Bab 1: Pahlawan, Party, dan Pengusiran
“Abel, maaf sebelumnya, tapi kamu harus keluar dari party pahlawan.”
“Eh?”
Saat Eliot sang pahlawan memberitahuku begitu, aku hanya bisa mengeluarkan suara tercengang.
Padahal saat dia memanggilku dengan wajah serius sambil bilang “Ada yang ingin kubicarakan berdua”, aku jadi bersemangat karena mengira si kaku Eliot akhirnya punya gebetan. Eh taunya malah begini.
“Kenapa… tiba-tiba… alasannya…?”
Masih belum bisa mencerna situasinya, aku bertanya dengan terbata-bata.
Memang, aku sadar kalau di antara anggota party pahlawan, aku termasuk yang “tidak berguna”. Gelar Holy Magician-ku cuma nama doang, karena aku cuma bisa menggunakan sihir penyembuhan. Padahal biasanya, Holy Magician itu selain penyembuhan, juga menguasai sihir pendukung lainnya seperti sihir penguatan status, counter spell untuk menangkal serangan musuh, dan sihir penetral kutukan atau racun… hal-hal seperti itu sudah jadi standar.
Tapi… aku sama sekali tidak punya bakat untuk sihir-sihir itu. Sebanyak apapun aku berlatih, aku cuma bisa menggunakan sihir penyembuhan sederhana―singkatnya, sihir yang cuma bisa menyembuhkan luka rekan saja.
Meski begitu, aku merasa sudah berusaha mengembangkan kemampuanku dengan caraku sendiri. Aku meningkatkan kecepatan casting sihir penyembuhan, meningkatkan akurasinya, dan terus menyembuhkan luka rekan-rekanku dengan “jumlah mana yang sangat besar” yang menjadi satu-satunya keunggulanku.
Tapi kenapa tiba-tiba dipecat begini…
Menanggapi pertanyaanku, Eliot mengalihkan pandangannya dengan gelisah, menurunkan bahunya sambil menggelengkan kepala.
“Aku juga tidak mengerti.”
“Tidak mengerti? Maksudnya karena sesuatu seperti ‘entah kenapa menyebalkan’, gitu?”
“Bukan begitu.”
“La-lalu apa ada keluhan dari anggota party lain…!?”
Party pahlawan selain aku ada empat orang. Dari empat orang itu, dua di antaranya perempuan yang mengenakan pakaian khusus sesuai gaya bertarung mereka masing-masing saat menjalankan misi, tapi entah kenapa pakaiannya seksi dalam berbagai arti. Bagi aku yang sangat mesum, misi bersama mereka terlalu menggoda… Codpiece―pelindung yang dipakai kesatria untuk mencegah serangan ke bagian vital saat bertarung. Padahal sebagai kelas non-garis depan aku sama sekali tidak perlu memakainya, tapi dalam kasusku aku memakainya untuk menyembunyikan ereksi―mungkin akhirnya ketahuan kalau aku selalu setengah ngaceng di baliknya.
Berbeda denganku yang panik, Eliot tetap tenang.
“Bukan itu juga. …Ini perintah dari Raja.”
“Dari Raja…??”
Tanda tanya di atas kepalaku tidak mau hilang.
Kenapa aku harus dikeluarkan dari party pahlawan atas perintah Raja? Jangan-jangan, sampai Raja pun tahu kalau aku ereksi saat menjalankan misi…? Atau mungkin karena ketahuan ereksi saat audiensi gara-gara sekretaris Raja, Liuge-san yang terlalu seksi…!?
“Tentu saja aku sudah protes. Kami yang paling tahu betapa pentingnya kamu bagi party. Tapi… tidak didengarkan.”
Eliot mengatakannya dengan wajah yang benar-benar menyesal. Dia tipe orang yang emosinya mudah terbaca di wajah. Aku tahu dia bukan orang yang bisa “berakting” sedih seperti ini. Kalau begitu, ini pasti benar-benar titah dari Raja, dan dia tidak setuju dengan hal itu.
“Begitu… ya…”
Bukannya aku sudah paham. Aku belum cukup dewasa untuk bisa mengangguk dan bilang “Oh oke, aku mengerti” saat tiba-tiba dipaksa keluar dari party seperti ini.
Tapi, aku tahu tidak ada gunanya merengek pada Eliot di sini.
Setidaknya aku tahu kalau tidak semua anggota party senang dengan keluarnya aku… mungkin itu bisa sedikit menghibur hatiku.
“Dalam waktu dekat, kamu akan dipanggil ke istana. Dengarkan alasannya langsung dari Raja.”
“…Baiklah. Terima kasih atas semuanya selama ini.”
Bukan berarti hubunganku dengan mereka akan benar-benar putus hanya karena keluar dari party.
Aku bangkit dari kursi, melempar senyum sok kuat pada Eliot sambil melambaikan tangan. Lalu berjalan menuju pintu keluar. Memikirkan bahwa aku tidak akan datang lagi ke markas ini sebagai anggota party, rasanya ingin menangis.
“Abel!”
Saat tanganku menyentuh pintu, Eliot memanggilku dari belakang.
“…Kita… akan tetap… selamanya, jadi teman.”
Ekspresi Eliot sangat serius. Terlihat jelas kalau itu kata-kata yang berasal dari hati.
“Ya, tentu saja.”
Setelah mengangguk, aku keluar dari markas.
“Selamanya tetap teman… ya.”
Kata-kata yang sangat khas Eliot, tulus dan lembut.
Tapi… sekarang, kata-kata itu hanya terdengar hampa di dadaku.
Kota di bawah istana ramai seperti biasa. Aku berjalan di jalan yang padat sambil menghindari orang-orang. Tidak ada yang mengira kalau aku yang berpenampilan seperti petualang ini baru saja kehilangan pekerjaan.
“Haah… untuk sekarang coli dulu lah terus tidur.”
Suara hatiku tak sengaja keluar dari mulut. Sepertinya terdengar oleh gadis yang menjual buah di pinggir jalan, dia menatapku dengan ekspresi sangat jijik.
Melihat itu, aku jadi agak ngaceng.