 poin berasal dari Sei sendiri. Jelas bagi siapa pun bahwa tanpa Sei, pertandingan ini tidak akan seimbang.
Sepuluh menit babak pertama telah berakhir, dan sepuluh menit babak kedua sudah dimulai.
Namun Sei tidak bermain.
Jika bermain basket dengan sekuat tenaga selama sepuluh menit, biasanya seorang gadis biasa akan mencapai batas staminanya.
Tapi Sei masih bisa bergerak dengan baik.
Alasan dia tidak bermain adalah karena ini festival olahraga dan ada siswi lain juga.
Jika Sei terus bermain, dia akan terus mengisi satu posisi dalam tim lima orang.
“Fuuh…”
Sei minum air sambil bersandar di dinding, mengamati jalannya pertandingan.
Seorang bayangan mendekati Sei yang duduk sendirian, dan Sei menyadari kehadirannya.
“Shimada-san, kerja bagus. Kau memang luar biasa, ya.”
“Terima kasih, Toujoin. Aku anggap itu sebagai pujian.”
Toujoin berbicara sambil duduk di sebelah Sei.
“Mau minum?”
Sei menawarkan botol air yang dipegangnya.
“Tidak, terima kasih. Lagipula, aku hanya ingin melakukan ciuman tidak langsung dengan Yuuichi.”
“Be-begitu, ya…”
Sei sedikit bingung dengan informasi yang tidak perlu itu, tapi tetap meneguk air sekali lagi.
“Omong-omong Shimada-san, apa kau sudah pernah berciuman dengan Hisamura-kun?”
“Uhuk…!”
Sei hampir menyemburkan air karena pertanyaan tiba-tiba dari Toujoin.
“A-apa-apaan pertanyaan itu…!”
“Ara, ini hanya obrolan cinta biasa. Jadi, sudah pernah?”
“Be-belum, kami belum melakukannya.”
“Oh begitu? Kukira kalian sudah melakukannya.”
“Kenapa kau berpikir begitu!?”
“Habisnya kalian terlihat sangat mesra. Terus terang, aku cemburu.”
“Ka-kami tidak seperti itu! Eh, tunggu, cemburu?”
“Ah, tentu saja aku tidak mengincar Hisamura-kun, ya? Aku hanya ingin segera pacaran dengan Yuuichi dan bermesraan… seperti itu.”
“Be-begitu, ya… Hm? Rasanya kau hampir mengatakan sesuatu di akhir tadi?”
“Perasaanmu saja.”
Sejenak, percakapan mereka terhenti.
Keduanya mengamati pertandingan bersama, dan sepertinya pertandingan berlangsung sengit.
Baik Sei maupun Toujoin tidak bermain, begitu juga dengan anggota klub basket di tim Toujoin.
Ini adalah pertarungan murni antar pemain amatir.
Berbeda dengan suasana serius di babak pertama, sekarang terlihat suasana khas festival olahraga di mana semua orang bersenang-senang tanpa memandang kemampuan.
Saat mereka duduk berdampingan menonton pertandingan, Sei bertanya kepada Toujoin tentang sesuatu yang mengganggunya.
“Toujoin, tentang hukuman yang kau bicarakan tadi…”
“Oh, tentang mengumumkan bahwa kau pacaran dengan Hisamura-kun…”
“Ja-jangan bicara lebih jauh!”
Sei melihat sekeliling untuk memastikan tidak ada yang mendengar, dan merasa lega ketika menyadari tidak ada orang di sekitar mereka.
“…Shimada-san, aku juga ingin bertanya sesuatu, boleh?”
“Apa?”
“Kenapa kau menyembunyikan fakta bahwa kau pacaran dengan Hisamura-kun?”
“Apa!?”
Sei tidak menyangka akan ditanya langsung seperti itu, dan wajahnya memerah.
“Kalau aku, aku pasti akan mengumumkannya. Aku akan memberitahu semua orang dan memamerkan ‘Ini Yuuichi-ku!'”
“Kalau kau, pasti akan begitu, ya…”
Bahkan sekarang pun, ketika mereka belum pacaran, rasanya Toujoin sudah membanggakan Yuuichi kepada orang-orang di sekitarnya.
“Selain itu, dengan menyebarkan hal itu kepada orang lain, kau bisa mengendalikan gadis-gadis lain. Seperti mengatakan ‘Yuuichi adalah milikku, aku tidak akan membiarkan siapa pun menyentuhnya’.”
“Bukankah kau sudah melakukan itu sekarang…”
“Ah, benar juga. Tapi hanya Fujise-san yang menantangku, jadi aku ingin segera menyingkirkannya.”
“Jangan bicara mengerikan begitu. Kalau kau berani menyentuh temanku Shiho, aku tidak akan memaafkanmu.”
Sei berkata sambil memelototi Toujoin, yang kemudian tersenyum dan melanjutkan.
“Tenang saja, aku tidak berniat menyingkirkan Fujise-san dengan cara seperti itu. Yah, mungkin aku akan melakukannya jika dia membahayakan Yuuichi.”
“…Jangan-jangan kau pernah melakukannya pada gadis lain?”
“Fufu, aku menggunakan hak untuk diam.”
“…”
Itu hampir seperti pengakuan bahwa dia pernah melakukannya, tapi Sei takut untuk bertanya lebih lanjut.
“Aku tidak melakukan kejahatan, kok. Justru gadis yang membahayakan Yuuichi yang melakukan kejahatan, seperti mencuri barang Yuuichi.”
“Yah, kalau begitu mau bagaimana lagi… Tapi apa benar-benar tidak apa-apa?”
“Ya, aku tidak membunuh mereka, kok.”
“Be-begitu, ya…”
Sei memutuskan untuk berhenti bertanya lebih jauh.
“Kembali ke topik awal. Jika aku berada di posisimu, Shimada-san, aku akan mengumumkan kepada semua orang bahwa aku pacaran dengan Hisamura-kun. Apalagi sekarang, Hisamura-kun sedang diincar oleh gadis-gadis lain.”
“Ugh…”
Sei mengeluarkan suara karena merasa tersindir.
Dalam pertandingan baseball tadi, Hisamura bermain dengan bagus dan banyak gadis yang mengatakan dia “keren”.
Bahkan ada beberapa gadis yang langsung mendekati dan mengajak Hisamura bicara.
Saat melihat pemandangan itu, Sei tanpa sadar memelototi mereka sambil berpikir “Gadis ini, berani-beraninya mendekati Hisamura-ku…!”, dan ekspresi itu terlihat oleh Hisamura.
Itu adalah kecerobohan, Sei tidak ingin Hisamura melihat wajahnya yang seperti itu.
“Jadi, kenapa kau tidak mengumumkannya? Jika kau mengumumkannya, kau bisa mencegah gadis lain mendekatinya, dan kalian bisa bermesraan di kelas, hanya ada keuntungannya, lo.”
“…Itu, yah…”
“Hm? Ada apa?”
Toujoin mencondongkan tubuhnya untuk melihat wajah Sei yang bergumam dengan suara kecil.
“…Ma-malu, ‘kan, kalau diketahui orang lain.”
“Uh…!”
Sei menyembunyikan wajahnya di lututnya sambil duduk dengan gaya seiza.
Dengan hanya hidung ke atas yang terlihat, pipinya memerah dan dia mengalihkan pandangannya dari Toujoin saat mengatakannya.
“…Aku tidak menyangka kau bisa membuatku berdebar seperti ini, Shimada-san.”
“A-apa maksudmu?”
“Apa kau selalu menunjukkan ekspresi seperti itu pada Hisamura-kun? Kalau begitu, tinggal menunggu waktu saja sampai Hisamura-kun kelebihan asupan gula.”
“Ma-maksudmu apa, sih!?”
Sei tidak mengerti maksud perkataan Toujoin, tapi merasa sedang digoda sehingga suaranya sedikit meninggi.
“Tapi aku tidak menyangka Shimada-san punya alasan yang begitu manis untuk tidak memberitahu orang lain.”
“Ugh… jangan terlalu menggodaku.”
Sei berkata demikian sambil kembali mengalihkan pandangannya.
“Kupikir kau menyembunyikannya karena malu punya pacar seperti Hisamura-kun.”
“Ti-tidak mungkin begitu!”
Sei menyangkal dengan suara paling keras selama percakapan mereka.
Mungkin karena suaranya terlalu keras, beberapa siswa di sekitar mereka menoleh ke arah Sei dan Toujoin.
Sei menyadari hal itu dan terkejut, lalu menundukkan kepalanya dengan canggung.
Toujoin tersenyum melihat reaksi Sei.
“Aku hanya bercanda, maaf, ya. Aku tidak menyangka kau akan bereaksi seperti itu.”
“Ugh, dasar kau ini jahat.”
“Tapi aku senang mengetahui bahwa kau benar-benar menyukai Hisamura-kun dan berpacaran dengannya.”
“Uh…!”
Sei menjadi malu ketika mendengar pernyataan langsung seperti itu.
Toujoin tersenyum lagi melihat reaksi Sei, lalu kembali memerhatikan pertandingan basket.
“Aku akan masuk lagi sekitar tiga menit terakhir, bagaimana denganmu, Shimada-san?”
Mendengar itu, Sei juga melihat ke arah pertandingan basket. Tersisa sekitar lima menit.
Dan skor hampir seimbang, tim Sei masih tertinggal tapi hanya selisih dua poin.
“…Baiklah, aku juga akan masuk sekitar waktu itu.”
“Begitu, ya. Tiga menit terakhir, anggota klub basket di tim kami juga tidak akan bermain.”
“Oh, tidak apa-apa?”
Di babak pertama, dengan tiga anggota klub basket dan Toujoin, mereka bisa unggul lima poin melawan Sei sendirian.
Jika tiga anggota klub basket tidak bermain, Sei akan sangat diuntungkan.
“Aku bukan wanita murahan yang akan bangga menang dengan selisih tipis sementara ada tiga anggota klub basket di tim kami.”
“Begitu, ya. Kalau begitu aku juga akan melawanmu dengan sekuat tenaga. Apa kau sudah memesan dada Shigemoto untuk menangis nanti?”
“Aku ingin memesan kontrak eksklusif selamanya. Tapi hari ini, kaulah yang akan menangis di dada seseorang, tentu saja dada Hisamura-kun.”
Mereka berdua berdiri bersamaan, saling bertatapan dan tertawa.
“Kalau aku menang, kau harus mengumumkan hubunganmu dengan Hisamura-kun, oke?”
“Kau masih belum melupakan itu, ya.”
“Tentu saja. Memang malu, tapi menurutku ada banyak keuntungan jika kau mengumumkannya.”
“…Aku bukannya tidak mengumumkan karena memikirkan keuntungan.”
“Begitu ya, yah, sebaiknya kau siapkan mentalmu untuk mengumumkannya.”
“Tidak, aku hanya akan mempersiapkan hukuman untukmu.”
Mereka saling berkata demikian, lalu berjalan ke arah teman sekelas masing-masing.
Beberapa menit kemudian, Sei dan Toujoin kembali memasuki lapangan.
Kali ini, seperti yang dikatakan Toujoin, anggota klub basket tidak ikut bermain.
Ini benar-benar pertarungan satu lawan satu antara Sei dan Toujoin.
Semua siswa perempuan di tim mereka dan semua siswa yang menonton pertandingan, baik laki-laki maupun perempuan, ingin melihat pertarungan satu lawan satu antara mereka berdua sekali lagi.
Gedung olahraga dipenuhi sorak-sorai hanya karena mereka berdua muncul.
Mereka berdua menerima sorak-sorai itu sambil tersenyum satu sama lain.
Selisih skor adalah dua poin, dengan tim Toujoin memimpin.
“Aku akan memperlebar selisih dan menang.”
“Omong kosong itu lebih baik kau ucapkan dalam mimpi saja.”
Mereka berdua menyatakan tidak akan kalah, dan tiga menit terakhir pun dimulai—.
Selama tiga menit terakhir, semua bola diberikan kepada mereka berdua.
Bukan karena rekan tim mereka bisa membaca situasi, tapi karena mereka juga ingin melihat pertarungan antara keduanya.
Setelah dua kali serangan dan pertahanan, pertandingan terlihat seimbang.
Jika Sei mencetak satu poin, Toujoin juga mencetak satu poin.
Itu terjadi dua kali, jadi kemampuan mereka terlihat seimbang… atau begitulah yang dipikirkan.
Namun, dalam dua kali serangan, Sei berhasil mencetak tembakan tiga angka dua kali.
Di babak pertama, Toujoin menjaga Sei dengan ketat, tapi itu karena ada asumsi bahwa jika Sei berhasil melewatinya, akan ada bantuan dari rekan timnya.
Tapi sekarang ini adalah pertarungan satu lawan satu murni, tidak ada bantuan yang akan datang, jadi dia harus menjaga agar tidak bisa dilewati.
Karena itu, Toujoin menjaga dengan jarak sedikit lebih jauh, tapi Sei memanfaatkan celah itu untuk dengan mudah mencetak tembakan tiga angka pertamanya.
Sei mencetak dua tembakan tiga angka, sementara Toujoin mencetak dua tembakan dua angka.
Jumlah tembakan yang masuk sama, tapi ada selisih dua poin.
Dengan kata lain… selisih poin yang awalnya dimiliki tim Toujoin telah hilang, dan skor menjadi imbang.
Tersisa kurang dari 30 detik, dan sekarang giliran Toujoin menyerang.
Dari segi waktu, ini mungkin akan menjadi serangan terakhir Toujoin.
“Kau hebat juga, Shimada-san.”
Toujoin yang memegang bola di sekitar garis tiga angka berkata kepada Sei yang sedang melakukan pertahanan di depannya.
“Kau juga, Toujoin. Tapi kali ini aku akan menghentikanmu.”
Meskipun skor sudah terkejar, untuk memastikan kemenangan, Sei harus menghentikan serangan ini.
“Apakah kau begitu ingin menyembunyikan hubunganmu dengan Hisamura-kun?”
“Ugh, sudah kubilang tadi, ‘kan.”
“Kalau aku, aku ingin memamerkan pacarku yang membanggakan kepada semua orang. Seperti ‘Ini pacarku!’. Apa kau tidak punya perasaan seperti itu?”
“Itu… !”
“Apalagi jika Hisamura-kun bukan pacar yang memalukan, ‘kan?”
Seketika, Toujoin mulai bergerak.
Dia melakukan gerakan tipuan ke kanan dengan dribbel cepat, lalu langsung berbalik ke kiri.
“Ugh…!”
Sei tertipu dan tertinggal, Toujoin berhasil melewatinya dengan sempurna.
Tidak ada siapa pun di depan Toujoin, dia bisa dengan mudah melakukan tembakan ke ring.
Sambil terus berlari dengan bola di tangan, dia melompat untuk melakukan lay-up shot—.
“Apa!?”
Tepat saat bola lepas dari tangan Toujoin, Sei yang mengejar dari belakang berhasil menepis bola.
Toujoin yang mengira sudah berhasil lolos sepenuhnya, terkejut karena tidak menyangka akan diblok dari belakang.
Bola yang ditepis memantul di kaki Toujoin sebelum keluar lapangan.
Jam dihentikan, dan permainan akan dimulai kembali dengan lemparan ke dalam dari tim Sei.
Tersisa 10 detik.
Seorang siswi dari tim Sei melakukan lemparan ke dalam, dan Sei menerima bola.
Sei segera membawa bola ke garis tengah, lalu melakukan dribble di sekitar tengah lapangan.
Tersisa 8 detik.
Toujoin menjaga dengan jarak sedikit jauh dari Sei, bersiap untuk serangan Sei dari luar garis tiga angka.
Jika Sei akan menyerang, pasti di detik-detik terakhir, dan dia mungkin akan mencoba melewati Toujoin dengan dribbel.
Tersisa 6 detik.
Baik tembakan dua angka maupun tiga angka akan membawa kemenangan, dan Sei mampu melakukan keduanya.
Karena itu Toujoin juga waspada terhadap tembakan tiga angka, tapi karena Sei masih melakukan dribble di sekitar garis tengah, dia memberi jarak sedikit.
Tersisa 4 detik.
Sei masih belum menyerang.
Toujoin bersiap-siap karena mengira Sei akan segera menyerang, tapi—Sei tidak bergerak.
Tersisa 2 detik.
(Ah, jangan-jangan!)
Saat itulah Toujoin menyadari serangan terakhir yang akan dilakukan Sei.
Dalam sekejap, Sei berhenti melakukan dribble dan memegang bola.
Lalu, dia melepaskan tembakan.
Sebuah tembakan super jarak jauh dari tempat yang berjarak lebih dari tiga meter dari garis tiga angka.
Toujoin yang berpikir tidak mungkin Sei akan menembak dari jarak sejauh itu dan menjaga dengan jarak jauh, hanya bisa menyaksikan form tembakan yang indah itu tanpa bisa berbuat apa-apa.
Karena ditembakkan dari jarak jauh, bola melambung lebih tinggi dari biasanya.
“Toujoin, aku ini tipe orang yang ingin menyimpan harta karun berhargaku… hanya untuk diriku sendiri tanpa memerlihatkannya kepada siapa pun.”
Tepat saat Sei mengatakan itu—bola masuk ke dalam ring.
Gedung olahraga hening sesaat, dan detik berikutnya dipenuhi sorak-sorai yang luar biasa.
Pemenangnya adalah Sei.
◇ ◇ ◇
Semua pertandingan festival olahraga telah berakhir.
Terakhir, ada pengumuman kelas yang menjadi juara umum, dan tentu saja itu adalah kelas kami.
Baik baseball putra maupun basket putri, keduanya meraih peringkat pertama di antara semua kelas.
Untuk tim putra, keberadaan Yuuichi memang sangat berpengaruh.
Dia selalu memukul home run setidaknya sekali dalam setiap pertandingan, dan bahkan jika pukulannya kurang baik, dia masih bisa mencapai base kedua.
Aku yang kebanyakan bertugas sebagai pitcher, juga bermain cukup baik… kurasa.
Untuk tim putri, tentu saja keberadaan Sei-chan sangat dominan.
Pertandingan yang paling menarik perhatian dalam festival olahraga kali ini, baik putra maupun putri, adalah pertandingan antara Sei-chan dan Toujoin-san.
Suasana panas saat pertandingan berlangsung, dan tingkat kegembiraan setelah pertandingan selesai sangatlah luar biasa.
Menurutku, wajar saja jika reaksinya seperti itu setelah menyaksikan pertandingan yang luar biasa seperti itu.
Sungguh, itu benar-benar mengagumkan.
Sei-chan terlalu keren, benar-benar luar biasa.
Pasti semua anak laki-laki dan perempuan terpesona oleh Sei-chan dan Toujoin-san.
Sekarang, waktu mungkin sudah lewat pukul 6 sore.
Kelas kami sedang mengadakan pesta perayaan festival olahraga.
“Baiklah semuanya! Sudah pegang gelas masing-masing!? Ingat, alkohol hanya boleh diminum setelah usia 20 tahun!”
Yuuichi berdiri sebagai perwakilan di tengah-tengah semua orang yang duduk, memimpin toast.
“Kerja bagus hari ini! Selamat atas kemenangan kita! Bersulang!”
Dengan sedikit terlambat, suara “Bersulang!” dari anak laki-laki dan perempuan bercampur.
Kami berada di sebuah izakaya besar dekat sekolah, menyewa ruangan tatami besar secara eksklusif.
Kurasa tidak masalah bagi anak SMA untuk masuk ke izakaya selama tidak memesan alkohol, tapi… bagaimana bisa kita menyewa ruangan besar seperti ini?
Anak SMA biasa tidak mungkin bisa melakukan hal seperti ini, tapi… ada satu anak SMA yang tidak biasa di sini.
“Yuuichi, kerja bagus. Karena sambutanmu bagus, aku sudah merekamnya dengan baik.”
“Kaori, terima kasih, tapi tolong hapus videonya. Omong-omong, kenapa kau ada di sini padahal kelasmu berbeda?”
Benar, Kaori Toujoin yang duduk di sebelah Yuuichi.
“Ara, kalau aku tidak ada, kalian tidak bisa menyewa tempat ini, ‘kan?”
“Itu sangat membantu, tapi… apa kelasmu tidak mengadakan pesta? Bagaimanapun juga, kelasmu peringkat dua, ‘kan?”
“Tidak masalah, pesta tanpa Yuuichi tidak ada artinya bagiku.”
“Kau ini, apa kau punya teman di kelasmu sendiri? Apa kau baik-baik saja?”
“Terima kasih sudah mengkhawatirkanku, Yuuichi. Tidak apa-apa, aku bisa berkomunikasi dengan baik dengan anak perempuan, meskipun tidak terlalu dengan anak laki-laki.”
Jadi itulah alasan mengapa Toujoin-san berada di pesta kelas kami.
Yah, berkat Toujoin-san kita bisa makan makanan lezat dan mewah di ruangan besar seperti ini.
Kalau kelas biasa, mungkin pestanya hanya di family restaurant.
Sepertinya restoran ini dikelola oleh Grup Toujoin, jadi kami para siswa bisa mengadakan pesta tanpa membayar sepeser pun.
Sungguh kekuasaan dan uang yang luar biasa, memang hebat Grup Toujoin.
Setelah itu, pesta berlanjut dengan santai, semua orang sudah kenyang dan mulai berbincang-bincang dalam kelompok-kelompok kecil.
Aku dan Yuuichi tetap di tempat duduk awal kami, begitu juga dengan Toujoin-san yang duduk di sebelah Yuuichi.
Meskipun semua orang sudah kenyang, Yuuichi terus makan.
“Hebat ya Yuuichi, terus makan dengan santai seperti itu.”
“Mm… habisnya enak sekali, sayang kalau disisakan.”
Karena banyak makanan yang disajikan untuk dibagi bersama, masih banyak sisa makanan.
Di tengah situasi seperti itu, Yuuichi terus makan sendirian sambil mengobrol dengan Toujoin-san yang duduk di sebelahnya.
“Fufufu, aku suka Yuuichi yang seperti itu.”
“Mmmh! Be-begitu, ya…”
“Ara, barusan kau malu-malu?”
“A-aku tidak malu-malu!”
…Mereka seperti menciptakan dunia mereka sendiri.
Tidak adanya gadis lain di sekitar Yuuichi, yang merupakan bintang utama festival olahraga kali ini, pasti karena Toujoin-san.
Namun, ada satu gadis berani yang menantang Toujoin-san dan akhirnya duduk di sebelah Yuuichi.
“Shigemoto-kun, kerja bagus. Kamu sangat keren di festival olahraga hari ini!”
“Oh, Fujise, terima kasih. Kau juga kerja bagus. Maaf kalau ini terdengar aneh, tapi ternyata kau cukup atletis, ya.”
“Ahaha, tapi aku masih jauh dibandingkan Sei-chan.”
“Yah, Shimada memang luar biasa, sih.”
Mereka berdua berkata begitu sambil melirik ke arah Sei-chan.
Aku juga ikut melihat ke arah yang sama… Sei-chan dikelilingi oleh gadis-gadis.
“Shimada-san, kamu benar-benar hebat! Kamu terlalu keren!”
“Te-terima kasih.”
“Form tembakanmu? Apa itu istilahnya? Pokoknya itu sangat bagus, benar-benar keren!”
“Saat kamu memblok tembakan Toujoin-san juga, lompatanmu tinggi sekali… kamu bahkan lebih keren daripada kebanyakan anak laki-laki!”
“Be-begitu, ya.”
Gadis-gadis yang bersemangat mengelilingi Sei-chan, membicarakan festival olahraga dengan sangat gembira.
Sei-chan, meskipun sedikit kewalahan dengan antusiasme mereka, tersenyum malu-malu.
Manis sekali… tapi aku sedikit sedih karena belum bisa berbicara dengan Sei-chan sejak pesta dimulai.
Yah, mau bagaimana lagi, wajar saja dia menjadi pusat perhatian setelah penampilan hebatnya.
“Kaori juga bermain sangat bagus, tapi tidak bisa mengalahkan Shimada, ya.”
…Wah, Yuuichi memang hebat, dengan mudahnya menginjak ranjau.
Rasanya suhu di sekitar sini sedikit menurun.
Kupikir semua orang berusaha untuk tidak menyinggung hal itu, tapi Yuuichi bertanya dengan santainya.
“…Ya, begitulah. Kali ini aku benar-benar kalah.”
Kaori Toujoin hampir tidak pernah kalah dalam hal akademik maupun olahraga.
Dari SD hingga SMA, dia selalu peringkat satu di angkatannya saat ujian, tidak pernah kurang dari itu.
Dalam olahraga pun, meskipun tidak ikut klub, dia bisa mengalahkan anggota klub olahraga tersebut.
Tapi kali ini, untuk pertama kalinya dia kalah telak dalam olahraga.
Sepertinya dia sedikit tertekan.
“Aku tidak menyangka Shimada-san bisa melakukan hal seperti itu, tapi lain kali aku pasti akan menang. Karena aku adalah Kaori Toujoin.”
Toujoin-san berkata demikian sambil tersenyum menantang.
Kekuatan dan kharisma itulah yang mencerminkan sosok Kaori Toujoin.
“Begitu, ya, berjuanglah.”
“Ya, terima kasih.”
Mendengar kata-kata Yuuichi, Toujoin-san tersenyum manis.
Mereka kembali ke dunia mereka sendiri… atau begitulah yang kupikir.
“Ah, Shigemoto-kun, ada nasi menempel di mulutmu.”
“Eh, benarkah? Di mana?”
“Di sini.”
Fujise mengambil butiran nasi yang menempel di pipi Yuuichi dengan jarinya, lalu memakannya.
“Fufufu, manis sekali.”
“Ugh…!”
Memakan butiran nasi yang menempel di pipinya sendiri, dengan senyum nakal dari jarak dekat.
Bahkan Yuuichi yang terkenal tidak peka pun wajahnya memerah.
“…Fujise-san, bukankah tidak sopan memakan butiran nasi dari pipi seorang laki-laki?”
“Eh, begitu, ya? Tapi bukankah Toujoin-san juga akan mengambil dan memakan apa pun yang menempel di pipi Shigemoto-kun?”
“Aku tidak akan mengambil dan memakannya. Kalau begitu, lebih baik langsung menempelkan mulut ke pipinya dan memakannya.”
“Ah, itu juga ide bagus, ya.”
“Tidak, tidak, hentikan itu, terlalu memalukan.”
Yuuichi yang tadinya terdiam dengan wajah merah, akhirnya berkomentar tentang percakapan mereka berdua.
“Yuuichi, tempelkan butiran nasi di pipi sebelah sini juga. Aku akan mengambilkannya untukmu.”
“Tidak, aku tidak sengaja menempelkannya. Lagipula, dengan situasi seperti ini, kau pasti berniat langsung menempelkan mulutmu ke pipiku, ‘kan?”
“Ara, apa itu tidak boleh?”
“Itu memalukan dalam berbagai hal, jadi tidak boleh.”
“Fufufu, sayang sekali, ya, Toujoin-san.”
…Kenapa aku harus menyaksikan pertengkaran antara tiga orang ini?
Sepertinya Yuuichi meminta bantuan padaku lagi dengan ekspresi wajahnya, tapi aku tidak peduli.
Baiklah, mungkin aku akan pergi ke kelompok lain.
Dengan pemikiran itu, aku berdiri membawa hanya gelas minumanku, meninggalkan situasi rumit itu dan berjalan-jalan di ruangan tatami besar.
Aku ingin berbicara dengan Sei-chan, tapi karena dia dikelilingi gadis-gadis, rasanya sulit untuk mendekatinya.
Aku biasanya selalu bersama Yuuichi, tapi aku juga berbicara dengan anak laki-laki lain.
Bukan berarti aku tidak punya teman.
Tapi rasanya agak canggung untuk bergabung dengan kelompok lain sekarang.
“Hisamura-kun, sendirian?”
“Hm?”
Mendengar suara dari belakang, aku berbalik dan melihat empat gadis tersenyum ke arahku.
Dua di antara mereka adalah gadis-gadis yang berbicara denganku setelah pertandingan olahraga laki-laki selesai.
“Mau ngobrol bersama kami?”
“Boleh aku bergabung?”
Aku ragu apakah boleh seorang laki-laki seperti aku bergabung dengan kelompok yang hanya terdiri dari perempuan.
“Tidak apa-apa, kok, kebetulan kami sedang membicarakanmu.”
“Membicarakanku?”
Sambil berkata begitu, aku pergi ke kelompok itu dan duduk.
Dua gadis yang berbicara denganku setelah pertandingan, ditambah dua gadis lainnya.
…Jujur saja, aku tidak ingat nama satu pun dari mereka.
Aku mendengar nama keluarga dari dua gadis yang berbicara denganku dari Yuuichi, tapi… kalau tidak salah Sato dan Ito, ya?
Aku benar-benar tidak tahu mana yang Sato dan mana yang Ito.
“Hisamura-kun kan sangat aktif dalam pertandingan baseball. Kami sedang membicarakan betapa kerennya itu.”
“Terutama Goto-chan, lo, fufufu, dia sangat bersemangat waktu itu.”
“Tu-tunggu dulu!”
Gadis yang digoda terakhir itu adalah Goto-san.
“Kato-chan juga bilang Hisamura-kun keren, ‘kan?”
“Sa-Sato-san juga bilang begitu!”
Tunggu sebentar.
Kenapa nama kalian semua Sato, Ito, Goto, dan Kato?
Meskipun aku sudah mendengar nama mereka semua, pasti akan tercampur dalam ingatanku.
Kemungkinan besar aku akan salah menyebut nama mereka jika aku mencoba memanggil mereka sekarang.
“Hisamura-kun, kamu sangat pintar sebagai pitcher, apa kamu pernah main baseball?”
Salah satu gadis yang berbicara denganku setelah pertandingan baseball, jadi mungkin Sato-san atau Ito-san, bertanya padaku.
“Ah, hanya waktu SD.”
“Oh begitu. Cukup mengejutkan, ternyata Hisamura-kun jago olahraga, ya.”
“Yah, kurasa hanya sebatas rata-rata saja.”
“Eh, tidak mungkin. Kamu ‘kan bermain sangat bagus tadi.”
“Itu karena aku punya pengalaman. Memang ada perbedaan besar antara orang berpengalaman dan pemula. Yah, kecuali untuk pengecualian tertentu.”
Aku berkata begitu sambil melihat ke arah Yuuichi.
Yuuichi masih makan dikelilingi oleh dua gadis itu.
Luar biasa, dia benar-benar makan banyak, ya.
“Ahaha, Shigemoto-kun memang spesial, ya.”
“Apa Shigemoto-kun benar-benar tidak pernah main baseball sebelumnya?”
“Dia memang berbakat dalam semua jenis olahraga, sih.”
Kurasa tidak ada orang normal yang bisa sehebat itu, memang pantas jadi protagonis manga, ya.
“Shigemoto-kun memang hebat, tapi Hisamura-kun juga keren, lo!”
“Iya, kurasa kalau tidak ada Hisamura-kun, tim laki-laki tidak akan menang.”
“Te-terima kasih.”
Aku sedikit terkejut mendengar pujian dari Kato-san atau Goto-san, tapi tetap mengucapkan terima kasih.
“Kami sama sekali tidak bisa olahraga, ya.”
“Iya, dalam pertandingan basket festival olahraga juga kita tidak bisa berbuat banyak.”
“Kita bisa menang itu semua berkat Shimada-san, ya.”
Sambil berkata begitu, para gadis dan aku pun melihat ke arah Sei-chan.
Sei-chan masih dikelilingi gadis-gadis, tampaknya sedang berbicara dengan gembira.
“Shimada-san benar-benar keren, ya…”
“Iya, benar… aku hampir jatuh cinta.”
“Kalau aku perempuan, aku pasti sudah jatuh cinta.”
“Kamu ini ‘kan memang perempuan.”
Para gadis berkata demikian sambil menatap Sei-chan dengan pandangan yang sedikit terpesona.
Eh, tunggu, jangan begitu.
Aku senang mereka menganggap Sei-chan keren, tapi entah kenapa aku merasa tidak nyaman kalau kalian jatuh cinta padanya.
Apalagi cara mereka bergumam “Dia keren…” terdengar sangat serius.
Aku tidak ingin punya saingan dari sesama perempuan.
Saat kami sedang membicarakan hal itu, topik pembicaraan berubah lagi.
“Hei, hei, Hisamura-kun, apa kamu punya orang yang disukai?”
“Hmm, orang yang kusukai, ya…”
Aku berpura-pura berpikir sambil menunjukkan ekspresi bingung.
Tentu saja, ada.
Ketika ditanya tentang orang yang kusukai, hanya nama Sei-chan yang muncul di pikiranku.
Tapi apakah bijaksana untuk mengatakan bahwa aku menyukai Sei-chan di sini?
Mereka pasti akan menyelidiki lebih lanjut.
Karena hubunganku dengan Sei-chan adalah rahasia, akan sulit jika mereka menyelidiki lebih jauh.
Tapi rasanya juga aneh kalau aku menjawab tidak punya orang yang disukai.
“…Yah, ada, sih.”
Aku memutuskan untuk menjawab dengan jujur.
Rasanya tidak benar kalau aku menjawab “tidak ada” di sini.
Meskipun aku bilang “yah”, sebenarnya perasaanku sama sekali tidak ringan, malah sangat serius.
“Eh! Benarkah!?”
“Aku tidak menyangka Hisamura-kun punya orang yang disukai!”
Seperti yang diharapkan dari gadis-gadis SMA yang penuh semangat, mereka sangat antusias tentang cerita cinta.
Semua mata mereka membulat karena terkejut, lalu seketika bersinar.
“Eh, siapa!? Anak perempuan di kelas kita!?”
“Atau mungkin anak perempuan dari kelas lain!? Mungkin teman satu klub?”
Sudah kuduga mereka akan bertanya seperti ini.
Apa yang harus kulakukan, jujur mengatakan bahwa itu Sei-chan jelas tidak mungkin.
“Aku tidak ikut klub apapun.”
“Oh begitu, jadi apa dia dari kelas kita?”
“Hmm… itu rahasia.”
“Eeh!?”
Ketika aku bilang itu rahasia, para gadis mengeluarkan suara kecewa, tapi wajah mereka masih berseri-seri.
“Rasanya tidak mungkin aku langsung memberitahu kalian.”
“Buuu!”
“Padahal kami ingin tahu.”
“Oh iya, bagaimana kalau kami menebak? Kalau kami benar, kamu harus memberitahu kami, ya!”
Salah satu gadis berkata begitu, dan semuanya mulai mencoba menebak siapa orang yang kusukai.
Padahal aku belum bilang akan memberitahu mereka meskipun mereka menebak dengan benar…
“Beri kami petunjuk!”
“Bukankah terlalu cepat untuk meminta petunjuk? Kalian bahkan belum menebak satu nama pun.”
“Tidak apa-apa, ‘kan! Hisamura-kun, beri kami petunjuk!”
Petunjuk, ya…
“Baiklah, dia sangat imut.”
“Hee, begitu, ya. Ternyata Hisamura-kun pemilih, ya?”
“Bukan begitu, hanya kebetulan orang yang kusukai adalah orang terimut di dunia.”
“Kyaa!”
Para gadis berteriak kegirangan mendengar kata-kataku.
“Apa-apaan itu!”
“Kamu serius, ya! Hisamura-kun, kamu benar-benar menyukai orang itu, ya!”
Tanpa sadar aku mengungkapkan perasaanku yang sebenarnya, dan mereka menjadi sangat bersemangat.
Aku bisa merasakan tatapan dari orang-orang di sekitar.
Dari Sei-chan…
“Lo, Shimada-san, ada apa? Wajahmu sangat merah.”
“Kamu tidak apa-apa? Apa kamu demam karena kelelahan?”
“Ti-tidak, aku baik-baik saja…”
Entah kenapa, gadis-gadis di sekitar Sei-chan mengomentari wajahnya yang memerah dan mengkhawatirkannya.
Ada apa, ya, aku juga khawatir.
Yah, wajar saja kalau dia lelah setelah bermain basket sekeras itu.
“Kalau begitu, Hisamura-kun tidak menyukai orang itu hanya karena wajahnya, ‘kan?”
“Benar, yah, sekarang aku juga menyukai wajahnya, sih.”
“Fufu, bagus! Jadi, apa yang membuatmu menyukai orang itu, Hisamura-kun?”
Aku tidak menyangka akan ditanya sejauh ini.
Yang bertanya adalah Sato-san atau Ito-san, tapi tiga gadis lainnya juga terlihat sangat ingin tahu.
Hmm, kurasa tidak apa-apa menceritakan ini, mereka tidak akan tahu kalau itu Sei-chan.
Aku akan menceritakannya secara samar-samar.
“Yah… mungkin karena dia sangat peduli pada teman-temannya?”
“Oh ya? Bagaimana kamu bisa tahu?”
“Sulit dijelaskan, tapi… mungkin seperti saat dia menekan perasaannya sendiri demi temannya, dan tersenyum lembut?”
“Wah, aku tidak begitu mengerti, tapi itu terdengar indah!”
Ya, memang sulit menjelaskannya secara samar-samar.
Tapi sepertinya mereka puas dengan jawabanku, mata para gadis itu bersinar.
“Shimada-san, ada apa?”
“Tidak, itu… sekarang aku tidak bisa…!”
“Tidak bisa apa?”
Aku melirik ke arah Sei-chan, dan entah kenapa dia menutupi wajahnya dengan kedua tangan, seolah-olah tidak ingin wajahnya terlihat.
Ada apa, ya?
Saat aku memikirkan itu sambil memandang Sei-chan, dia mengintip melalui celah di antara jari-jarinya.
Seketika, mata kami bertemu.
“Ugh…!”
Aku bisa melihat wajahnya yang merah padam, dan matanya yang berkaca-kaca sedikit memelototiku.
Sei-chan segera menutupi wajahnya lagi dengan kedua tangannya, seolah-olah ingin mengalihkan pandangannya.
Lo… reaksi itu.
Jangan-jangan Sei-chan mendengar pembicaraan kami?
Tapi tempat aku berada dan tempat Sei-chan cukup jauh.
Kupikir dengan jarak sejauh ini, dia tidak mungkin bisa mendengar…
Aku tidak tahu, kemampuan fisik Sei-chan memang lebih tinggi dari orang biasa.
Mungkin saja pendengarannya juga lebih baik dari orang lain, jadi dia bisa mendengar.
Tapi aku tidak bisa memastikannya di sini.
“Hei, hei, Hisamura-kun! Beri kami petunjuk lagi, dong!”
“Hm? Ah, baiklah…”
“Daripada petunjuk, kami ingin mendengar lebih banyak tentang perasaanmu pada orang itu!”
“Bukankah topiknya sudah berubah?”
Hmm, apa yang harus kulakukan.
Aku ingin menjawab pertanyaan para gadis ini, tapi aku juga ingin memastikan apakah Sei-chan bisa mendengar atau tidak.
“Dia suka makanan manis, mungkin?”
“Kalau anak perempuan, kurasa hampir semua suka makanan manis.”
“Mungkin juga. Tapi bagaimana, ya, orang yang kusukai tidak terlihat seperti orang yang suka makanan manis. Melihatnya makan makanan manis dengan lahap itu sangat imut.”
“Hee, begitu, ya…”
Sepertinya ini tidak terlalu menarik bagi para gadis.
Mungkin ini karena aku terlalu menyukai Sei-chan, jadi aku menganggap apapun yang dia lakukan itu imut. Mungkin ini semacam penyakit.
Aku melihat ke arah Sei-chan lagi…
“A-aku juga suka makanan asin, kok…”
“Shimada-san, kenapa tiba-tiba kamu mulai makan kentang yang tersisa?”
Apa dia bisa mendengar?
Ketika aku bilang aku suka orang yang menyukai makanan manis, Sei-chan mulai makan makanan asin.
Aku tidak bisa mendengar suara Sei-chan dengan jelas, tapi aku bisa melihat pipinya sedikit memerah.
Aku tidak yakin apakah dia bisa mendengar atau tidak.
“Hmm, siapa, ya, orang yang disukai Hisamura-kun?”
“Dengan petunjuk seperti ini, kita tidak bisa menebaknya, ya.”
Para gadis sepertinya masih mencoba menebak siapa orang yang kusukai…
“Omong-omong, meskipun kalian menebak dengan benar, aku tidak akan memberitahu kalian, lo.”
“Eh, kenapa?”
“Yah… itu memalukan.”
Sebenarnya aku tidak terlalu malu.
Aku sama sekali tidak bohong tentang perasaanku yang menyukai Sei-chan, jadi aku tidak merasa malu untuk menceritakannya kepada orang lain.
Tapi sepertinya Sei-chan tidak terlalu suka jika orang lain tahu.
Karena dia tidak ingin orang lain tahu bahwa kami berpacaran, mungkin lebih baik aku juga tidak terlalu menyebarkan fakta bahwa aku menyukai Sei-chan.
Setelah itu, para gadis terus bertanya berbagai hal tentang orang yang kusukai, dan aku menjawab seadanya.
Agak sulit untuk menyembunyikan fakta bahwa itu adalah Sei-chan dan berbicara tanpa ketahuan, tapi mungkin aku sedikit menikmati bisa berbicara tentang perasaanku.
Saat aku berpikir begitu, aku merasakan getaran dari ponsel di sakuku.
Di tengah percakapan dengan Sato-san, Kato-san, dan yang lainnya, aku mengeluarkan ponselku dan melihat ada pesan RINE.
Dari… Sei-chan?
Aku melirik sebentar ke arah Sei-chan.
Sei-chan masih berbicara dengan gadis-gadis di sekitarnya seperti tadi, tapi… ponsel yang tadinya tidak ada di tangannya.
Mungkin dia baru saja mengirimiku pesan.
Aku membuka RINE dan melihat pesan yang dikirim.
[Bagaimana kalau kita bertemu berdua di suatu tempat setelah ini untuk berbicara?]
…Aku berusaha keras menahan senyum.
Ternyata dia mengajakku kencan.
Aku tidak menyangka akan mendapat ajakan seperti ini dari Sei-chan.
Aku segera membalas.
[Tentu saja. Apa kita langsung pergi dari pesta ini?]
Setelah mengirim itu, aku melihat Sei-chan melirik layar ponselnya dari sudut mataku.
Kemudian muncul tanda sudah dibaca, dan segera ada balasan.
[Aku tidak masalah, tapi apa tidak apa-apa untukmu? Sepertinya kamu sedang asyik mengobrol.]
Apa Sei-chan mendengar percakapan kami?
Kupikir dia tidak akan tahu apakah kami sedang asyik mengobrol atau tidak jika dia tidak bisa mendengar…
Ah, tapi tadi ketika aku menjawab apa yang kusukai dari Sei-chan, Sato-san dan yang lainnya berteriak kegirangan.
Mungkin dia mendengar itu.
[Aku ingin berbicara dengan Sei-chan, jadi aku ingin segera pergi.]
Begitu aku membalas, sepertinya Sei-chan juga masih membuka layar obrolan, karena pesan itu langsung dibaca.
“Uh!?”
“Shimada-san, ada apa?”
“Ti-tidak, aku hanya batuk sedikit, maaf.”
Aku mendengar Sei-chan batuk, apa dia baik-baik saja?
[Baiklah. Kalau begitu, apa tidak masalah kalau kita bertemu di taman dekat sini?]
[Oke. Kalau begitu aku akan pergi duluan. Sei-chan pergi beberapa menit setelahku, ya.]
[Baik. Aku akan segera ke sana.]
Setelah melihat pesan itu, aku memasukkan ponselku kembali ke saku.
Baiklah, saatnya pergi!
“Aku akan pulang sekarang.”
Aku berkata demikian kepada para gadis yang sedang mengobrol denganku sambil berdiri.
“Eh, bukankah ini terlalu awal? Ini belum jam 8, lo?”
“Iya, ayo ngobrol bersama lebih lama lagi.”
Aku berterima kasih mereka mencoba menahanku, tapi aku ingin berbicara berdua dengan Sei-chan.
Selama pesta ini, aku terus berharap bisa segera berbicara dengan Sei-chan.
“Maaf, aku harus pulang sekarang atau adikku akan marah.”
“Eh, Hisamura-kun punya adik perempuan?”
“Ya, adik perempuan yang sangat imut.”
“Ahaha, ternyata Hisamura-kun siscon, ya.”
“Mungkin begitu. Maaf, ya, hari ini menyenangkan. Sampai jumpa besok di sekolah.”
Karena aku merasa akan terlibat dalam pembicaraan lagi jika ditanya tentang adikku, Rie, aku memutuskan untuk berpamitan dan meninggalkan tempat itu.
Barang-barangku ada di tempat duduk awal, yaitu di posisi Yuuichi, Toujoin-san, dan Fujise.
Yuuichi… dia masih makan?
“Hm? Tsukasa, kau sudah mau pulang?”
“Ah, ya. Kerja bagus. Ada sedikit urusan.”
“Begitu, ya, kalau begitu sampai jumpa besok.”
“…Selamat tinggal, Hisamura-kun.”
“…Sampai jumpa, Hisamura-kun.”
“Ya, sampai besok.”
Aku mengucapkan salam perpisahan singkat kepada mereka bertiga dan pergi membawa barang-barangku.
Entah kenapa Toujoin-san dan Fujise melirik ke arah lain dengan ekspresi yang seolah menyembunyikan sesuatu, tapi… yah, tak apa.
Saat aku keluar dari ruangan besar bertatami, aku melirik ke arah Sei-chan dan mata kami bertemu.
Aku mengangguk pelan seolah mengatakan “Aku menunggu” dengan tatapanku, dan Sei-chan juga mengangguk seolah mengatakan “Aku mengerti”.
Entah apa hanya aku yang merasa senang dengan hal-hal kecil seperti ini.
Meskipun sudah pertengahan Mei dan cuaca mulai menghangat, malam tetap terasa dingin.
Tapi tidak terlalu dingin, lebih seperti kesejukan yang nyaman.
Ada taman yang cukup luas tak jauh dari tempat kami keluar.
Aku pergi ke sana dan membeli dua minuman hangat dari mesin penjual otomatis terdekat.
Kopi dengan sedikit gula dan… mungkin cokelat panas bagus.
Aku membeli keduanya dan duduk di bangku taman, memandang langit sambil menunggu Sei-chan.
Langit cerah tanpa awan, jadi bintang-bintang dan bulan terlihat jelas.
Mungkin cukup terang untuk melihat sekeliling bahkan tanpa lampu taman.
Aku ingin Sei-chan cepat datang.
Aku terus melirik layar ponselku, memeriksa waktu.
Lima menit berlalu sejak aku keluar dari toko, dia belum datang.
Sepuluh menit berlalu… masih belum datang.
Lo, bukankah dia bilang akan datang beberapa menit setelah aku pergi? Apa yang terjadi?
Mungkinkah aku ditipu?
Aku berpikir begitu sejenak, tapi tidak mungkin Sei-chan melakukan hal konyol seperti itu.
Kalau Yuuichi, mungkin dia akan melakukannya, jadi aku akan mengirim pesan RINE. Tapi Sei-chan pasti akan datang.
Jadi aku percaya dan terus menunggu, dan sekitar lima belas menit setelah aku pergi, Sei-chan tiba di taman.
Sei-chan sepertinya terburu-buru, dia sedikit berlari saat memasuki taman.
Dia melihat sekeliling dengan ekspresi cemas, tapi ketika melihatku duduk di bangku, dia menghela napas lega.
Bahkan gerakan itu pun terlihat imut bagiku, membuatku tersenyum.
“Maaf, aku terlambat. Ini mungkin terdengar seperti alasan, tapi orang-orang yang mengobrol denganku tidak mau melepaskanku…”
“Tidak apa-apa. Aku baru saja sampai.”
“Tidak mungkin begitu.”
“Ahaha, benar juga, ya.”
“Dasar…”
Sei-chan tertawa kecil mendengar candaanku.
Aku sama sekali tidak keberatan, tapi sepertinya dia sedikit khawatir karena terlambat.
Sei-chan menarik napas dalam dan duduk di sebelahku.
Profil samping Sei-chan yang diterangi sinar bulan, dan rambut peraknya yang indah.
Hanya dengan dia duduk di sampingku, pemandangan itu terlihat seperti dunia fantasi dalam lukisan.
Saat aku menatapnya dengan pikiran seperti itu, Sei-chan memiringkan kepalanya dengan bingung.
Rambutnya yang berwarna perak berkilau memantulkan sinar bulan saat dia bergerak, bahkan itu pun terlihat terlalu indah dan membuat jantungku berdebar.
“Ada apa, Hisamura?”
“Tidak, seperti biasa, Sei-chan sangat cantik.”
“Uh!? A-apa-apaan tiba-tiba…”
Sei-chan terlihat malu-malu sambil menyelipkan rambutnya yang jatuh ke belakang telinga.
Entah kenapa, setiap gerakan yang Sei-chan lakukan terlihat seperti karya seni bagiku, sampai-sampai itu menakutkan.
“Sei-chan, ini.”
Aku memberikan cokelat panas yang kubeli tadi.
“Hm? Apa ini?”
“Cokelat panas.”
“Eh, boleh untukku?”
“Ya, mungkin sudah agak dingin.”
“Itu karena aku terlambat. Terima kasih, berapa harganya?”
“Tidak perlu, segini saja tidak apa-apa.”
“Tapi…”
“Sudahlah. Ayo, kita bersulang?”
Aku mengarahkan kaleng kopi yang kupegang ke arah Sei-chan.
Meskipun kami sudah bersulang tadi di pesta dengan aba-aba dari Yuuichi, aku belum melakukannya dengan Sei-chan.
Karena tempat duduk kami berjauhan, kami tidak bisa menyentuhkan gelas kami.
Ketika aku mengarahkan kaleng kopiku ke arah Sei-chan, dia tersenyum kecil dan membuka kaleng cokelat panasnya.
“Ya, terima kasih. Kerja bagus hari ini, Hisamura.”
“Kerja bagus, Sei-chan.”
Aku dan Sei-chan bersulang dengan suara ‘klang’ lalu minum seteguk.
“Sei-chan, selamat atas kemenangan basketmu.”
Kalau mau bicara, topik festival olahraga memang yang paling tepat.
“Ah, terima kasih. Kamu juga, selamat atas kemenanganmu. Kamu menjadi pitcher sampai akhir, apa bahu dan sikumu baik-baik saja?”
“Ya, tidak apa-apa. Aku sudah melakukan pendinginan dengan benar.”
Aku mungkin sudah melempar lebih dari seratus bola, tapi kurasa tidak apa-apa.
Aku memang melempar dengan serius di pertandingan setelah Sei-chan menyemangatiku, tapi setelah itu aku tidak memaksakan diri.
“Begitu, ya, syukurlah. Itu… kamu terlihat keren.”
“Uh! Te-terima kasih…”
Aku tidak menyangka akan dipuji secara langsung seperti itu, suaraku tercekat.
Sei-chan juga tidak menghadap ke arahku, hanya melirik sedikit.
Tapi bahkan dalam kegelapan ini, aku bisa melihat pipi Sei-chan sedikit memerah.
Aku dan Sei-chan minum seteguk hampir bersamaan, seolah untuk menyembunyikan rasa malu.
“Sei-chan juga sangat keren. Terutama saat bertanding melawan Toujoin-san.”
Dibandingkan dengan kekerenan Sei-chan, kekerenankku mungkin hanya sebesar plankton.
Pertandingan melawan Toujoin-san benar-benar terlalu keren.
Baik anak laki-laki maupun perempuan terpesona oleh Sei-chan dan Toujoin-san.
Terutama popularitas Sei-chan di kalangan anak perempuan sangat luar biasa.
“Terima kasih. Aku bisa menang melawan Toujoin berkat bantuanmu.”
“Aku tidak melakukan apa-apa.”
“Kamu menemaniku berlatih basket kemarin dan dua hari yang lalu, ‘kan? Berkat itu aku bisa menang melawan Toujoin, terima kasih.”
“…Sa-sama-sama.”
Gawat, aku merasa seperti sedang dirayu oleh Sei-chan.
Dia terlalu keren sampai-sampai aku tidak bisa melihat wajahnya.
Sei-chan mengucapkan terima kasih dengan santai, tersenyum tanpa rasa malu sama sekali, jadi hanya aku yang merasa malu.
Jantungku berdebar terlalu kencang, aku khawatir Sei-chan yang duduk di sebelahku bisa mendengarnya.
“Oh iya, Sei-chan, tadi di pesta juga kamu dikelilingi anak perempuan, dan setelah pertandingan juga luar biasa, ya.”
Aku mengubah topik pembicaraan secara mencolok, tapi hanya ini yang bisa kulakukan untuk menjaga ketenangan.
Setelah pertandingan itu selesai, Sei-chan tidak hanya diajak bicara oleh anak perempuan dari kelas yang sama, tapi juga oleh anak perempuan dari kelas lain.
Benar-benar seperti seorang idola.
Hanya dengan Sei-chan berbicara, terdengar teriakan “Kyaa!”, bahkan ada yang berkata “Lambaikan tanganmu!” dan semacamnya.
“Benar, aku senang… tapi kalau reaksinya sampai seperti itu, aku juga tidak tahu harus bagaimana.”
“Haha, kamu memang terlihat sedikit bingung.”
Sei-chan yang dipanggil-panggil oleh anak perempuan memang tersenyum, tapi senyumnya terlihat sangat canggung.
Yah, senyum seperti itu juga terasa baru dan manis, sih.
“Hmp, kalau bicara begitu, bukankah Hisamura juga populer di kalangan anak perempuan?”
“Eh, aku?”
“Iya, di pesta tadi juga, kamu dikelilingi anak perempuan dan mengobrol, ‘kan?”
“Itu karena mereka menolongku yang sedang berjalan sendirian.”
Jujur saja, aku tertolong ketika mereka memungutku yang kabur dari tempat Yuuichi dan yang lainnya.
Tapi maaf, aku sama sekali tidak bisa mencocokkan wajah dan nama mereka.
Aku hanya ingat ada Sato-san, Ito-san, Goto-san, dan Kato-san.
“…Sebelum bertanding dengan Toujoin di festival olahraga hari ini, kami membicarakan tentang hukuman.”
“Hm? Begitu, ya?”
Topiknya tiba-tiba berubah, ada apa, ya.
“Ya, hukuman sederhana di mana yang kalah harus menuruti perintah yang menang. Hukuman yang diminta Toujoin jika dia menang adalah… mengumumkan hubungan antara aku dan Hisamura.”
“Eh, kenapa?”
Mendengar isi hukuman itu, aku spontan mengeluarkan suara kebingungan.
Kenapa Toujoin-san memilih hukuman mengumumkan hubungan kami?
“Sepertinya bagi Toujoin, menyembunyikan fakta bahwa kita berpacaran itu tidak masuk akal. Dia bilang lebih baik diumumkan, karena dengan begitu kita bisa, um, bermesraan…”
“Itu menarik.”
Mendengar kata ‘bermesraan’, aku tanpa sadar bergumam begitu.
Sei-chan sedikit memerah pipinya, tapi mengerutkan alisnya seolah sedang memikirkan sesuatu.
“Tentu saja karena aku menang, hukuman itu tidak jadi. Tapi kalau Hisamura mau… aku pikir tidak apa-apa kalau kita mengumumkannya.”
“Eh, boleh?”
Karena Sei-chan bilang malu untuk mengumumkannya, kami tidak memberitahu hubungan kami kepada siapa pun selain orang-orang terdekat.
“Awalnya memang aku yang bilang tidak ingin mengumumkannya, itu egoisku. Seperti yang Toujoin katakan, memang ada banyak keuntungan jika kita mengumumkannya.”
“…Keuntungan seperti apa?”
“Seperti yang tadi kubilang, um, bisa bermesraan dan semacamnya…”
Sei-chan yang berbicara dengan malu-malu itu sangat manis, tapi karena suasananya serius, aku tidak menggodanya.
“Dengan mengumumkannya, kita bisa mencegah orang lain mendekati…”
Sei-chan berkata dengan nada sedikit murung dan menyesal.
“…Begitu, ya.”
Alasan Sei-chan ragu-ragu untuk mengumumkan hubungan kami mungkin karena itu.
Sangat mengejutkan, tapi ternyata Sei-chan cemburu.
Tatapannya pada gadis-gadis yang mendekatiku setelah pertandingan baseball. Di pesta tadi juga, dia terlihat memerhatikan ketika aku berbicara dengan gadis-gadis.
Jujur saja, aku sangat senang dia cemburu.
Aku merasa seperti bisa terbang dan menari dengan sayap yang tumbuh karena terlalu senang.
Tapi tidak boleh membiarkan Sei-chan merasa tidak nyaman atau khawatir.
Aku sangat senang Sei-chan cemburu padaku, tapi mencegah Sei-chan merasakan perasaan seperti itu adalah prioritas utama.
Tentu saja, aku juga akan sangat cemburu dan merasa tidak nyaman jika melihat Sei-chan didekati oleh anak laki-laki lain.
Itu adalah masalah yang harus kita selesaikan bersama.
“Sei-chan tidak ingin mengumumkannya, ‘kan?”
“Ya, begitulah. Alasan aku tidak ingin mengumumkannya memang karena rasa malu, tapi lebih dari itu… aku lebih suka menyimpan hal berharga daripada memamerkannya kepada orang lain… aku ingin menjadikannya milikku sendiri.”
“Uh!”
A-apa-apaan itu…!
Terlalu membahagiakan dan terlalu manis…!
Aku tidak menyangka Sei-chan memikirkan hal seperti itu.
Saat aku terdiam karena terkejut dan bahagia, Sei-chan juga tersadar dan wajahnya memerah.
“Ah, bukan, maksudku…! Ini hanya kiasan, maksudku jika aku harus menjelaskan perasaanku secara berlebihan… Ah, bukan berarti aku tidak menganggap Hisamura sebagai harta…!”
“Aku mengerti, Sei-chan, tenanglah. Kalau begini terus, kita berdua akan pingsan.”
Kita berdua bisa mati karena rasa malu.
Wajahku dan Sei-chan sama-sama memerah, jadi kita menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri.
Selama menarik napas, aku sedikit berpikir.
Aku mengerti perasaan Sei-chan.
Sei-chan menganggapku berharga, hal yang sangat, sangat membuatku bahagia.
Karena itulah dia tidak ingin memberitahu orang lain bahwa kami berpacaran, dia ingin menjadikanku miliknya sendiri.
…Semakin aku memikirkannya, semakin senang dan malu aku.
Tenang, jangan sampai aku menghancurkan diriku sendiri.
Sei-chan tidak ingin memberitahu siapa pun justru karena dia menganggapku berharga.
Tapi ternyata Sei-chan cukup pencemburu, jadi dia merasa tidak nyaman melihatku berbicara dengan gadis lain.
Mungkin Sei-chan sedikit menderita karena dilema itu.
Aku harus menyelesaikan masalah itu demi Sei-chan.
Tapi kalau begitu, mungkin solusinya sederhana.
“Sei-chan, aku punya satu usulan.”
“Apa?”
“Mengumumkannya memang bagus, tapi bagaimana kalau kita tidak mengatakan bahwa kita berpacaran?”
“…Apa maksudmu?”
“Maksudku, kita berdua bisa mengumumkan bahwa kita ‘sedang berpacaran dengan seseorang’, tapi tidak perlu mengatakan siapa orangnya, ‘kan?”
Kurasa yang Sei-chan tidak suka adalah aku diincar oleh gadis lain…
Aku tidak tahu apakah aku benar-benar diincar atau tidak, tapi mungkin begitulah yang terlihat di mata Sei-chan.
Aku juga pasti tidak suka melihat Sei-chan didekati oleh laki-laki lain.
Kalau begitu, kita cukup memberitahu orang lain bahwa mereka sudah tidak punya kesempatan.
“Kalau kita memberitahu bahwa kita sudah punya pacar, mungkin kita akan sedikit lebih tenang. Kalau ditanya siapa pacar kita, kita bisa bilang itu rahasia dan selesai, ‘kan?”
“…Begitu, ya, ada cara seperti itu.”
“Lagipula, kalau kita bilang siapa pacar kita itu rahasia, itu menjadi rahasia kita berdua… bukankah itu menyenangkan?”
Aku tidak bisa menjelaskannya dengan baik, tapi perasaan berbagi rahasia dengan kekasih terasa seperti harta karun bagiku.
Ketika aku mengatakan itu, mata Sei-chan melebar, lalu dia tersenyum gembira.
“Kamu benar. Itu… sangat indah.”
“Yah, meskipun ada orang yang tahu kita berpacaran, jadi bukan benar-benar rahasia kita berdua, sih.”
“Fufufu, benar juga. Shiho, Toujoin, dan Shigemoto juga tahu.”
Sei-chan berkata begitu sambil menunjukkan senyum yang manis.
Ya, aku memang lebih suka melihat Sei-chan tersenyum seperti itu.
Saat aku berpikir begitu dan tanpa sadar tersenyum, Sei-chan tersenyum lebih lembut lagi.
“Terima kasih, Tsukasa.”
“Ah, bukan apa-apa… Eh?”
Aku menghentikan kata-kataku di tengah jalan.
Saat aku menatap Sei-chan dengan mata terbelalak, Sei-chan tersenyum nakal.
“Fufufu, ada apa, Tsukasa?”
“Eh, tidak, namaku…”
“Ada apa dengan namamu? Namamu Tsukasa, ‘kan?”
“Ugh… curang, Sei-chan.”
Aku merasa kalah oleh Sei-chan dan tanpa sadar tersenyum.
Aku sama sekali tidak menyangka dia akan memanggil namaku di sini.
Aku juga tahu wajahku sedikit memerah.
“Fufufu, selama ini aku selalu kalah. Ternyata membalas seperti ini cukup menyenangkan.”
“…Begitu, ya. Kalau begitu Sei-chan, jika membalas itu menyenangkan, berarti dibalas juga menyenangkan?”
“Uh! Bu-bukan begitu…!”
“Kalau begitu, apa maksudnya?”
“Ugh…!”
Sei-chan menatapku tajam, tapi karena pipinya merah, itu tidak menakutkan sama sekali.
Malah yang muncul di pikiranku hanyalah betapa manisnya dia.
Ternyata aku memang suka melihat reaksi manis Sei-chan.
…Meskipun aku juga tidak membenci saat dibalas.
Tentu saja, aku tidak akan mengatakan itu pada Sei-chan.
◇ ◇ ◇
“Fuuh…”
Sei menghela napas karena kenyamanan saat berendam di bak mandi.
Selama tiga hari terakhir, dia melakukan olahraga yang cukup intens yang jarang dilakukannya, sehingga waktu mandi ini terasa sangat nyaman.
Namun, olahraga intens itu dilakukan untuk festival olahraga hari ini, jadi mungkin untuk sementara waktu ke depan dia tidak akan berolahraga seserius itu lagi.
Karena menang di festival olahraga, kelas mereka mengadakan pesta perayaan.
Entah kenapa, Toujoin yang menjadi lawan terberat mereka menyewa seluruh restoran, sehingga pesta perayaan itu terasa sangat mewah untuk ukuran anak SMA.
Sei lebih banyak berbicara dengan gadis-gadis lain di kelasnya daripada dengan Shiho yang biasanya selalu bersamanya.
Meskipun itu terasa menyenangkan dan baru, ada satu hal yang terus mengganggu pikirannya selama pesta.
Pacarnya, Tsukasa, terus-menerus berbicara dengan sekelompok gadis.
Terlebih lagi, di antara mereka ada yang mengatakan ingin mengincar Tsukasa, jadi wajar saja jika Sei sebagai pacarnya merasa khawatir.
Namun, sejauh yang dia dengar dari percakapan saat itu… Sei teringat apa yang Tsukasa bicarakan saat itu dan wajahnya memerah.
“Ugh… dia itu, mengatakan hal seperti itu kepada orang lain tanpa rasa malu…!”
Sei terkejut ketika Tsukasa mengatakan bahwa dia memiliki orang yang disukai.
Dia pikir Tsukasa akan mengatakan bahwa mereka sedang berpacaran.
Namun, Tsukasa tidak mengatakannya dan hanya berbicara tentang perasaannya pada gadis-gadis itu seolah-olah itu hanya cinta sepihak.
Sei yang mendengarkan itu merasa senang sekaligus malu, dan harus berusaha keras menahan senyumnya.
Lalu… setelah meninggalkan pesta, mereka mengadakan “pesta kedua” berdua di taman dekat situ.
Sei merasa sedikit gugup ketika menghubungi Tsukasa melalui RINE untuk mengajaknya keluar.
Meskipun sulit dibayangkan Tsukasa akan menolak, dia terlihat sangat menikmati percakapannya dengan gadis-gadis yang mengelilinginya.
Sei khawatir bagaimana jika Tsukasa menolak, tapi kekhawatirannya ternyata tidak beralasan.
Tsukasa langsung membalas dan mengatakan ingin berbicara dengannya.
Sei harus menahan senyumnya lagi saat melihat balasan itu.
Sekarang dia tersenyum sendiri mengingat hal itu, jadi dia ingin memuji dirinya sendiri karena berhasil menahan diri saat itu.
Tapi dia harus menyesali fakta bahwa meskipun dialah yang mengajak, dia membuat Tsukasa menunggu sedikit.
Meskipun dia punya alasan tertahan oleh gadis-gadis di sekitarnya saat mencoba pergi, itu tetap bukan alasan yang baik.
Dia sudah meminta maaf dengan sungguh-sungguh, tapi Tsukasa sepertinya sama sekali tidak keberatan.
Dan kemudian, “pesta kedua” mereka berdua pun dimulai.
Awalnya mereka berbicara ringan tentang festival olahraga… lalu membicarakan tentang hukuman dengan Toujoin.
Saat itulah Sei mengungkapkan apa yang membuatnya gelisah.
Apakah lebih baik mengumumkan hubungan mereka kepada orang lain?
Sei merasa cemburu melebihi perkiraannya sendiri saat melihat Tsukasa didekati oleh gadis-gadis.
Toujoin melakukan berbagai hal untuk mencegah gadis-gadis mendekati Shigemoto, dan sekarang Sei bisa sedikit memahami perasaan itu.
Dia merasa khawatir, bagaimana jika orang yang dia sukai direbut oleh gadis lain?
Sei tidak terlalu merasa seperti itu ketika Tsukasa berbicara biasa dengan gadis-gadis, tapi hari ini gadis-gadis yang berbicara dengan Tsukasa jelas-jelas menyatakan akan “mengincarnya”.
Itulah sebabnya perasaan cemburu dan khawatir muncul begitu kuat.
Sei sendiri ingin tetap menyembunyikan hubungannya dengan Tsukasa.
Dia ingin menjadikannya rahasia antara mereka berdua, seperti harta karun.
Tapi jika terus begitu, gadis-gadis lain akan mendekati Tsukasa.
Dia berpikir lebih baik mengumumkannya daripada terus merasa khawatir seperti itu.
Ketika dia menceritakan hal ini kepada Tsukasa… Tsukasa menghargai keinginannya untuk merahasiakan hubungan mereka, dan juga memberi saran untuk menghilangkan kekhawatirannya.
Memang benar, jika mereka berdua mengumumkan bahwa mereka “sedang berpacaran dengan seseorang” dan “identitas pasangan itu rahasia”, kemungkinan didekati oleh orang lain akan berkurang.
Itu adalah solusi yang sangat sederhana, tapi Sei tidak terpikirkan.
Tsukasa benar-benar memertimbangkan perasaan Sei dan memberikan saran yang sangat baik.
Dia sangat baik, bisa diandalkan… dan juga memiliki sisi yang manis.
“Ah… aku sangat menyukaimu, Tsukasa.”
Sei tanpa sadar mengungkapkan isi hatinya sambil tersenyum dan berendam di bak mandi.
Jika dia mengucapkan ini di depan Tsukasa, mungkin wajahnya akan memerah dan dia akan mencoba mencari-cari alasan.
Entah alasan apa yang bisa dia berikan untuk gumaman “aku sangat menyukaimu” tadi.
Tapi sekarang, ini adalah waktu pribadinya di kamar mandi.
Memikirkan pacarnya dan bergumam seperti itu bukanlah hal yang buruk… bahkan Sei merasa itu menyenangkan.
“Oh iya, aku harus memberitahu Toujoin tentang hukumannya.”
Sei teringat saat keluar dari bak mandi dan kembali ke kamarnya, melihat ponselnya.
Saat mereka berdua mengadakan “pesta kedua”, topik itu muncul dan Sei bertanya pada Tsukasa “hukuman apa yang bagus”.
Sei menang karena bertekad untuk tidak menerima hukuman dan harus menang, tapi dia sama sekali tidak memikirkan hukuman apa yang akan diberikan.
Lagipula, yang mengusulkan hukuman itu adalah Toujoin, jadi tidak masuk akal untuk langsung memikirkannya.
Karena itu, Sei berniat untuk memikirkan hukuman untuk Toujoin bersama Tsukasa, dan meminta sarannya.
Dan Tsukasa… memikirkan hukuman yang sangat bagus.
Tentu saja, tidak ada masalah etika sama sekali, bahkan bisa dibilang hukuman yang membuat orang melakukan hal baik.
Tapi bagi Toujoin, itu mungkin cukup memalukan.
Sei harus mengirim RINE kepada Toujoin untuk memberitahukan hal itu.
Sei dan Toujoin bertukar kontak RINE sekitar saat mereka mulai makan siang bersama di sekolah.
Tapi sampai sekarang mereka belum pernah benar-benar menggunakan RINE, jadi ini akan menjadi pesan pertama mereka.
Sei membuka layar obrolan dengan Toujoin dan mengetik pesan.
[Toujoin, kau belum lupa soal hukuman, ‘kan? Baru saja kuputuskan isi hukumannya.]
Sei mengetik itu dan mengirimnya.
Tentu saja tidak ada balasan segera, tapi sekitar lima menit kemudian balasan datang.
[Tentu saja aku ingat. Jadi, apa isinya?]
Sei sedikit tersenyum saat mengetik isi hukuman itu.
Dia bisa membayangkan wajah kesal Toujoin.
[Isi hukumannya, pada hari Sabtu atau Minggu pekan ini—]
Terkirim, dan langsung dibaca.
Setelah terbaca, ada jeda sejenak sebelum balasan datang.
[Aku tidak menyangka kau akan menyuruhku melakukan hal seperti itu… Kau cukup hebat juga. Apakah ini ide yang kau pikirkan sendiri?]
[Tidak, ini hampir sepenuhnya ide Hisamura. Ketika aku memberitahunya tentang hukuman, dia langsung menyarankan ini.]
Sei memutuskan untuk menjawab dengan jujur.
Dan dia menyebut Tsukasa sebagai “Hisamura”.
Tentu saja, Sei hanya memanggil Tsukasa dengan nama depannya saat mereka berdua saja, sama seperti Tsukasa yang memanggilnya “Sei-chan”.
[Sudah kuduga. Baiklah, bagaimana kalau hari Sabtu? Aku akan mengosongkan jadwalku.]
[Baiklah. Nikmati saja hukumannya.]
[Kalau sudah begini, aku akan melakukannya dengan sungguh-sungguh.]
Dengan itu, percakapan RINE mereka pun berakhir.
Sambil memikirkan betapa dia menantikan hari Sabtu, Sei meletakkan ponselnya dan kembali teringat percakapannya dengan Tsukasa saat mereka berdua mengadakan “pesta kedua”.
“…Oh iya, Tsukasa juga bilang akan memberiku hadiah, ya.”
Setelah membicarakan hukuman, Tsukasa berkata, “Kalau begitu, aku akan memberi Sei-chan hadiah kemenangan.”
“Hadiah?”
“Kamu sudah mengalahkan Toujoin-san yang hebat itu, dan juga menang di festival olahraga.”
“Kalau begitu, tim laki-laki dan kamu juga menang, ‘kan?”
“Ah, benar juga, ya. Tapi Sei-chan lebih berjuang keras.”
“Aku tidak begitu mengerti… apa boleh minta apa saja?”
“Selama aku bisa melakukannya. Tentu saja aku tidak bisa membelikan perhiasan mahal atau semacamnya.”
“Aku juga tidak terlalu materialistis, kok.”
Karena saat itu mereka menunda keputusannya, Sei harus memikirkan hadiah dari Tsukasa dalam waktu dekat.
(Tidak ada hal khusus yang ingin kuminta… Mungkin ditraktir di kafe? Tidak, apa hadiah berupa uang itu pantas, ya?)
Saat dia sedang memikirkan apa yang sebaiknya diminta… tiba-tiba dia teringat percakapannya dengan Shiho dan Toujoin.
“Eh, jangan-jangan kalian belum berciuman?”
“Omong-omong Shimada-san, apa kau sudah pernah berciuman dengan Hisamura-kun?”
Entah kenapa keduanya berbicara dengan asumsi bahwa Sei dan Tsukasa pasti sudah berciuman.
“Padahal baru sekitar sebulan sejak kami mulai pacaran…”
Sei tanpa sadar bergumam sendiri.
Tapi bukan berarti Sei tidak ingin berciuman.
“…Aku penasaran apa yang Tsukasa pikirkan tentang hal ini.”
Sei belum pernah melihat tanda-tanda bahwa Tsukasa ingin berciuman.
Dia tahu bahwa Tsukasa sangat menghargainya.
(Tapi, tidak ada perkembangan sebagai pasangan kekasih itu sedikit…)
Sudah sebulan berlalu, tapi hal-hal romantis yang mereka lakukan hanya sebatas bergandengan tangan.
Kencan mereka pun hanya sebatas mampir ke kafe dan mengobrol sepulang sekolah.
Mereka pernah pergi ke Round One setelah pulang sekolah, tapi itu lebih mirip latihan basket daripada kencan.
Sei yang ternyata cukup menyukai manga shoujo, juga ingin melakukan hal-hal romantis seperti yang dilakukan oleh protagonis dan heroine dalam manga.
Dia tidak bisa menyangkal bahwa dia ingin dibelai kepalanya, dimanjakan, dan hal-hal semacam itu.
Tapi Tsukasa ternyata lebih sopan dari yang dia kira, tidak pernah menuntut atau mencoba melakukan hal-hal seperti itu.
(Kalau hanya ciuman, jika diminta, aku tidak akan menolak, sih…)
Setelah berpikir sampai situ, wajah Sei memerah.
(Ugh, po-pokoknya, aku akan memikirkan soal hadiah itu lain kali. Kalau terus begini, aku bisa-bisa menggunakan hadiah itu untuk hal-hal aneh.)
Meskipun Sei berpikir begitu dan mencoba tidur di tempat tidurnya, dia malah memikirkan hal-hal aneh dan jadi terlambat tidur.